Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Jaksa Agung ST Burhanuddin menutup Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) Angkatan LXXXI (81) Gelombang II Tahun 2024 di Badan Diklat Kejaksaan RI, Rabu (11/12/2024). (dok. Puspenkum Kejagung)
Jaksa Agung ST Burhanuddin menutup Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) Angkatan LXXXI (81) Gelombang II Tahun 2024 di Badan Diklat Kejaksaan RI, Rabu (11/12/2024). (dok. Puspenkum Kejagung)

Intinya sih...

  • Kasus Mbak Ita menunjukkan lemahnya penegakan hukum

  • Celah korupsi terjadi dari penyelidikan hingga persidangan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah dan DPR didorong mempertebal pemantauan kerja terhadap penegak hukum di Indonesia. Sebab, pekerjaan mereka rentan terseret godaan korupsi.

Direktur Democratic Judicial Reform (De Jure), Bhatara Ibnu Reza, mengatakan, kerentanan terjadinya korupsi semakin tinggi ketika penegak hukum memiliki kewenangan kendali atas suatu perkara. Apalagi kasus yang terkait dengan korupsi dan kejahatan ekonomi.

"Hal ini disebabkan karena tidak adanya check and balance pemeriksaan yang bertahap dari satu institusi ke institusi lain, menjadi celah besar potensi praktik koruptif dan suap-menyuap,” kata Bhatara dalam keterangan tertulisnya, Kamis (12/6/2025).

1. Kasus Mbak Ita menunjukkan penegakkan hukum masih lemah

Jaksa Agung ST Burhanuddin menutup Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) Angkatan LXXXI (81) Gelombang II Tahun 2024 di Badan Diklat Kejaksaan RI, Rabu (11/12/2024). (dok. Puspenkum Kejagung)

Bhatara menyoroti banyaknya kasus dugaan rasuah menyeret penegak hukum. Teranyar, persidangan kasus dugaan korupsi yang menjerat eks Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu (Mbak Ita) yang menyebut adanya aliran dana ke jaksa.

“Pemberitaan tentang mantan camat di Semarang yang menyerahkan uang setoran kepada penegak hukum, polisi dan jaksa, menandakan penegakan hukum masih sangat lemah,” ujar dia.

2. Celah korupsi terjadi dari awal penyelidikan hingga persidangan

Jaksa Agung ST Burhanuddin menutup Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) Angkatan LXXXI (81) Gelombang II Tahun 2024 di Badan Diklat Kejaksaan RI, Rabu (11/12/2024). (dok. Puspenkum Kejagung)

Meskipun secara proses penyelidikan saat ini hingga penuntutan dipisahkan antara polisi dan jaksa, nyatanya pendekatan kendali perkara dari awal hingga persidangan menunjukkan celah yang kuat untuk terjadinya praktik korupsi.

“Pengendali perkara ini setidaknya terjadi pada Kejaksaan sekarang, yang berwenang memulai penyelidikan hingga penuntutan, yang tidak jarang memunculkan praktik abuse of power dalam pelaksanaan kewenangannya," kata Bhatara.

3. De Jure minta pemerintah meningkatkan pengawasan

Jaksa Agung ST Burhanuddin menutup Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) Angkatan LXXXI (81) Gelombang II Tahun 2024 di Badan Diklat Kejaksaan RI, Rabu (11/12/2024). (dok. Puspenkum Kejagung)

De Jure memandang proses bertahap dalam penegakan hukum di antara institusi tetap harus dipertahankan sebagai penyeimbang satu sama lain, memastikan hak-hak warga negara tidak dilanggar, serta supremasi hukum berjalan sesuai koridornya.

Untuk itu, kata dia, revisi UU Kejaksaan yang hendak menempatkan Kejaksaan sebagai kendali perkara harus ditinjau kembali oleh DPR dan pemerintah.

"Alih-alih memberikan kewenangan lebih kepada penegak hukum, terutama Kejaksaan, adalah lebih penting bagi DPR dan pemerintah untuk memperkuat mekanisme pengawasannya, baik secara internal maupun secara eksternal," ujarnya.

De Jure juga memandang masih adanya celah penyalahgunaan kewenangan yang saat ini dalam penegakan hukum oleh Kejaksaan, tetapi revisi UU Kejaksaan yang akan dilakukan DPR juga tidak memperkuat aspek pengawasannya.

Editorial Team