Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Kekerasan Anak Di NTB (IDN TIMES)
Ilustrasi Kekerasan Anak Di NTB (IDN TIMES)

Intinya sih...

  • 3,48 persen anak mengalami tiga bentuk kekerasan sekaligus

  • Rangkaian faktor risiko yang bekerja pada berbagai tingkatan

  • Upaya memperkuat platform Satu Data Kekerasan terhadap Anak

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Laporan Analisis Tematik Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Tahun 2024 menunjukkan temuan fakta kekerasan anak adalah fenomena kompleks yang bersumber dari berbagai faktor. Plt. Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Ratna Susianawati menjelaskan hasil survei mencatat bahwa 70 persen kekerasan yang dialami anak merupakan kekerasan berulang.

"Faktor tersebut meliputi kerentanan individu, dinamika keluarga, kondisi lingkungan sosial, hingga norma masyarakat yang masih permisif terhadap kekerasan dan ketidaksetaraan gender," kata Ratna, dalam keterangan resmi, dikutip Jumat (19/12/2025).

1. Ada 3,48 persen anak mengalami tiga bentuk kekerasan sekaligus

Ilustrasi kekerasan anak (IDN Times/Sukma Shakti)

Selain kekerasan berulang, ternyata 3,48 persen anak mengalami tiga bentuk kekerasan sekaligus. Ratna mengatakan dampaknya terdapat indikasi pada para korban anak bahwa mereka mengalami trauma kompleks dan dampak jangka panjang terhadap kesehatan mental serta perkembangan mereka.

2. Rangkaian faktor risiko yang bekerja pada berbagai tingkatan

Kasus dugaan kekerasan anak yang terjadi di panti asuhan, Kelurahan Kunciran Indah, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang (dok. Pemerintah Kota Tangerang)

Ratna juga menjabarkan, dalam analisis SNPHAR 2024 ada rangkaian faktor risiko yang bekerja pada berbagai tingkatan. Di tingkat individu, anak-anak yang menyaksikan kekerasan memiliki risiko yang jauh lebih tinggi untuk menjadi korban. Pada tingkat mikrososial yang mencakup relasi anak dengan keluarga, teman, dan sekolah—hubungan yang tidak hangat dengan orang tua dan minimnya dukungan emosional meningkatkan risiko kekerasan secara signifikan.

Di tingkat sosial, lingkungan yang tidak aman, lemahnya kepercayaan terhadap masyarakat sekitar, serta kuatnya norma permisif terhadap kekerasan dan diskriminasi gender memperbesar risiko kekerasan dalam jangka pendek maupun panjang. Sebaliknya, sikap yang mendukung kesetaraan gender dan penolakan terhadap kekerasan terbukti menjadi pelindung bagi anak, terutama anak perempuan.

3. Upaya memperkuat platform Satu Data Kekerasan terhadap Anak

Ilustrasi kekerasan anak (IDN Times/Sukma Shakti)

Dia menjelaskan, kekerasan pada anak adalah isu lintas sektor yang menyentuh ranah hukum, pendidikan, kesehatan, sosial, lingkungan digital, pembangunan daerah, serta relasi keluarga. Upaya pencegahan dan penanganan kekerasan tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga saja.

"Dalam merespons hal tersebut, pemerintah akan memperkuat platform Satu Data Kekerasan terhadap Anak sebagai instrumen pemantauan terpadu,” kata Ratna.

Ratna turut menekankan pentingnya transformasi norma sosial melalui kampanye yang masif dan berkelanjutan. Lebih lanjut, peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk mendorong kesetaraan gender serta mengupayakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap anak.

“Selain di tingkat pusat, kita juga perlu mendorong penguatan kapasitas di daerah dalam mencegah dan menangani kekerasan. Pengembangan UPTD PPA sebagai layanan terpadu yang juga harus kita dukung melalui penyediaan akses layanan psikososial yang setara bagi seluruh anak. Selain itu, peran institusi pendidikan sebagai ruang aman juga harus digalakan, serta penguatan kompetensi guru sebagai garda terdepan perlindungan anak menjadi agenda besar yang terus dipacu,” kata Ratna.

Editorial Team