Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Dalil lainnya, pemohon menganggap proses pembentukan UU BUMN tidak sesuai dengan asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahum 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Mereka juga menyoroti DPD RI tidak dilibatkan dalam proses pembentukan UU BUMN. Padahal, DPD memiliki kewenangan konstitusional untuk ikut membahas rancangan undang-undang, yang salah satu adalah berkaitan dengan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, sebagaimana Pasal 22D ayat 2 UUD NRI 1945.
"Tidak dilibatkannya DPD RI dalam proses pembentukan undang-undang a quo, bukan hanya bermasalah pada aspek prosedural, melainkan juga bertentangan dengan kewenangan konstitusional DPD RI selaku perwakilan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," ungkap Rizki.
Selain itu, pemohon juga menyoroti tidak dilibatkannya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) dalam proses pembentukan UU BUMN. Mereka mengaku memahami lembaga tersebut memang bukan pembentuk undang-undang, namun dalam konteks perumusan undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan negara, BPK memiliki kepentingan konstitusional.
"UU BUMN merupakan undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara dan pertanggung jawaban keuangan negara, sebab dalam materi muatan undang-undang a quo, mengatur dan menentukan ketentuan-ketentuan baru dalam kerangka pemeriksaan dan pertanggung jawaban keuangan negara," ucap Rizki.
"Terdapat beberapa pasal yang mengesampingkan kewenangan BPK dalam memeriksa pengelolaan keuangan negara yang dilakukan oleh BUMN. Ketentuan tersebut menjadi sangat penting untuk melibatkan dan meminta pertimbangan dari BPK selaku lembaga negara yang memiliki mandatory constitutional dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara," lanjutnya.