Menteri PPPA Minta Anak-Remaja Bijak Main Medsos, Jangan Terlena

- Jika terima informasi, cek dulu kebenarannya. Anak diminta bijak sebelum membagikan informasi di media sosial.
- Anak adalah subjek penting dalam pembangunan. Negara, keluarga, masyarakat, dan dunia usaha memiliki tanggung jawab untuk melindungi anak.
- Membuka ruang bagi anak menjadi agen perubahan. Tantangan perlindungan anak semakin kompleks di era digital dan perubahan iklim yang semakin nyata.
Jakarta, IDN Times - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam bermedia sosial (medsos), terutama bagi anak-anak dan remaja yang saat ini tumbuh pada era digital.
Arifah menjelaskan dari hasil survei Komnas Perlindungan Anak (2022), sebanyak 40 persen anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan di ruang daring, termasuk perundungan.
“Media sosial dan teknologi tidak bisa kita tinggalkan, karena bagian dari kehidupan masa kini. Namun, jangan sampai kita terlena dan menjadi korban, sebab ketidakarifan kita dalam menggunakan media sosial,” kata Arifah, membuka webinar series “Libur Telah Tiba”, dikutip Rabu (9/7/2025).
1. Jika terima informasi, cek dulu kebenarannya

Arifah mengingatkan pentingnya penerapan prinsip membagikan informasi dalam bermedia sosial. Anak-anak diminta menanyakan kepada diri sendiri terkait informasi yang akan dibagikan dan memeriksa informasi yang didapat.
“Jika menerima informasi, cek dulu kebenarannya. Setelah itu, tanyakan kepada diri sendiri, apakah informasi tersebut penting untuk disebarkan, dan apakah ada pihak yang bisa tersakiti jika informasi itu dibagikan. Bijaklah sebelum mengunggah atau membagikan sesuatu,” ujarnya.
2. Anak adalah subjek penting dalam pembangunan
Arifah mengingatkan anak-anak adalah subjek penting dalam pembangunan. Karena itu, negara, keluarga, masyarakat, dan dunia usaha memiliki tanggung jawab untuk memastikan proses pembangunan berlangsung secara inklusif dan responsif, terhadap suara serta kebutuhan anak.
“Dunia digital dan krisis iklim adalah dua tantangan besar yang harus dihadapi anak-anak masa kini. Kita semua wajib hadir untuk mendampingi mereka tumbuh dengan aman, tangguh, dan bijak,” ujarnya.
3. Membuka ruang bagi mereka untuk menjadi agen perubahan

Dalam webinar ini, CEO Save the Children Indonesia, Dessy Kurwiany Ukar mengungkapkan pada era digital dan perubahan iklim yang semakin nyata, tantangan perlindungan anak semakin kompleks dan mendesak.
“Digitalisasi membawa peluang besar, tetapi juga risiko yang mengancam keselamatan dan hak-hak anak. Sementara itu, dampak perubahan iklim memperparah kondisi ketidakpastian yang dialami anak-anak, memperpanjang masa krisis dan menghambat akses mereka terhadap kebutuhan dasar,” kata Dessy.
Jelang Hari Anak Nasional 2025, Dessy mengajak seluruh pihak untuk kembali menegaskan komitmen bersama, dalam melindungi anak-anak dari ancaman digital dan krisis iklim, serta membuka ruang bagi mereka untuk menjadi agen perubahan.