Pembahasan RUU TPKS Macet karena Perdebatan Pasal Persetujuan

Komnas Perempuan nilai tidak ada kemajuan

Jakarta, IDN Times - DPR masih membahasas Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Namun, perjalanan RUU TPKS macet karena ada beberapa pasal, salah satunya adalah pasal terkait "persetujuan korban" atau sexual consent.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengungkapkan persoalan dalam konteks persetujuan ini menunjukkan kebuntuan seperti yang pernah terjadi pada 2019, saat RUU Penghapusan Kekerasan seksual atau RUU PKS yang kini jadi RUU TPKS dalam masa pembahasan.

"Perdebatan ini (persetujuan) belum usai dan rasanya tidak ada kemajuan dalam perdebatan, mengapa saya bilang belum ada kemajuan dalam perbedatan karena dia dikotomikan sebagai sesuatu yang tidak pada ruang kontekstasi pemikiran itu sendiri tetapi lebih pada ruang politisiasi isunya," kata Andy dalam program Ngobrol Seru: Salah kaprah pemahaman pasal persetujuan di RUU PKS by IDN Times, Kamis (25/11/2021) malam.

1. Munculnya narasi untuk kerdilkan diskusi soal sexual consent

Pembahasan RUU TPKS Macet karena Perdebatan Pasal PersetujuanGERAK Perempuan lakukan aksi di Monas untuk memeringati hari International Women’s Day, di halaman Monas, Minggu (8/3) (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Maksud Andy, banyak diskusi yang justru berkonteks pada sejauh mana persetujuan atau sexual cosent seseorang dapat diperiksa hadir atau tidak. Dia menilai pasal tersebut menjadi perhatian karena ada sejumlah pihak yang menempatkan isu ini untuk mengerdilkan ruang publik membicarakan pasal persetujuan.

Kandungan pada pasal tersebut dinilai dipolitisir sebagai konsep yang liberal atau feminis atau bisa menempatkan Indonesia dalam nilai-nilai peradaban yang tidak baik.

Baca Juga: Jokowi Dinilai Satu-satunya Orang yang Bisa Selamatkan RUU TPKS

2. Ada kelompok rentan yang tak punya kuasa terkait persetujuan

Pembahasan RUU TPKS Macet karena Perdebatan Pasal PersetujuanIlustrasi Pelecehan (IDN Times/Mardya Shakti)

Andy mulai memperhatikan isu persetujan saat duduk di bangku SMP. Ia melihat lingkungan di sekitarnya, yakni di Pontianak, yang bebas menikahkan anak di bawah umur dengan orang yang lebih tua dengan dalih sang anak sudah setuju.

Selain itu, keberadaan kelompok disabilitas yang dianggap tak bisa mengambil keputusan dan justru kerap diwakilkan. Dia menilai ada kelompok rentan yang memang tidak punya kuasa untuk menolak karena banyak latar belakang.

"Persoalan persetujuan ini memang tidak sederhana, dia bahkan sepelik macam-macam hal yang lain," ujarnya.

3. Isu persetujuan harusnya bisa dibahas untuk dapat kejelasan

Pembahasan RUU TPKS Macet karena Perdebatan Pasal PersetujuanIlustrasi kekerasan pada perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Hal-hal mendetail, kata dia, perlu dibahas lagi dalam konteks persetujuan yang dimaksud, jika isu ini tidak dikonstriktusikan sebagai sesuatu yang politis. Andy mengatakan seharusnya penjelasan terkait persetujuan dapat dibentuk untuk bisa mendapatkan kejelasan lebih tentang cara menyikapinya.

"Apakah dalam derajat informasi seperti apa yang harus diberikan, apakah ada kompetensi tertentu yang bisa menjadi indikator dari bisa tidaknya seseorang dianggap memiliki kesempatan untuk membuat persetujua atau tidak membuat persetujuan ataupun tentang ruang pengambil keputusan," kata dia.

Baca Juga: Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Terus Meningkat

Topik:

  • Jihad Akbar

Berita Terkini Lainnya