Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Agenda Seminar Nasional Multi Pemangku Kepentingan kolaborasi Pusat Rehabilitasi Yakkum dan Dirjen HAM di Graha Pengayoman, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Selasa (19/12/2023). (youtube.com/Pusat Rehabilitasi YAKKUM)
Agenda Seminar Nasional Multi Pemangku Kepentingan kolaborasi Pusat Rehabilitasi Yakkum dan Dirjen HAM di Graha Pengayoman, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Selasa (19/12/2023). (youtube.com/Pusat Rehabilitasi YAKKUM)

Jakarta, IDN Times - Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODDP) menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan sosial. Salah seorang penyintas ODDP asal Mamuju, Sulawesi Barat Rahmi Fajriah mengaku menghadapi berbagai tantangan apalagi dia merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang lolos dan bekerja seperti masyarakat bisa.

“Saya adalah seorang penyintas disabilitas mental atau psikososial, spektrumnya di kecemasan berlebih dan borderline personality disorder. Sehari-harinya saya bekerja sebagai seorang PNS atau aparatur sipil negara di lingkup pemerintah Kabupaten Mamuju,” kata dia dalam agenda Seminar Nasional Multi Pemangku Kepentingan kolaborasi Pusat Rehabilitasi Yakkum dan Dirjen HAM di Graha Pengayoman, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Selasa (19/12/2023).

1. Syarat PNS yang ada mendiskreditkan orang dengan disabilitas psikososial

Pejabat dan pegawai Dinas ESDM NTB menuju ruang rapat lantai 2 untuk menerima pengarahan dari Gubernur NTB Zulkieflimansyah. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Rahmi mengidap kecemasan berlebih sejak 2011 dan diterima menjadi ASN pada 2015. Awalnya dia merasa kaget karena bisa lolos tes PNS di mana memang salah satu syarat menjadi PNS adalah sehat mental dan fisik.

“Menurut saya syarat ini sangat mendiskreditkan orang-orang dengan disabilitas psikososial. Syarat ini seharusnya dirombak karena sudah usang dan tidak sejalan dengan spirit inklusi. Tidak selaras dengan spirit inklusi,” katanya.

Dia bersaing dengan orang-orang non disabilitas dan menurutnya ini harus membuka mata publik bahwa orang dengan disabilitas mental memang mampu berkompetisi dan punya potensi yang sama jika diberikan kesempatan.

2. Alami stigma dan di kekerasan

Agenda Seminar Nasional Multi Pemangku Kepentingan kolaborasi Pusat Rehabilitasi Yakkum dan Dirjen HAM di Graha Pengayoman, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Selasa (19/12/2023). (youtube.com/Pusat Rehabilitasi YAKKUM)

Sebagai penyandang disabilitas psikososial yang bekerja sebagai seorang PNS, Rahmi mengaku mengalami banyak sekali pengalaman pahit. Mulai dari stigma, kekerasan, sampai pelecehan seksual.  Dia pernah dijuluki orang gila usai mengalami kedukaan saat ayahnya meninggal dunia.

“Yang pertama itu yang bisa saya bagi, oleh rekan kerja saya pernah dianggap gila, karena saya juga selain punya cemas, saya juga punya borderline. Di borderline itu saya sempat memburuk karena ditinggal ayah meninggal, jadi saya sering ke kantor hari ini memakai jilbab, besoknya tidak pakai jilbab lagi dan rambut saya diwarnai. Saking kacau saya ditinggal ayah mungkin dan oleh teman kantor itu dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu, padahal ya mestinya tidak juga karena itu kan tidak mengganggu kinerja saya sebagai seorang ASN seharusnya tidak perlu dipermasalahkan, tetapi tetap saja saya dinyinyiri satu kantor karena orang gila. Bahasa Mamuju-nya itu Togenge,” katanya.

3. Rahmi mengalami kekerasan seksual di lingkungan kerja

Ilustrasi KDRT. (IDN Times/Mardya Shakti)

Selain itu dia kerap mengalami perundungan karena kemampuan berbahasa Inggrisnya yang baik. Bahkan mendapat pelecehan seksual dari atasan di lingkungan kerjanya. Padahal Rahmi mengatakan, ruang kerja harusnya jadi tempat aman bagi siapapun yang ingin mencari nafkah.

“Kemudian cerita pahit lainnya bapak ibu, saya juga mengalami pelecehan seksual oleh seorang atasan yang sudah saya anggap sebagai pengganti figur ayah. Tapi oknum terkutuk tersebut malah menjadikan kedekatan kami sebagai sebuah kesempatan untuk melakukan hal yang tidak baik. Dan hal ini, pelecehan ini terjadi di lingkungan kerja. miris sekali, karena seharusnya lingkungan kerja itu menjadi sebuah safe space atau ruang aman untuk bagi siapapun mencari nafkah,” kata dia.

4. Ajak orang berani berobat dan berhenti sebut sakit mental sebagai aib

ilustrasi layanan kesehatan (IDN Times/Aditya Pratama)

Hingga kini, memang dia masih rutin berobat ke psikiater namun malah diolok-olok karena dianggap gila imbas terlalu pintar. Jika berdiam karena tak bekerja, dia juga jadi mudah terpancing pemikiran-pemikiran negatif. Dia menyampaikan pesan dari psikiaternya agar kesehatan mental harus dikedepankan. Perlu adanya sosialisasi dan memasifkan kampanye agar tak takut pergi ke psikiater.

“Kampanye kan bahwa sakit mental itu sama saja dengan sakit fisik. Sama-sama harus diobati. Berikan pemahaman kepada masyarakat bahwa sakit mental itu bukan aib. Berhenti mencibir kami orang-orang yang berobat ke psikiater,” kata Rahmi.

Harapannya adalah agar yang belum berobat akhirnya mau punya kesadaran dan berusaha untuk mencari pertolongan. 

“Agar kami yang sudah berobat itu jadi semakin semangat lagi untuk sembuh. Bapak-bapak pemangku kepentingan kami butuh bantuan bapak-ibu untuk menghapuskan stigma dan mewujudkan kehidupan yang setara. No one left behind and please erase the stigma,” ujarnya.

Editorial Team