Peneliti Untirta Soroti Kajian CREA soal Polusi Udara: Tidak Valid!

Sebut jangan jadikan PLTU sebagai kambing hitam

Jakarta, IDN Times - Ahli Emisi Udara dari Universitas Sultan Agung Tirtayasa, Profesor Anton Irawan, mengatakan, hasil kajian CREA tentang polusi udara tidak valid. 

Menurut dia, perlu ada penjelasan permodelan kajian yang menyebutkan polusi udara disebabkan oleh PLTU.
 
“Kajian CREA perlu diperjelas dalam pemodelannya untuk sektor transportasi dan industri. Kok beda, kan, sudah banyak kajian yang menyatakan transportasi sebagai penyebab utama polusi udara,” kata Anton dalam keterangannya, Kamis (14/9/2023).

Baca Juga: PSI Minta Polusi Udara DKI Jadi Status Bencana, Ini Respons Heru Budi 

1. Perlu sarana komputasi andal dan minim kesalahan

Peneliti Untirta Soroti Kajian CREA soal Polusi Udara: Tidak Valid!Ilustrasi tes sistem CAT seleksi CPNS. (ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra)

Anton mengatakan, jika benar CREA memakai pemodelan kualitas udara dengan Calpuff, maka kecil kemungkinan polusi itu diakibatkan oleh PLTU.

Menurutnya, jika digunakan lebih dari 100 kilometer, maka hasil yang dilakukan membutuhkan sarana komputasi yang andal sehingga potensi untuk tidak valid pun besar.
 
“Saya perkirakan hasilnya kurang valid. Dia mengukur sampai Bandung. Jarak PLTU yang diukur sampai Bandung itu hampir 250 kilometer. Software Calpuff itu biasanya digunakan untuk mengukur jarak dekat. Tidak lebih dari radius 100 kilometer,” katanya.

Baca Juga: CREA Nilai WFH Tak Mampu Jernihkan Udara Jakarta dari Polusi

2. Perlu ada investigasi lebih lanjut untuk cari tahu kualitas udara Jakarta menurun

Peneliti Untirta Soroti Kajian CREA soal Polusi Udara: Tidak Valid!ilustrasi polusi udara pekat (IDN Times/Gregorius Aryodamar P)

Anton berpendapat, perlu dilakukan investigasi lebih lanjut untuk sumber emisi yang menyebabkan kualitas udara di Jakarta menurun. Menurutnya, emisi PLTU Suralaya sudah terkonsentrasi hanya di sekitar kawasan pembangkitan menyusul diterapkannya teknologi berbasis tinggi.

Apalagi, rata-rata PLTU sudah dipasang Electrostatic Precipitator atau yang sering disebut ESP. Hasil efisiensi penyaringan abu dengan ESP dapat mencapai 99,5 persen. Penyaringan emisi tersebut, kata dia, bisa terlihat dari perbedaan asap yang dikeluarkan dari PLTU.

“Sekarang sudah bagus pengelolaan pembangkitan listrik berbasis batu bara di Tanah Air dan tinggal bagaimana pemantauan oleh pemerintah sehingga emisi udara ambient tetap dibawah baku mutu emisi sesuai PP Nomor 22 tahun 2021 di lampiran VII” katanya.

Baca Juga: Tegas! Pemprov DKI Segel Tiga Industri Sumber Polusi Udara

3. Tak jadikan PLTU kambing hitam

Peneliti Untirta Soroti Kajian CREA soal Polusi Udara: Tidak Valid!PLN mendorong masyarakat mengolah sampah menjadi pengganti sebagian batu bara sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) atau cofiring. (Dok PLN UID Lampung).

Saat ini, kata Anton, banyak PLTU yang memperoleh penghargaan patuh terhadap aturan yang ditentukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Saat ini, pembangkit listrik berbasis batu bara jangan terlalu dijadikan kambing hitam, apalagi musuh. Industri pembangkit harus memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah tentang baku mutu emisi pembangkit pada Permen LHK 15 tahun 2019," kata dia.
 
Menurutnya, kajian yang dilakukan saat ini menunjukkan bahwa tidak ada emisi yang mengarah ke Jakarta untuk bulan Juli-Agustus.

“Pada Juli-Agustus tahun ini, angin sedang mengarah ke Samudera Hindia. Jadi sangat tidak mungkin mengarah ke Jakarta dengan jarak yang lebih dari 100 km pada bulan Juli-Agustus ini," katanya.

Sebelumnya, Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) merilis analisis soal kondisi polusi udara di Indonesia. CREA mengatakan, sumber polutan utama yang ada di Indonesia bukan hanya dari PLTU saja.

CREA menyebut PLTU tak punya alat pantau real time.

Baca Juga: Himpunan Santri Nusantara se-DKI Jakarta Deklarasi Dukung Ganjar

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari

Berita Terkini Lainnya