Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung-Rano Karno menemui Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin di Kejaksaan Agung (Kejagung), Jumat (7/3/2025) siang. (IDN Times/Irfan Fathurohman)
Koalisi memandang, penerbitan Perpres 66/2025 membuka ruang kembalinya Dwifungsi TNI. Perpres 66/2025 membawa milter masuk jauh ke wilayah sipil yakni ke kejaksaan.
Padahal kejaksaan merupakan aparat penegak hukum yang melaksanakan kewenangan penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang, sedangkan TNI secara tegas dan jelas merupakan alat pertahanan negara yang diatur di dalam konstitusi.
“Kegagalan untuk memisahkan penegakan hukum (urusan dalam negeri) dan urusan pertahanan adalah langkah nyata membangkitkan Dwifungsi TNI itu sendiri,” ujar Hendardi.
Koalisi juga memandang, Perpres ini tidak menjadikan UU TNI maupun UU Polri sebagai rujukan pembentukan di dalamnya. Padahal substansi perpres banyak mengatur tentang pelibatan TNI dan Polri dalam pengamanan Kejaksaan.
Konsideran Perpres 66/2025 hanya mencantumkan Pasal 4 ayat (1) UUD NKRI 1945 sebagai dasar hukum pembentukan Perpres, sehingga Perpres ini sama sekali tidak menunjukkan kejelasan tentang pengerahan pasukan TNI dalam konteks Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU TNI.
Perpres 66 juga sama sekali tidak menjelaskan secara jelas kategori OMSP yang dijadikan dasar keterlibatan TNI. Mengingat ketentuan Pasal 7 UU TNI hanya membatasi OMSP ke dalam 16 jenis sedangkan melindungi tugas dan fungsi Kejaksaan tidak termasuk di dalam 16 jenis OMSP tersebut.
“Hal ini tentu menimbulkan potensi penyalahgunaan kekuatan militer karena tidak ada pembatasan yang jelas dan tegas tentang ruang gerak TNI itu sendiri,” kata dia.
Perpres 66 dinilai tidak sesuai dengan ketentuan hukum, karena menempatkan TNI melampaui ketentuan yang diatur dalam undang-undang. Merujuk pada Penjelasan Pasal 47 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2025 bahwa ‘Yang dimaksud dengan jabatan pada Kejaksaan Republik Indonesia’ adalah jabatan pada Kejaksaan Republik Indonesia di bidang pidana militer’.
Sehingga keterlibatan TNI dalam tubuh Kejaksaan hanya terbatas pada bidang pidana militer dan bukan melebar hingga mencakup ranah pelaksanaan tugas dan fungsi kejaksaan lainnya.
“Kami menilai penerbitan Perpres 66/2025 tidak urgent dan tidak di butuhkan. Sekalipun presiden memiliki kewenangan membentuk Perpres, tetapi pembentukan Perpres tetap harus diletakkan dalam tata pembentukan perundang-undangan yang benar,” ujarnya.
“Oleh karena itu, sudah sepatutnya pembentukan Perpres 66/2025 yang tidak tunduk pada norma dan tatanan hukum yang benar dievaluasi dan ditinjau ulang kembali oleh Presiden dan DPR,” lanjutnya.