YLBHI Minta Negara Penuhi Keadilan Bagi Korban Penghilangan Paksa
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Hari Penghilangan Paksa Internasional diperingati pada 30 Agustus 2023. Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) meminta Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk segera memenuhi janjinya menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu yang disoroti adalah kasus-kasus penghilangan paksa.
“Jokowi harus segera memerintahkan Kejaksaan Agung menuntaskan penyidikan kasus penghilangan paksa maupun kasus pelanggaran HAM berat lainnya. Jika tidak, pengakuan dan penyesalan presiden terhadap kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Indonesia hanyalah kepalsuan,” tulis YLBHI dalam keterangannya, dilansir Senin (4/9/2023).
1. Komnas HAM mencatat ada 32.777 korban penghilangan paksa selama 1965 hingga 1966
YLBHI mengungkapkan korban pelanggaran HAM dan keluarganya berhak atas penegakan kebenaran, keadilan termasuk pemulihan serta jaminan ketidak berulangan. Ini harus dipenuhi oleh negara.
Sementara, Komnas HAM mencatat ada 32.774 korban penghilangan paksa selama 1965 hingga 1966, 23 korban pada kasus Tanjung Priok (1984), 23 korban kasus penembakan misterius (1982-1985), 13 korban pada kasus penculikan aktivis (1997-1998), dan 5 korban untuk kasus Wasior (2001).
Baca Juga: YLBHI: Buktikan Secara Hukum Jika Negara Sesali Pelanggaran HAM Berat
2. Rekomendasi Pansus DPR RI tahun 2009 yang tak dijalankan
Editor’s picks
YLBHI menilai, meski sudah empat kali Pemilihan Umum (Pemilu) berlalu setelah reformasi, negara masih gagal menyelesaikan praktik penghilangan paksa.
Salah satu hal yang dianggap tak serius dari penuntasan kasus penghilangan paksa adalah rekomendasi Pansus DPR RI tahun 2009 tidak diselenggarakan, Rekomendasi itu berisi soal penyelenggaraan pengadilan HAM ad hoc untuk kasus-kasus penghilangan paksa.
Tiga rekomendasi lainnya adalah pemerintah harus mencari korban penghilangan paksa, merehabilitasi dan memberi kompensasi pada keluarga korban hilang. Serta meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa.
3. Dinilai tak ada politik hukum yang serius dari pemerintah
Selain itu, proses hukum kasus penghilangan paksa disebut macet di Kejaksaan Agung (Kejagung).
“Sementara itu, tidak ada politik hukum yang serius dari pemerintah. Selama ini terbukti hanya ada janji kosong penuntasan kasus pelanggaran HAM berat,” ujar YLBHI.
Bahkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 terkait Pembentukan Tim Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat Non-Yudisial yang diada dianggap tidak memiliki standar dan kerangka kerja yang jelas untuk pemenuhan hak atas keadilan bagi korban.
Baca Juga: Jokowi Minta Kejagung-Komnas HAM Koordinasi Selesaikan HAM Berat