Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merilis hasil pemantauan terhadap peristiwa pemusnahan amunisi di Kabupaten Garut yang berujung maut pada 12 Mei 2025 lalu. Salah satu temuan penting yang berhasil diperoleh, yakni TNI Angkatan Darat (AD) merekrut 21 warga sipil untuk menjadi tenaga harian lepas dan diberi honor Rp150 ribu per hari.
Itu menjadi jawaban mengapa bisa terdapat warga sipil yang ikut jadi korban meninggal dunia. Padahal, sesuai aturan, area pemusnahan amunisi seharusnya tidak melibatkan warga sipil yang tak memiliki sertifikasi khusus.
"Kegiatan pemusnahan amunisi oleh jajaran Puspalad TNI-AD turut serta melibatkan 21 warga sipil yang dipekerjakan sebagai tenaga harian lepas," ujar Komisioner Komnas HAM bidang pemantauan dan penyelidikan, Uli Parulian Sihombing, ketika memberikan keterangan pers, Jumat (23/5/2025), di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat.
Aktivitas pemusnahan amunisi, kata Uli, memang menjadi kegiatan rutin bagi TNI AD. Mereka berencana melakukan pemusnahan amunisi dalam dua gelombang.
Gelombang pertama, pemusnahan amunisi berlangsung pada 17 April hingga 5 Mei 2025. Sedangkan, pemusnahan gelombang kedua dilakukan pada 29 April hingga 15 Mei 2025. Amunisi itu diketahui merupakan inventaris dari Gudang Pusat Amunisi III yang berlokasi di Cakung, Jakarta Timur.
Namun, aktivitas pemusnahan amunisi kedaluwarsa di Desa Sagara pada 12 Mei 2025 lalu berujung maut. Sebanyak 13 orang meninggal, di mana sembilan di antaranya merupakan warga sipil.
Lalu, bagaimana mengenai dugaan ada warga sipil yang ikut memulung sisa amunisi usai dilakukan peledakan?