Komisi Nasional Disabilitas Apresiasi PPIH Tangani Jemaah Terpisah

- Pelayanan haji kelompok jemaah disabilitas di Daker Madinah dinilai lebih baik dari sebelumnya, dengan peningkatan proses dan hasil yang signifikan.
- Sistem syarikah Arab Saudi memisahkan jemaah dengan keluarga atau pendamping, namun petugas PPIH melakukan langkah inovatif untuk meminimalisir masalah tersebut.
- Upaya inovatif PPIH Madinah termasuk komunikasi dengan syarikah, mengeluarkan jemaah terpisah dari rombongan, serta pemetaan jemaah untuk memastikan keberangkatan yang lebih baik.
Madinah, IDN Times - Wakil Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND), Deka Kurniawan, menilai pelayanan haji pada kelompok jemaah disabilitas jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, khususnya di Daerah Kerja (Daker) Madinah.
"Oke, fokus di Madinah ya. Baik, pelayanan terhadap jemaah haji yang diberikan oleh jajaran Daker Madinah dengan semua sektor-sektornya, ada lima sektor di Madinah ini, secara umum dalam pandangan kami sebagai lembaga negara yang mengurusi disabilitas, itu kami lihat sudah mengalami peningkatan," kata dia saat ditemui tim Media Center Haji (MCH), Madinah, Arab Saudi, Selasa (20/5/2025).
"Peningkatan dalam artian proses dan hasil yang didapatkan dibandingkan dengan sebelum-sebelumnya jauh lebih baik," sambung dia.
1. Daker Madinah dinilai inovatif dalam pelayanan jemaah

Deka menjelaskan dampak sistem syarikah yang diterapkan pemerintah Arab Saudi mengakibatkan jemaah yang bersama keluarga, pendamping, orang tua dengan anak dan sebagainya, terpisah. Namun, Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi melakukan langkah inovatif.
"Karena akhirnya Daker Madinah di lapangan melakukan langkah-langkah taktis, terobosan dan inovasi untuk bisa meminimalisir peluang munculnya masalah seperti yang terjadi di awal-awal. Di mana banyak jemaah haji, khususnya lansia dan disabilitas, yang ketika mengikuti sistem pemberangkatan oleh syarikat, akhirnya harus terpisah dengan keluarganya, orang tua, anak, pasangan, bahkan tenaga medis yang seharusnya mendampingi. Karena banyak kasus-kasus penyandang disabilitas dan lansia yang mereka butuh pendamping," kata dia.
Jika mereka tidak mendapatkan pendamping resmi dari keluarganya atau temannya, kata Deka, mereka harus didampingi petugas haji atau petugas kesehatan. Namun ketika mengikuti sistem syarikat, itu tidak bisa dilakukan, sehingga itulah yang sempat muncul banyak kejadian yang seolah-olah menunjukkan mereka tidak tertangani dengan baik.
"Seolah-olah pemerintah dan Kementerian Agama, petugas haji, tidak memberikan dukungan yang terbaik. Padahal, ini sebetulnya adalah merupakan dampak dari sistem yang dibuat oleh syarikat yang terpisah-pisah. Di mana jumlah anggota kloter itu bisa berbeda-beda dengan jumlah syarikat yang menanganinya," kata dia.
Dari pemantauan di Makkah, menurut Deka, Komisi Nasional Disabilitas mengkonsultasikan kepada pimpinan PPIH Arab Saudi. Dan PPIH menyampaikan adanya permasalahan akibat sistem syarikah, sehingga perlu melakukan langkah mitigasi dan antisipasi.
"Itulah sebabnya kami dari Komisi Nasional Disabilitas sengaja berkunjung ke kota Madinah atas izin dan arahan beliau untuk bisa menjajaki peluang itu," kata dia.
2. Komisi Nasional Disabilitas apresiasi PPIH Daker Madinah

