Aksi Mogok Makan Digelar di DPR Hari Ini, Respons RUU PPRT Mandek

Hampir dua dekade rancangan beleid ini belum sah jadi UU

Jakarta, IDN Times - Mandeknya pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), membuat Koalisi Masyarakat Sipil berencana menggelar aksi mogok makan.

Para pekerja rumah tangga (PRT) rencananya melaksanakan demonstrasi di depan Gedung DPR dan MRP RI pada 14 Agustus 2023.

"Aksi tersebut bertujuan untuk menuntut dan menekan pihak DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang, untuk dengan segera mungkin mengesahkan RUU PPRT menjadi undang-undang," kata Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraini, dalam keterangannya, Senin (7/8/2023).

Baca Juga: Sudah 39 Tahun Ratifikasi CEDAW, Indonesia Belum Sahkan RUU PPRT

1. Mogok makan sebagai simbolisasi rasa prihatin dan solidaritas

Aksi Mogok Makan Digelar di DPR Hari Ini, Respons RUU PPRT MandekDoa bersama dan penyalaan lilin mendukung pengesahan RUU PPRT, Kamis (16/3/2023). (Dok/JALA PRT)

Aksi mogok makan dipilih sebagai simbolisasi keprihatinan dan solidaritas kepada PRT yang menjadi korban penyanderaan dalam kelaparan tak terlihat. Penundaan pembahasan dan pengesahan RUU PPRT, sama artinya dengan pembiaran praktik penyanderaan terhadap PRT.

"Untuk itu, kami masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Mogok Makan Untuk UU PPRT mendorong, menekan, dan mendesak DPR untuk mempercepat dengan sesegera mungkin pembahasan dan pengesahan RUU PPRT menjadi UU PPRT, dan memberikan jaminan perlindungan secara hukum terhadap PRT," ujar Lita.

2. Sebanyak 1.635 PRT mengalami multikekerasan selama 2017-2022

Aksi Mogok Makan Digelar di DPR Hari Ini, Respons RUU PPRT MandekIlustrasi kekerasan pada perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Lita menjelaskan, beleid ini penting dan punya urgensi besar, mengingat banyaknya kasus penyiksaan, dan bahkan perdagangan orang yang dialami PRT. Negara, kata dia, harus turun tangan memberikan jaminan perlindungan, terutama lewat instrumen-instrumen hukum.

Jala PRT mencatat 1.635 kasus multikekerasan terhadap PRT yang berakibat fatal selama 2017-2022. Selain itu, terdapat 2.021 kasus kekerasan fisik dan psikis, serta 1.609 kasus kekerasan ekonomi.

"Data-data tersebut hanyalah sebuah fenomena puncak gunung es yang sejatinya masih banyak kasus yang tak dilaporkan," kata Lita.

Baca Juga: Marak Korban TPPO, JALA PRT: Penundaan RUU PPRT Sama Saja Pembiaran 

3. Maju mundur RUU PPRT di prolegnas DPR

Aksi Mogok Makan Digelar di DPR Hari Ini, Respons RUU PPRT MandekSejumlah anggota DPR mengikuti rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

RUU PPRT diajukan ke DPR sejak 2004, namun hingg hari ini tidak kunjung dibahas, apalagi disahkan. Lita menjelaskan, sejak 19 tahun lalu rancangan belid ini bolak-balik keluar masuk dari daftar prolegnas DPR.

Para PRT juga menunggu adanya payung hukum yang melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan, penyiksaan, dan perbudakan modern yang terjadi saat ini.

"Selama itu pula terjadi pembiaran terhadap segala bentuk kekerasan dan penderitaan yang dialami PRT, dimana seharusnya segala penderitaan itu menjadi memori kolektif yang harus didengar oleh DPR dan sesegera mungkin mengesahkan RUU PPRT," kata Lita.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya