Jakarta, IDN Times - Kasus kekerasan pada perempuan bukan hal baru di Indonesia. Bahkan tak sedikit yang berujung kematian. Belakangan masyarakat Indonesia menerima berbagai informasi yang berkaitan dengan pembunuhan perempuan di sejumlah daerah di Indonesia. Kasus seperti ini dapat masuk dalam kategori femisida.
Pengamat sosial sekaligus pengajar dan peneliti tetap Program Vokasi Humas UI, Devie Rahmawati menjelaskan kekerasan berbasis gender ini dari kacamata sosial. Ada berbagai hal yang menempatkan perempuan pada krisis hingga mereka meninggal karena dibunuh. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan bahwa satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan.
Kekerasan seksual hingga fisik rentan dialami perempuan sebagai kelompok rentan. Catatan Tahunan (CATAHU) 2021 Komnas Perempuan menunjukkan ranah yang paling berisiko bagi perempuan mengalami kekerasan, yaitu ranah personal, di antaranya dalam perkawinan atau dalam rumah tangga (KDRT) serta dalam hubungan personal seperti hubungan pribadi atau pacaran yaitu sebesar 79 persen atau sebanyak 6.480 kasus, ada peningkatan 4 persen pada 2020.
Catahu 2021 juga mencatat kekerasan gender berbasis siber atau KGBS di ranah rumah tangga atau personal bertambah dari 35 kasus menjadi 329 kasus dari 2019 ke 2020, yang artinya ada kenaikan 920 persen di masa pandemik COVID-19.
“Apa saja faktor yang menyebabkan? Memang kalau menghitung dari jarak waktu pandemik sebagai salah satu momentum di mana terjadi peningkatan yang luar biasa dari aksi kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Karena memang, satu ketika di masa isolasi perempuan berada di dalam rumah-rumah yang tertutup, terisolasi sehingga mereka kesulitan untuk mencari bantuan,” kata dia kepada IDN Times, Rabu (29/5/2024).