Deka mengapresiasi upaya yang dilakukan PPIH Arab Saudi yang menurutnya luar biasa. Di antaranya melakukan komunikasi dengan pihak syarikah, sehingga mengeluarkan kebijakan yang membuat jemaah berkeluarga atau bersama pendamping ketika di Madinah terpisah, bisa disatukan kembali di Makkah.
"Tapi kan masalahnya adalah mereka sudah mengalami kondisi pemicu kejiwaan, stressor dalam perspektif istilah dunia disabilitas. Para disabilitas mental, terutama yang lansia dan dimensia, ini gak boleh mengalami pemicu itu. Nah, ketika sudah terpicu dari awal berangkat dari Madinah itu makin parah," ujar dia.
"Ini belum termasuk yang dampak yang banyak terjadi mayoritas adalah jemaah yang hilang. Mereka linglung. Mereka gak kenal siapa temannya. Karena terpisah. Ditambah lagi ada variable pemicu yang lain yaitu terpisah koper, terpisah hotel, dan seterusnya," sambungnya.
Namun dengan masukan dari Komisi Nasional Disabilitas, kata Deka, masalah-masalah tersebut dapat diantisipasi sejak di Madinah, sehingga masalah tersebut bisa diminimalisasi. Petugas di sektor-sektor atau di lapangan memberanikan diri mengambil langkah, dengan mengeluarkan mereka yang terpisah dari keluarga atau pendampingnya dari manifes.
"Mengeluarkan mereka dari rombongan, dan itu mereka bernegosiasi dengan alat dan kami apresiasi. Kami acungkan jempol, kesadaran kepada mereka untuk melakukan langkah itu. Insyaallah langkah-langkah yang dilakukan di Daker Madinah sudah sangat bagus menurut kami. Karena mereka melakukan terobosan, di mana jika ada jemaah yang ternyata mereka butuh pendamping dan dipaksa berangkat oleh syarikat," kata dia.
Dengan langkah inovatif tersebut, kata Deka, jemaah yang tidak ada di manifes bisa dipisahkan, dan ditempatkan di hotel transit. "Dan yang lebih luar biasa lagi adalah mereka jemaah-jemaah yang berpotensi mengalami perburukan, kondisi kedisabilitasannya, kedimensiaannya, mentalnya itu, dikumpulkan di hotel transit untuk diberangkatkan secara mandiri."
"Ini kan tidak ada dalam SOP kan, tapi ini langkah berani inovasi. Kenapa? Ada rasa kemanusiaan yang memang diwujudkan secara nyata untuk bisa meminimalisir," lanjut dia.
3. Jemaah terpisah dari keluarga atau pendampingnya bisa kembali di Makkah

Dengan langkah pola yang sama dalam menangani masalah-masalah di Madinah, kata Deka, diharapkan jemaah yang terpisah dapat kembali bersama di Makkah.
"Sehingga dalam pandangan kami, ini adalah kondisi yang sangat baik. Dan sampai nanti, kemudian mungkin sekitar lima hari ke depan, jemaah kloter-kloter yang tersisa di Madinah ini berangkat ke Makkah akan mendapatkan pola yang sama. Betul-betul diminimalisir," kata dia.
Selain itu, kata Deka, dengan upaya antisipasi melakukan pemetaan jemaah yang akan diberangkatkan ke Makkah, masalah-masalah seperti jemaah tertinggal dan sebagainya bisa segera teratasi.
"Nah, ini salah satu fakta yang memang harus kami sampaikan secara objektif, yang dimaksud dengan kondisinya secara umum jauh lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Kenapa? Sudah ada langkah-langkah mitigasi yang konkret yang dilakukan oleh Daker Madinah, oleh PPIH di Madinah ini, serta tim petugas haji," kata dia.
"Belum lagi memang langkah-langkah yang dilakukan oleh individu petugas haji yang mereka punya inisiatif-inisiatif untuk mengatasi masalah yang terjadi ketika mereka terpisah," sambungnya.
Secara umum, kata Deka, pemerintah Arab Saudi sebetulnya punya komitmen untuk bisa memenuhi hak penyandang disabilitas, termasuk lansia. Karena mereka sudah menandatangani Konvensi PBB tentang hak-hak disabilitas Nomor 110 Tahun 2008. Bahkan mereka sudah punya undang-undang sendiri untuk memenuhi hak disabilitas, yang juga mencantumkan tentang sanksi jika sampai terjadi pelanggaran.
"Tapi, sebagaimana yang lazim terjadi, selalu ada gap antara regulasi dengan implementasi. Dan yang kami temukan dalam pemantauan kami terjun ke sektor-sektor, ke lapangan, tidak semua, bahkan mayoritas tempat-tempat pemondokan, hotel yang ada di Saudi ini belum semuanya aksesibel," kata dia.
Kalau pun ada jemaah disabilitas yang tidak bisa melalui jalan-jalan yang terlalu curam, sehingga mereka belum mandiri dan perlu bantuan orang lain, belum dapat disebut ramah disabilitas.
"Kan idealnya, dia baru bisa disebut aksesibel, inklusif, adalah kalau si penyandang disabilitas itu sendiri dia bisa mandiri. Ketika dia masih harus didorong, dia belum ramah, belum bisa disebut inklusif, belum bisa terpenuhi haknya. Sehingga apa? Dia cuma sekedar asal ada formalitas," kata dia.