Belajar Online, Terjepit Antara Pilih Beli Makan atau Akses Internet?

KPAI minta internet digratiskan saat jam PJJ selama 6 bulan

Jakarta, IDN Times – Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan jalur online atau daring yang terpaksa ditempuh siswa dan mahasiswa di masa pandemik COVID-19, bukan hal mudah dan sederhana. Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang diluncurkan Selasa, 18 Agustus 2020, menunjukkan 92 persen yang merasakan belajar atau pun kuliah online menghadapi banyak masalah yang mengganggu. 

Beragam halangan dan rintangan yang dihadapi peserta didik maupun pendidik dalam menjalankan PJJ di tengah pandemik. Kesulitan ini terbilang merata dirasakan tiap orang yang bergerak di bidang pendidikan. Termasuk di pulau paling timur Indonesia.

Seorang guru honorer di SMK Negeri 1 Elikobel, Merauke, Papua bernama Nur Rohim menceritakan betapa sulitnya mengajar di tengah pandemik virus corona.

“Jadi kurang optimal, dibilang kurang optimal itu untuk masalah jaringan,” kata Nur Rohim saat dihubungi IDN Times lewat sambungan telepon, Selasa 11 Agustus 2020.

“Kemudian untuk masalah smartphone, perlu digarisbawahi bahwa tidak semua siswa memiliki smartphone,” dia melanjutkan.

Baca Juga: Ops! Menteri Nadiem Bilang PJJ Merusak Anak, Kok Bisa?

1. Ekonomi tidak menentu, mayoritas mengaku sulit biaya sekolah/kuliah online saat pandemik

Belajar Online, Terjepit Antara Pilih Beli Makan atau Akses Internet?Biaya Internet untuk Sekolah dan Kuliah Online per Bulan (IDN Times/Mathew Anakotta)

Dari hasil survei SMRC yang bertajuk 'Pendidikan Online di Masa COVID-19' yang melibatkan 2.201 responden, diketahui sebanyak 89 persen mengaku kesulitan membayar biaya sekolah dan kuliah di masa pandemik, karena situasi perekonomian yang tidak menentu.

Bahkan 93 persen responden mengaku merasa berat membiayai sekolah dan kuliah yang berlangsung secara daring. Sebab, biayanya tidak sedikit.

Dari 70 persen responden yang memilik anggota keluarga yang masih belajar dan kuliah secara daring, 46,6 persen mengaku mengeluarkan dana lebih dari Rp100.000 hingga di atas Rp500.000 untuk biaya sekolah dan kuliah online per bulan. Sedangkan 51,9 persen mengeluarkan dana di bawah Rp50.000 hingga Rp100.000.

Dari survei ini juga diketahui, 72 persen responden mengaku kondisi ekonomi rumah tangga saat ini lebih buruk ketimbang sebelum wabah terjadi. 

Survei ini sendiri digelar pada 5-8 Agustus 2020, di mana dari 2.201 responden, lima persen di antaranya diketahui berstatus pelajar/mahasiswa dan seluruh responden diketahui berusia 17 tahun ke atas. Survei ini memiliki margin of error sekitar 2,1 persen dengan tingkat kepercayaan mencapai 95 persen.

2. Akses internet belum merata untuk mendukung optimalnya PJJ

Belajar Online, Terjepit Antara Pilih Beli Makan atau Akses Internet?Ilustrasi PJJ dengan akses gratis CloudX Conference (IDN Times/Dokumen)

Tidak hanya soal biaya, masalah lain yang harus dihadapi adalah akses internet. Sebanyak 76 persen responden survei mengakui memiliki akses internet. Mayoritas responden mengakses lewat ponsel, sedangkan sisanya mengakses lewat laptop, komputer, dan perangkat lainnya.

Akses internet memang menjadi hal yang krusial dalam pembelajaran jarak jauh di masa pandemik. Meski banyak yang sudah bisa mengakses internet, tapi banyak juga pelajar dan mahasiswa yang masih kesulitan akses internet.

Hal ini juga disadari oleh Komisi X DPR RI. Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian sebelumnya mengusulkan agar Menteri Pendidikan dan kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, membuat Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman kerja sama dengan tiga kementerian untuk mengatasi masalah akses internet yang tidak merata.

"Saya terus terang udah berapa kali kalau waktu rapat mencoba mendorong agar terjadi suatu kolaborasi antara Mas Menteri (Mendikbud) dengan menteri-menteri lain, misalnya Menteri Kominfo dan Menteri Perindustrian. Seharusnya ada MoU tiga menteri," kata Hetifah dalam webinar dan rilis survei SMRC terkait Asesmen Publik tentang Pendidikan Online di Masa COVID-19, yang disiarkan melalui kanal YouTube SMRC TV, Selasa 18 Agustus 2020.

