Kekerasan Polisi Kembali Disorot, KontraS Catat Ada 622 Kasus Setahun
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Dua kasus kekerasan yang melibatkan polisi menyeruak ke permukaan. Mulai dari kematian Bripda Ignatius Dwi Frisco Sirage di Rusun Polri, serta sembilan Polisi Polda Metro Jaya yang diduga aniaya terduga pelaku narkoba berinisial DK (38).
Kekerasan yang melibatkan kepolisian kian jadi catatan. Sepanjang Juli 2022-Juni 2023, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendokumentasikan 622 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri. Hal ini diungkapkan KontraS pada momen Hari Bhayangkara ke 77 yang diperingati pada 1 Juli 2023
"Ironis bahwa anggota Polri yang seharusnya memberi rasa aman kepada masyarakat justru menjadi pelaku kekerasan kepada masyarakat sipil," tulis KontraS dalam keterangannya, dilansir Senin (31/7/2023).
1. Deretan kasus viral polisi, mulai dari Ferdy Sambo hingga Teddy Minahasa
Pada akhir tahun 2022, publik juga dikejutkan dengan peristiwa viral yang melibatkan anggota Polri. Mulai dari pembunuhan terhadap Brigadir Yosua Hutabarat yang dilakukan oleh Ferdy Sambo.
Kemudian ada juga peristiwa Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang, serta keterlibatan perwira Polri dalam pusaran narkotika yang terungkap pasca penetapan tersangka Teddy Minahasa.
Baca Juga: Begini Kejanggalan Tewasnya Bripda Ignatius Dwi Menurut Keluarga
2. Represi terhadap kebebasan sipil oleh polisi
Editor’s picks
Selain itu, sepanjang Juli 2022-Juni 2022 ada berbagai represi terhadap kebebasan sipil pun masih terjadi. Setidaknya 52 kasus kekerasan terhadap aksi demonstrasi oleh kepolisian. Dari puluhan kasus kekerasan ini ada 126 orang luka-luka dan 207 orang ditangkap.
"Represi terhadap kebebasan sipil juga secara khusus dialami oleh warga yang mempertahankan ruang hidupnya dari eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam oleh korporasi. Alih-alih bertindak untuk menjaga ketertiban dan keamanan warga, anggota Polri justru menjadi alat untuk membungkam warga yang sedang mempertahankan ruang hidupnya," kata KontraS.
3. Sidang Komisi Kode Etik Kepolisian tak mampu memberikan efek jera
Hal ini dinilai membuat kepercayaan publik kepada institusi Kepolisian menurun. Kasus-kasus yang ada menunjukkan kewenangan besar Polri dalam rangka penegakan hukum. Selain itu pemeliharaan ketertiban dan keamanan justru kerap disalahgunakan dan dijadikan justifikasi untuk melakukan kekerasan.
KontraS berpendapat, sidang Komisi Kode Etik Kepolisian tidak mampu memberikan efek jera kepada para pelaku.
"Bahkan dalam beberapa peristiwa seperti persidangan para terdakwa peristiwa Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya, para pelaku justru mendapatkan dukungan dari sesama anggota Korps Bhayangkara. Hal tersebut menunjukkan bahwa beberapa anggota Korps Bhayangkara me-normalisasi kultur kekerasan dan penyelewengan yang terjadi dalam institusinya," kata dia.
Baca Juga: 9 Polisi Diduga Tewaskan Pelaku Narkoba, IPW: Upaya Hilangkan Jejak?