Pakar Hukum UGM: UU Cipta Kerja Dibuat Tanpa Partisipasi Publik
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times – Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Zainal Arifin Mochtar menyebutkan judicial review (JR) adalah jalan yang tepat untuk menguji Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan DPR pada 5 Oktober 2020 lalu.
“Saya membayangkan bahwa judicial review jadi jalan yang paling pas,” ujar Zainal dalam acara bertajuk Pernyataan Sikap Professor, Dekan dan Akademisi dari 67 Perguruan Tinggi Menolak UU Cipta Kerja yang digelar secara daring lewat aplikasi Zoom pada Rabu (7/10/2020).
“Karena judicial review menjadi ajang pengujian. Walaupun pada saat yang sama memang harus dilakukan tindakan lain, tekanan publik,” lanjutnya.
Zainal mengatakan apa pun pilihan-pilihan tekanan publik, sepanjang tidak melanggar hukum dan tidak melanggar protokol kesehatan penting untuk diusahakan.
Ada empat hal yang menjadi catatan Zainal.
1. Zainal sebut UU Ciptaker dibuat dengan cara yang luar biasa
Catatan pertama dari Zainal, dia merasa pembuatan Undang-undang Cipta Kerja ini dilakukan dengan cara yang luar biasa. “Tidak melihat partisipasi publik. Karena kemudian partisipasi di dalamnya nyaris tidak ada,” ujar Zainal.
Dia memberi catatan bagaimana 79 undang-undang dengan lebih dari seribu pasal ini dikerjakan dalam 60 kali pertemuan.
“Dan proses-proses pengayaan wacana di dalamnya tidak ada,” kata Zainal.
“Padahal 11 klaster yang ada itu memiliki logika dan paradigma yang berbeda-beda antara satu undang-undang dengan lainnya. Bagaimana mungkin digabung dalam konteks dan dikebut secara cepat-cepatan,” sambung dia.
Baca Juga: Warga Tak Bisa Gugat Amdal di UU Ciptaker? Ini Penjelasan Menteri LHK
2. Tidak ada transparansi dari pembuatan UU Ciptaker ini
Zainal menyayangkan tidak adanya transparansi dalam pembuatan UU Ciptaker ini. Dia merasa publik sama sekali tidak mendapat apa-apa dari proses perumusan undang-undang ini.
Editor’s picks
“Jangankan publik, sebagian lembaga negara saja tidak menerima,” kata Zainal. “Sebagian Kementerian sendiri tidak menerima, antar Kementerian sendiri tidak mendapatkan berkas. Lalu tiba-tiba sudah berada di DPR begitu saja,” ujar dia lagi.
Publik menurut Zainal tidak dapat mengakses sama sekali. Padahal, menurut dia, partisipasi dan sosialisasi justru jadi bagian yang tak terpisahkan dari konsep UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan.
3. Pembuatan UU Ciptaker hanya melibatkan pihak yang sudah dipilih
Catatan ketiga dari Zainal adalah, pembahasan UU Ciptaker yang menurut dia dibuat dengan proses yang malah tidak melibatkan seluruh stakeholders terkait. Hal ini berkaitan dengan partisipasi.
“Padahal pelibatan itu menjadi penting. Saya melihat gejala yang dilibatkan itu adalah pihak-pihak yang sudah selektif, dipilih berdasarkan orang-orang yang mendukung ini dan kemudian menegasikan (menyangkal) orang-orang lain,” ujar dia.
4. Tidak ada draft akhir dalam sidang Paripurna?
Zainal juga mengatakan ada catatan-catatan proses di internal DPR yang kelihatannya tidak terlalu memenuhi ketentuan dari Tata Tertib dari Undang-undang 12 tahu 2011 dan lainnya.
“Bisa dibayangkan bagaimana mungkin ada Paripurna tanpa draft itu tidak dibagikan kepada anggota DPR,” ujar Zainal. “Padahal draft itu sebenarnya adalah harusnya milik semua anggota DPR, karena anggota DPR harusnya mengkritisi draft yang akan disetujui menjadi tahapan persetujuan dalam undang-undang,” ujar dia lagi.
Menurut Zainal, draft tersebut harus ada karena dalam prosesnya, setelah undang-undang tersebut diproses persetujuan, biasanya masih dikembalikan lagi kepada pemerintah untuk diperbaiki pasal-pasalnya atau typo atau lain sebagainya.
“Gunanya yang namanya draft akhir itu supaya bisa diketahui pergeseran dari kesepakatan tingkat satu, kesepakatan tingkat dua, sampai ketika dia disahkan,” ujar Zainal lagi.
Baca Juga: Menteri KKP Klaim UU Ciptaker Untungkan Nelayan