Kisah Para Pejuang Menuju Tanah Suci di Balik Keterbatasan Fisiknya

- Jemaah haji disabilitas, Yatun, bersemangat naik haji meski divonis kanker serviks dan mengalami masalah fisik.
- Ida Higyawati Natief Paelan, jemaah haji dari Balikpapan, bersyukur bisa menunaikan ibadah haji lebih awal sebagai cadangan.
- Ali Ismail, jemaah haji asal Ternate, Maluku Utara, merasa bersyukur dapat menunaikan ibadah haji di tengah keterbatasan fisiknya.
Makkah, IDN Times - Ibadah haji merupakan panggilan dari sang Ilahi ke baitullah. Tak ada yang bisa menghalangi mereka, jika sudah waktunya Allah memanggil mereka ke tanah suci. Apapun latar belakang dan kondisinya, tak menjadi penghalang bagi Allah untuk memilih mereka sebagai tamunya.
Begitu juga jemaah haji disabilitas yang bersemangat berjuang memenuhi panggilan Ilahi. Mereka tanpa lelah berjuang menuju ke tanah suci, di balik keterbatasan fisik mereka. Apapapun kondisinya, mereka ikhlas menjalaninya demi mencapai mimpi mereka menuju baitullah.
Simak beberapa kisah semangat dan perjuangan jemaah haji disabilitas menuju ke tanah suci.
1. Terwujudnya impian survivor kanker serviks

Jemaah haji lanjut usia, Yatun, merasa sangat senang akhirnya bisa naik haji tahun ini. Jemaah 80 tahun itu merupakan survivor atau pejuang penyakit kanker yang diidapnya.
"Alhamdulillah senang sekali. Macam-macam, saudara dalam satu ruangan menolong saya, merawat," kata Yatun yang beragkat haji didampingi anaknya, Rahmad Jatmiko, di Makkah, Arab Saudi, Kamis, 29 Mei 2025.
Yatun divonis kanker serviks dan harus menjalani kemoterapi bertahun-tahun lamanya, hingga pengobatannya dinyatakan tuntas pada 2015.
"Sehabis saya menderita sakit terkena kanker rahim, setelah sembuh diajak umrah. Alhamdulillah, kemo," ucapnya.
Yatun sempat mengalami masalah di punggung akibat pengobatan kanker. Namun, sakit di punggungnya hilang setelah umrah. Tapi kini ia mengalami masalah di kaki, sehingga sulit berjalan kaki.
"Ya itu akibat sinar. Kan sinar 28 kali. Sekarang yang saya derita mungkin efek dari sinar itu, kaki saya kurang sehat, sering kesemutan. Tapi alhamdulillah maaih bisa jalan pelan-pelan," ujar dia.
Yatun telah menunaikan umrah wajib begitu tiba di Makkah, menggunakan kursi roda dengan bantuan anaknya. Dia berdoa semoga selalu diberikan kesehatan, agar bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama anak dan cucunya.
Anak Yatun, Rahmad Jatmiko, juga bersyukur bisa berangkat haji bersama ibunya. Jatmiko bersama ibunya telah mendaftar haji pada 2019. Beruntung, sang ibu bisa lebih cepat berangkat ke tanah suci karena mendapat prioritas sebagai lansia.
Jatmiko pun bersyukur banyak yang membantu selama berada di tanah suci. Dia menyebut petugas dan jemaah saling membantu.
"Dulu waktu ibu mau berangkat belum ada bayangan di sini seperti apa, apakah nanti bisa kenalan dengan orang-orang lain. Ternyata sekarang nyaman sekali. Teman di kamar juga baik-baik, nyaman alhamdulillah. Ada yang sebaya ibu, ada yang muda. Ada yang satu daerah ibu aslinya Sukoharjo, alhamdulillah membantu sekali," ujarnya.
Jatimiko juga bersyukur petugas haji Indonesia selalu responsif membantunya. Dia mengapresiasi bantuan petugas kepada jemaah haji, khususnya kepada lansia dan disabilitas.
"Bagus, cukup responsif mereka. Kalau kami butuh sesuatu, kami bilang ke mereka, mereka segera," tuturnya.
2. Semangat Ida Higyawati menunaikan panggilan ke Baitullah

