Payung Hukumnya Belum Ada, PRT Rentan Menglami Perbudakan Modern

Ruang kerja privat mudah tutupi adanya kekerasan

Jakarta, IDN Times - Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraini, mengatakan PRT adalah salah satu profesi yang sangat rentan terjadinya perbudakan modern.

Contohnya perdagangan manusia, kerja paksa, bonded labor, eksploitasi seksual, perbudakan domestik, perkawinan paksa, hingga pengambilan organ tubuh ilegal.

"Perbudakan modern setidaknya terdiri atas tiga unsur, yaitu adanya relasi kuasa yang tak seimbang antara pelaku-korban, adanya paksaan atau koersi, dan adanya ketidakmampuan korban untuk melepaskan diri dari perbudakan yang dialami," kata dia dalam keterangannya, Senin (7/8/2023).

Baca Juga: Marak Korban TPPO, JALA PRT: Penundaan RUU PPRT Sama Saja Pembiaran 

1. Ruang kerja privat yang mudah tutupi kekerasan yang ada

Payung Hukumnya Belum Ada, PRT Rentan Menglami Perbudakan Modernilustrasi kekerasan (IDN Times/Nathan Manaloe)

PRT juga kerap jadi korban penyiksaan dan kekerasan. Mereka punya kerentanan yang lebih besar mengalami tindak kekerasan. Hal ini disebabkan karena PRT bekerja di ranah privat atau pribadi, dalam hal ini di rumah yang menjadi tempat kerjanya.

"Lingkup tempat kerja yang privat membuat tindak kekerasan atau penyiksaan lebih mudah dilakukan, karena lebih mudah ditutupi. Hal ini termasuk juga dengan kerentanan untuk menjadi korban perbudakan modern" ujar Lita.

Bukan hanya itu, hal-hal seperti pemukulan, waktu kerja yang di luar akal sehat, hingga kekerasan seksual sangat rentan dialami PRT.

2. PRT soroti mandeknya RUU di DPR

Payung Hukumnya Belum Ada, PRT Rentan Menglami Perbudakan ModernIDN Times/Fitang Budhi Adhitia

PRT juga menyoroti mandeknya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang belum sah hingga saat ini. Padahal, RUU PPRT telah diajukan ke DPR pada 2004.

Lita menjelaskan, sejak 19 tahun lalu rancangan belid ini bolak balik keluar masuk dari daftar prolegnas DPR. PRT juga menunggu adanya payung hukum yang melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan, penyiksaan, dan perbudakan modern yang terjadi saat ini.

"Selama itu pula terjadi pembiaran terhadap segala bentuk kekerasan dan penderitaan yang dialami PRT, di mana seharusnya segala penderitaan itu menjadi memori kolektif yang harus didengar oleh DPR dan sesegera mungkin mengesahkan RUU PPRT," katanya.

Baca Juga: Jala PRT Curiga RUU PPRT Tak Kunjung Disahkan Gegara DPR Sibuk Pemilu

3. Ada 1.635 kasus multi-kekerasan dialami PRT

Payung Hukumnya Belum Ada, PRT Rentan Menglami Perbudakan ModernSidang Perdana PRT Korban penyiksaan di Apartemen Simprug, Jakarta Selatan. Sidang berlangsung di PN Jaksel pada Senin (5/6/2023). (dok. JALA PRT)

JALA PRT mencatat ada 1.635 kasus multikekerasan terhadap PRT yang berakibat fatal selama 2017-2022. Selain itu, terdapat 2.021 kasus kekerasan fisik dan psikis, serta 1.609 kasus kekerasan ekonomi.

"Data-data tersebut hanyalah sebuah fenomena puncak gunung es yang sejatinya masih banyak kasus yang tak dilaporkan," kata Lita.

Lita mengatakan, banyaknya angka kasus tersebut dipengaruhi, karena belum adanya dasar hukum yang mengikat secara detail terkait PRT.

4. Selama ini penanganan kasus kekerasan pada PRT gunakan KUHP atau PKDRT

Payung Hukumnya Belum Ada, PRT Rentan Menglami Perbudakan ModernAksi peringatan hari pekerja rumah tangga (PRT) Nasional oleh Koalisi Sipil untuk PPRT Rabu (15/2/2023) (dok. IDN Times/Istimewa)

Selama ini, kasus yang berkaitan dengan kekerasan terhadap PRT diselesaikan dengan memakai dasar hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau UU PKDRT.

"Kerap kali pengadilan yang mengadili kasus-kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga kerap menjatuhkan sanksi ringan, yang tidak sebanding dengan dampak permanen yang ditimbulkan pada pekerja," ujarnya.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya