Komnas HAM Saran Kasus Mutilasi Mimika Lewat Pengadilan Koneksitas
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengusulkan supaya peristiwa pembunuhan disertai mutilasi, yang terjadi di Mimika pada 22 Agustus 2022 yang menimpa orang asli Papua, bisa dilangsungkan dengan pengadilan koneksitas.
“Akan kami sampaikan ke pemerintah terutama Panglima, Kapolri dan seluruh jajaran,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, di kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (26/9/2022).
1. Soal politik terkait mau atau tidak jalankan
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan jika sejumlah pihak beranggapan pengadilan koneksitas ini tidak ada infrastrukturnya, lama dan lain sebagainya, maka hal itu bisa jadi, kata dia, hanya berkaitan dengan isu politik saja.
Selebihnya adalah apakah pengadilan koneksitas ini mau atau tidak untuk dijalankan, kata Anam.
"Saya kira ini soal politik saja, political will saja, mau atau tidak. Oleh karenanya Kejaksaan juga harus bertanggung jawab meminta ini. Soalnya kalau tidak, kasus ini tidak akan maksimal. Masa pelaku yang di sipil diurus polisi di pengadilan umum, yang satunya di pengadilan militer, yang satunya bisa dibuka, yang satunya susah diakses misalnya, tidak kayak begitu dinamika,” kata dia.
Baca Juga: Komnas HAM Gandeng Tokoh HAM Jadi Anggota Tim Ad Hoc Pembunuhan Munir
2. Pengadilan koneksitas jadi salah satu jalan keluar rasional
Anam mengatakan, sistem peradilan koneksitas menjadi satu jalan keluar yang rasional untuk saat ini.
Peradilan koneksitas adalah sistem peradilan yang diterapkan atas suatu tindak pidana, di mana antara tersangkanya terjadi penyertaaan antara penduduk sipil dengan anggota militer
Editor’s picks
"Oleh karenanya, biar sama-sama bisa diakses oleh masyarakat, ya harus pengadilan koneksitas. Itu menurut saya jalan keluar yang rasional dan make sense saat ini dilakukan," kata dia.
“Kalau ini di pengadilan umum malah tidak bisa, kan masih ada UU peradilan militer, yang paling make sense, rasional, adalah koneksitas itu. Kecuali memang tidak ada UU peradilan militer. Karena memang kejahatannya bukan kejahatan perang yang harusnya di pengadilan umum,” dia.
3. DPR Papua minta panglima TNI pecat tidak hormat para pelaku
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua mengungkapkan, kasus mutilasi warga Papua di Timika adalah penghinaan kepada ciptaan Tuhan. Dalam proses hukumnya, DPR Papua meminta agar Komnas HAM RI bisa mendorong atau panglima Jenderal TNI Andika Perkasa untuk bisa memproses para pelaku sesuai dengan hukum, bahkan dipecat dengan tidak hormat.
“Untuk itu, kami datang ke Komnas HAM, mendorong dan meminta Komnas HAM untuk menyampaikan kepada panglima TNI agar pelaku-pelaku ini diproses hukum, dipecat dengan tidak hormat, bahkan keluarga menyampaikan agar dihukum mati,” ujarnya.
Dia juga berharap agar peradilan bisa dilakukan terbuka dan disaksikan oleh keluarga korban. Sidang peradilan juga didorong agar dilakukan di Timika.
4. Ada 10 orang telah ditetapkan sebagai tersangka terdiri dari sipil dan anggota TNI
Perlu diketahui, hingga kini 10 orang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan tersebut, enam di antaranya merupakan prajurit tentara aktif dari kesatuan Detasemen Markas (Denma) Brigade Infanteri 20/Ima Jaya Keramo Kostrad.
Empat korban warga sipil adalah Arnold Lokbere (AL), Irian Nirigi (IN), Lemaniol Nirigi (LN), dan Atis Alias Jenius Tini (JT), yang baru-baru ini disebut KontraS masih berusia anak. Mereka diketahui berasal dari Kabupaten Nduga, Papua.
Mereka sempat dituduh sebagai bagian dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Selain itu, para korban juga dituduh melakukan transaksi jual-beli senjata api dengan para pelaku. KontraS menyebut belakangan, tuduhan-tuduhan tersebut minim bukti dan aparat tidak konsisten
Baca Juga: Wapres Ma'ruf Minta Mendagri Evaluasi Dana Otsus di Papua-Papua Barat