Rabu malam, 28 Mei 2025, di ruang tunggu kedatangan Bandara King Abdulaziz, suasana tampak sibuk dengan kedatangan jemaah haji dari berbagai negara. Di antara rombongan asal Indonesia, tampak sosok Ida Higyawati Natief Paelan, seorang jemaah haji asal Kota Balikpapan yang hadir dengan senyum penuh syukur.
Tahun ini menjadi momen istimewa bagi Ida dan anaknya, Reza Kanino Suprapto. Awalnya dijadwalkan berangkat haji pada 2026, namun takdir berkata lain. Mereka mendapat kesempatan lebih awal sebagai jemaah cadangan.
“Alhamdulillah, ibu semangat. Apalagi seharusnya kami dijadwalkan tahun 2026, tapi alhamdulillah bisa berangkat tahun ini sebagai cadangan,” ujar Reza yang menggantikan porsi haji almarhum ayahnya.
Reza juga bersemangat mendampingi ibunya menunaikan ibadah haji tahun ini.
“Tentunya amanah dari bapak untuk bantu ibu berhaji,” katanya.
Reza menyebut ibadah kali ini bukan hanya perjalanan spiritual bagi ibunya, tetapi juga menjadi ladang pahala bagi dirinya.
“Alhamdulillah, semangat banget,” sambungnya.
Dengan bobot tubuh mencapai 165 kilogram, perjalanan Ida ke tanah suci tentu bukan perkara mudah. Semangatnya jauh lebih besar dari tantangan fisik yang harus ia hadapi.
“Senang banget, alhamdulillah banyak yang membantu, banyak juga yang menyokong, memberi semangat. Semua karena bantuan Allah, pasti,” ungkap Ida saat ditemui di ruang tunggu Paviliun D1 Bandara King Abdulaziz, Jeddah, Arab Saudi.
Ida bersyukur, perjalanan menuju Baitullah berjalan lancar, tanpa kendala berarti.
“Gak sih, alhamdulillah. Karena ya banyak yang bantu,” ujar dia.
Ida tidak sendiri. Dalam perjalanan spiritual ini, ia didampingi anaknya yang setia membantu dan selalu mendukungnya.
“Berangkat sama anak,” ucapnya, singkat.
Tak hanya keluarga, Ida juga merasakan dukungan penuh dari jemaah lain dan petugas haji, termasuk tim medis. Semua itu menjadi bagian penting dalam perjalanannya menunaikan rukun Islam kelima.
Keterbatasn fisiknya bukan menjadi penghalang Ida menuju panggilan Allah. Tekad dan keimanannya melampaui batas.
Suasana haru pun menyelimuti ruang tunggu kedatangan Bandara Jeddah, saat sejumlah petugas Pelaksana Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi Daerah Kerja Bandara, dengan penuh kesabaran membantu Ida. Dengan sigap dan telaten, mereka mendorong kursi roda Ida dari ruang kedatangan hingga ke area penjemputan bus.
Tak sekadar didorong, Ida bahkan mendapatkan fasilitas khusus, yaitu satu unit bus yang dilengkapi dengan lift hidrolik untuk mengangkut Ida bersama kursi rodanya ke dalam bus. Dengan penuh kehati-hatian, petugas memegang kursi roda Ida saat naik ke dalam bus.
Langkah-langkah itu bukan hanya bagian dari prosedur pelayanan kepada jemaah, tetapi wujud nyata kepedulian dan penghormatan kepada setiap tamu Allah, tanpa membedakan kondisi fisik mereka.
Sesampainya di atas bus, Ida dibantu petugas perlahan berdiri dan berpindah duduk ke kursi penumpang.
“Semangat Ibu Ida,” ucap Hartatik, salah seorang petugas haji Daker Bandara.
Hartatik memberi dukungan moral yang sederhana, namun sangat berarti. Di balik pelayanan teknis, ada ketulusan yang mengiringi setiap langkah para petugas haji, menjadi bagian dari kisah-kisah kemanusiaan yang menghangatkan hati di Tanah Suci.
Perjalanan haji bagi Ida bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga bukti keteguhan hati, kekuatan doa, dan dukungan dari orang-orang tercinta. Ia adalah potret nyata dengan niat yang tulus, segala tantangan bisa dilalui.
3. Kegigihan Ali Ismail menuju tanah suci

Kisah perjuangan serupa menuju Baitullah juga dialami, Ali Ismail, jemaah haji asal Ternate, Maluku Utara. Ali pun merasa sangat bersyukur akhirnya bisa menunaikan ibadah haji tahun ini. Di usia senja dan keterbatasan fisiknya, ia tetap bersemangat mengamalkan rukun iman kelima.
Perjalanan panjang Ali tidak mudah. Sejak dari embarkasi di tanah air hingga tiba di Madinah, Ali selalu ditemani pelayanan tulus dari petugas haji Indonesia. Ia bersemangat ingin menyempurnakan ibadah haji di tengah keterbatasan fisiknya.
"Saya hanya ingin bertemu Allah di tempat paling mulia ini," ucapnya, dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca saat tiba di halaman Masjid Nabawi, Kamis, 17 Mei 2025.
Meski berjalan dengan alat bantu, semangat Ali untuk beribadah tak pernah surut. Ia berjuang setiap hari menuju Masjid Nabawi dari hotel tempat ia menginap untuk salat berjamaagh. Ia beberapa kali harus berhenti, duduk sejenak untuk melepas lelah.
Petugas haji yang siaga senantiasa mendampingi, mendorong kursi roda, menyemangati, dan memastikan semua kebutuhannya terpenuhi. Mereka bukan sekadar melayani, tetapi menghadirkan kasih sayang sebagaimana keluarga sendiri.
"Kami merasa seperti sedang membantu orang tua kami sendiri," ujar salah satu petugas dengan mata berkaca-kaca.
Sesuai tagline atau semboyan haji tahun ini, Ramah Lansia dan Disabilitas, kisah Yatun, Ida, dan Ali menjadi simbol kuat ibadah haji bukan hanya milik yang sehat dan kuat. Kementerian Agama (Kemenag) melalui program inklusifnya, terus memastikan agar jemaah dengan kebutuhan khusus tetap mendapat pelayanan terbaik.
Fasilitas seperti kursi roda, pendamping khusus, hingga infrastruktur ramah difabel, telah disiapkan di berbagai titik layanan. Komitmen ini menunjukkan negara hadir untuk semua warganya dalam meraih impian spiritual tertinggi.
"Keberangkatan mereka (lansia dan disabilitas) adalah bukti bahwa keterbatasan fisik tidak membatasi kedekatan dengan Allah," ungkap salah satu petugas Penanganan Krisis dan Pertolongan Pertama Jemaah Haji (PKP2JH).