Menurut Hetifah, gagasan pembuatan MoU antar tiga kementerian ini sangat diperlukan, untuk memastikan anak-anak yang tidak punya gawai (bisa) punya gawai." Guru yang tidak punya laptop (bisa) punya laptop," kata dia.

Menurut Hetifah, kesepakatan tersebut juga dapat membahas perihal bagaimana membantu orang tua yang kini harus berbagi gawai dengan anaknya untuk dapat PJJ, sedangkan orang tua tetap harus bekerja dan perlu menggunakan gawainya juga.

“Tugas kita mencegah jangan sampai terjadi digital devide atau technological devide. Mereka yang tidak punya akses ke internet makin ketinggalan," kata Hetifah dalam paparannya. "Kita harus lebih ambisius dari apa yang ada sekarang," ujar Hetifah lagi.

3. Strategi guru di Papua siasati keadaan agar materi pelajaran sampai ke siswa

Belajar Online, Terjepit Antara Pilih Beli Makan atau Akses Internet?Nur Rohim bersama anak didiknya di Merauke, Papua (Dok. Pribadi/Nur Rohim)

Kesulitan-kesulitan tersebut terlihat jelas dari pengalaman Nur Rohim yang mengajar di Bumi Cenderawasih.

Menurut Rohim, pengajaran secara daring melalui aplikasi WhatsApp merupakan pilihan terbaik untuk tetap bisa mengadakan kegiatan belajar mengajar jarak jauh dengan murid-muridnya.

Kepada IDN Times Rohim bercerita, dia biasanya mengirimkan materi yang sudah dipersiapkan dengan format PDF ke WhatsApp murid-muridnya. Setelah itu, Rohim akan mengirimkan pesan suara yang berisikan penjelasan dari dia terkait materi yang dibagikan.

Tapi, sinyal dan jaringan internet yang tak optimal menjadi penghambat utama kegiatan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di tempat Rohim mengajar.

“Pembelajaran di sini jadi kurang optimal, dibilang kurang optimal,” kata Rohim. “Kemudian untuk masalah smartphone, perlu digarisbawahi bahwa tidak semua siswa memiliki smartphone,” lanjutnya.

Demi menyiasati kondisi ini, tidak jarang Rohim meminta murid-muridnya untuk mencetak materi yang diberikan agar siswa yang tidak memiliki gawai dapat tetap menerima materi pelajaran.

“Pasti saya tanyakan lagi bagaimana teman-temannya sudah terima atau belum,” kata Rohim, yang saat ini memiliki sedikitnya 150 siswa.

Kisah Rohim dan murid-muridnya hanya sedikit dari kisah guru yang berjuang untuk dapat memenuhi hak pendidikan anak di tengah pandemik COVID-19.

4. Kemendikbud akui PJJ sebenarnya tidak optimal untuk pendidikan anak

Belajar Online, Terjepit Antara Pilih Beli Makan atau Akses Internet?Mendikbud Nadiem Makarim (IDN Times/Kevin Handoko)

Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pelaksanaan PJJ memang belum optimal. Masih banyak kabupaten/kota yang tidak melaksanakan PJJ sesuai Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri. Menurut Sekretaris Jenderal Kemdikbud, Ainun Na'im, jumlahnya bahkan lebih dari 70 daerah.

"Ada 79 kabupaten/kota yang pelaksanaan pembelajaran di daerahnya belum sesuai dengan SKB," kata Na'im dalam acara yang bertajuk Bincang Pendidikan dan Kebudayaan yang dilaksanakan secara daring lewat aplikasi Zoom, Selasa, 28 Juli 2020.

Berdasarkan instrumen pemantauan implementasi SKB milik Kemdikbud per 27 Juli 2020, ada 79 daerah yang pelaksanaan pendidikannya tidak sesuai dengan SKB Empat Menteri. Sebanyak 17 daerah belum diketahui dan 418 daerah tercatat melaksanakan sesuai SKB Empat Menteri.

"Kami minta untuk dapat segera menyelaraskan proses belajar mengajar dengan ketentuan tersebut," ujar Na'im dalam paparannya. Dia juga menyampaikan apresiasi kepada 418 daerah yang telah melaksanakan pendidikan sesuai SKB Empat Menteri.

Ada pun 79 daerah yang disebutkan Na’im, terbagi dalam empat zona. Sebanyak 18 daerah berada di zona hijau, 39 daerah berada di zona kuning, 20 daerah berada di zona oranye, dan 2 daerah berada di zona merah.

