Aksi Kekerasan Saat Demo Omnibus Law Disebut Pelanggaran HAM Berat
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Sejumlah dugaan aksi kekerasan oleh aparat polisi terhadap massa demo tolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja mewarnai proses demokrasi Indonesia beberapa waktu belakangan ini.
Salah satunya terjadi pada mahasiswa asal Surabaya, Bintang Keadilan, dan dosen Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Sulawesi Selatan, Andry Mamonto.
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar mengatakan, ada bukti cukup kuat yang menyatakan tindakan represif aparat adalah pelanggaran HAM berat.
“Terutama soal serangan terhadap warga sipil yang dilakukan secara sistematis dan meluas,” kata Haris dalam program Mata Najwa yang tayang di Trans TV, Rabu (4/11/2020) malam.
Baca Juga: Polisi Tangkap 11 Orang Diduga Admin Grup Kerusuhan Demo Omnibus Law
1. Diduga karena ada arahan dalam surat Telegram Rahasia yang dikeluarkan Kapolri
Menurut Haris, tindakan represif ini terkonsentrasi dengan baik karena diduga ada arahan dalam surat Telegram Rahasia (TR) STR/645/X/ PAM 3.2./2020 per tanggal 2 Oktober 2020 tentang antisipasi unjuk rasa dan mogok kerja kelompok buruh pada 6 Oktober sampai dengan 8 Oktober 2020. Telegram ini dikeluarkan oleh Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis.
“Ada mobilisasi negara untuk melakukan serangkaian tindakan kepada warga sipil. Telegram itu jadi pintu masuk untuk melegitimasinya. Ini bertentangan dengan berbagai aturan soal pengamanan,” ujar Haris.
2. Haris menilai dalam setahun terakhir polisi semakin brutal
Pandangan lain juga dikemukakan oleh Haris. Dia menilai, selama setahun ini polisi semakin brutal.
“Saya lihat ada brutalitas polisi yang masif dalam satu tahun terakhir. (Apakah) Ini mungkin ada korelasi dengan kewenangan-kewenangan baru untuk polisi di dalam omnibus law,” kata dia.
Editor’s picks
Haris menyatakan, tidak setuju dengan sikap kepala daerah yang justru memojokkan para pelajar yang dituduh melakukan kejahatan dan anarko.
"Saya gak respect sama Presiden yang memobilisasi kepala daerah, misalnya Bu Risma yang memarahi anak-anak," ujarnya.
3. Kompolnas sebut Telegram Kapolri sebagai upaya deteksi dini mencegah aksi anarkis
Menanggapi hal ini, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Puji Hartanto mengatakan, secara umum Telegram tersebut dikeluarkan sebagai upaya deteksi dini mencegah unjuk rasa yang anarkis.
“Dari awal, kami melihat secara positif thinking. Saya mantan polisi, saya tahu Telegram Polri itu untuk hal yang positif,” kata Puji dalam kesempatan yang sama.
4. Polisi juga menjadi korban aksi anarkis saat demo omnibus law
Puji mengingatkan bahwa tidak hanya demonstran yang menjadi korban aksi anarkis, tapi juga banyak polisi menjadi korban pelemparan saat mengamankan aksi demo omnibus law.
“Saya juga di lapangan saat itu, saya lihat polisi dilempari, mereka biasa aja,” ujarnya.
Menurut Puji, tindakan yang dilakukan polisi adalah posisi bertahan dan hal itu sudah ada ketentuannya. “Polisi bertahan, SOP-nya sudah ada, lalu ada pengunjuk rasa yang melakukan tindakan anarkis. Ada oknum yang terpancing,” kata dia.
Dia juga mengatakan bahwa Kompolnas sudah memberikan rekomendasi kepada Polri untuk mencegah tindakan seperti itu terulang.
Baca Juga: Kapolda Metro: Ada Dua Kategori Tersangka Perusuh Demo Omnibus Law