Ada pun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, mengakui bahwa pelaksanaan PJJ memiliki dampak negatif dan permanen terhadap anak. Ada tiga dampak besar yang mengancam jam anak dan masa depannya dengan pemberlakuan PJJ.

Mulai dari ancaman putus sekolah, penurunan capaian belajar, dan juga peningkatan kekerasan terhadap anak serta risiko psikososial.

"Efek daripada melakukan pembelajaran jarak jauh secara berkepanjangan itu bagi siswa adalah efek yang bisa sangat negatif dan permanen," kata Nadiem, Jumat 7 Agustus 2020.

Nadiem di berbagai kesempatan menegaskan, tidak seorang pun di Kemendikbud yang menginginkan PJJ dilaksanakan. Namun, kata dia, situasi pandemik menyebabkan PJJ menjadi jalan terbaik yang bisa diterapkan agar pendidikan di Indonesia dapat terus berjalan.

Agar bisa mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan di masa pandemik COVID-19, Nadiem telah mengeluarkan Kurikulum Darurat yang sifatnya opsional. Kurikulum Darurat ini merupakan wujud perampingan dari Kurikulum Nasional 2013, di mana tidak wajib digunakan oleh sekolah-sekolah.

5. KPAI: Gratiskan internet saat jam PJJ selama 6 bulan agar semua anak bisa belajar

Belajar Online, Terjepit Antara Pilih Beli Makan atau Akses Internet?Priyo Handoko mengajak anaknya yang masih duduk kelas dua sekolah dasar saat beraktivitas mengatur lalu lintas, agar selalu dapat membimbingnya selama melakukan kegiatan belajar di rumah. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho

Sebelumnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah memberikan evaluasi dan rekomendasi dengan diperpanjangnya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di masa pandemik COVID-19.

Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Retno Listyarti pada Rabu 10 Juni lalu mengungkapkan, berdasarkan survei PJJ yang dilakukan KPAI pada Maret-April 2020, terungkap bahwa kendala PJJ adalah kuota internet yang tidak mampu dipenuhi orang tua siswa, apalagi para orang tua yang anaknya lebih dari satu.

"Para orang tua yang anaknya 3 sampai 4 benar-benar kewalahan memenuhi kuota untuk PJJ dengan daring, akibatnya mereka memilih membeli makanan daripada ikut PJJ daring," terangnya.

Untuk itu, KPAI merekomendasikan agar pemerintah menggratiskan internet pada saat jam PJJ selama 6 bulan agar semua anak bisa melakukan PJJ.

"Sedangkan untuk pemerintah daerah, agar ada dorongan wifi di berbagai sekolah negeri dan swasta untuk dibuka passwordnya, sehingga anak-anak sekitar sekolah dapat menggunakannya saat PJJ daring, meski bukan siswa sekolah tersebut," imbuhnya.

Retno menambahkan, PJJ bukan memindahkan sekolah ke rumah, jadi sebaiknya sekolah menyusun jam pembelajaran agar efektif dan efesien.

"Misalnya, PJJ tidak harus memindahkan jam belajar di sekolah 10 jam, lalu anak di rumah juga menjalani 10 jam dengan 5 guru secara bergantian, dan bahkan memakai seragam sekolah selama proses PJJ," terangnya.

Selain itu, guru harus fleksibel dalam proses PJJ, termasuk waktu mengumpulkan tugas dan waktu mengerjakan ulangan atau ujian.

Langkah ini perlu dilakukan karena berdasarkan survei  KPAI, selama PJJ anak cenderung mengalami tekanan psikis.

“Dampak secara psikis juga terjadi pada pembelajaran jarak jauh, di mana ini PJJ membuat siswa kelelahan, kurang istirahat, dan mengalami stres,” ujar Retno dalam webinar kolaborasi AJI dan UNICEF yang bertema "Tantangan Menjaga Kesejahteraan Anak Saat Pandemik", Senin 11 Mei 2020.

Perlu diketahui survei tersebut dilakukan di 20 provinsi dan 54 kabupaten serta kota di Indonesia. Survei ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dan menggunakan teknik multistage random sampling.

Responden mayoritas adalah anak perempuan, yakni sebanyak 67,9 persen dan 32,1 persen anak laki-laki. Responden mayoritas adalah siswa jenjang pendidikan SMA dengan persentase 64 ,5 persen dan 33,6 persen siswa SMP serta 1,9 siswa SD. Survei berlangsung pada 13-21 April, dengan responden terdiri dari 246 pengadu ke KPAI sebagai responden utama, dan 1.700 siswa sebagai responden pembanding, serta 575 guru.

Baca Juga: KPAI Temukan Kasus Positif COVID-19 di Sejumlah Sekolah dan Ponpes

Topik:

  • Margith Juita Damanik
  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya