Merampas Hak Warga Demi Rempang Eco-City

Jakarta, IDN Times - Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City terus mendapat penolakan warga di Kampung Sembulang Hulu dan Kampung Sei Buluh, Rempang, Kepulauan Riau.
Rabu (18/12/2024) dini hari, bentrokan pecah antara warga dengan satuan pengamanan PT Makmur Elok Graha (PT MEG).
Wadi, warga Kampung Tua Sembulang Hulu mengatakan, insiden tersebut terjadi pada Pukul 00.30 WIB di pos solidaritas masyarakat Sembulang Hulu, Sembulang, Pulau Rempang, Kota Batam.
"Saat itu semua masyarakat banyak berlarian ke hutan karena puluhan orang dari PT MEG datang membawa parang, panah, dan kayu balok, dengan ancaman ingin membunuh warga," kata pria 48 tahun itu, Rabu.
1. Bermula dari sekelompok orang yang merusak spanduk penolakan

Wadi menjelaskan, peristiwa ini bermula ketika warga melakukan patroli rutin pada pukul 21.00 WIB, dan menemukan sejumlah orang tengah merusak spanduk penolakan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City.
"Saat terpergok warga, beberapa orang kabur menggunakan sepeda motor dan satu orang lainnya masuk ke dalam hutan. Melihat itu, kami langsung berkordinasi dengan warga lainnya untuk mengepung dan menyisir kawasan hutan tersebut," ujarnya.
Setelah menangkap seorang karyawan PT MEG berinisial R tersebut, selanjutnya warga membawa R ke posko solidaritas masyarakat Rempang di Sembulang Hulu.
"Saat itu datang TNI, polisi dari Polsek Galang dan beberapa orang lainnya meminta agar karyawan PT MEG yang kami amankan ini dilepaskan, tapi kami meminta dengan catatan PT MEG tidak beraktivitas lagi di Sembulang," ungkap Wadi.
2. Sembilan warga jadi korban kekerasan

Tidak berselang lama, pada Rabu pukul 00.15 WIB, datang puluhan orang menggunakan mobil bak terbuka dan menjemput secara paksa karyawan PT MEG yang ditangkap warga.
"Mereka datang ada yang bawa parang, panah, dan balok kayu. Saat itu warga langsung lari ke hutan. Ada juga yang bertahan, tapi dikeroyok dan diancam akan dibunuh oleh orang PT MEG," tegasnya.
Akibat insiden tersebut, sembilan warga menjadi korban kekerasan dengan luka sobek di kepala, luka berat, terkena anak panah, patah tangan, dan warga lainnya mengalami luka ringan. Para korban telah dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan.
3. Mengarah ke pelanggaran HAM

Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil YLBHI, Edy Kurniawan Wahid, mengatakan seharusnya peristiwa ini tidak terjadi jika lembaga-lembaga negara sejak awal berani mengambil sikap tegas untuk melindungi warga Rempang, dan meninjau ulang PSN Rempang Eco-City.
Sejak satu tahun terakhir, warga Rempang berkali-kali mengadukan peristiwa kekerasan yang berulang ini. Pengaduan ditujukan kepada DPR RI, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Komnas HAM, Ombudsman, Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan lain-lain.
“Jadi seharusnya mereka mampu memitigasi potensi kekerasan di Rempang. Kejadian ini membuktikan kegagalan lembaga negara tersebut untuk menyelesaikan konflik di Rempang,” kata dia dalam jumpa persnya di Jakarta Selatan.
Edy menjelaskan, berdasatkan pola rentetan serangan terhadap warga Rempang dalam satu tahun terakhir, yang melibatkan kepolisian, TNI, BP Batam, dan kelompok premanisme yang dimobilisasi PT MEG, serta diorkestrasi pejabat-pejabat pusat.
Serangan ini menimbulkan korban pelanggaran HAM berupa perampasan tanah dan kekerasan terhadap ratusan hingga ribuan warga Rempang.
“Sehingga situasi ini mengarah pada pelanggaran HAM berat berupa kejahatan kemanusiaan, pemindahan atau pengusiran penduduk secara paksa,” ujar Edy.
4. Kekerasan berbasis kepentingan modal

Perwakilan Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Vebrina Monicha, mengatakan kekerasan yang terjadi pada warga Rempang merupakan bentuk kekerasan berbasis kepentingan modal (Capital Violence), yang diciptakan untuk mengakselerasi kepentingan dari investasi yang berujung pada pelanggaran HAM.
Kekerasan yang dilakukan satuan pengamanan PT MEG tersebut juga, kata dia, selama ini terus berulang dan minim penghukuman. Tidak adanya penghukuman tersebut menunjukkan adanya Conflict of Interest (CoI) antara PT MEG dan kepolisian.
“Sehingga kami menilai bahwa kekerasan ini telah diakomodir dalam Perpol Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pam Swakarsa, yang bila ditilik dalam sejarah merupakan kerumunan orang yang digunakan untuk kepentingan tertentu dengan minimnya pertanggungjawaban, pengawasan dan akuntabilitas,” kata Vebrina dalam kesempatan yang sama.
Lebih lanjut, PT MEG juga dinilai gagal dalam memenuhi prinsip menjalankan bisnis yang diatur dalam Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPS), dan telah dituangkan dalam Peraturan Komnas HAM Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengesahan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM, yakni untuk memperhatikan, memastikan jaminan dan perlindungan bagi masyarakat yang terdampak.
5. Premanisme dibantu pasifnya polisi

Sementara itu, perwakilan Walhi, Teo Reffelsen, mengutuk keras tindakan premanisme dan pasifnya kepolisian sehingga mengakibatkan luka fisik dan psikis Masyarakat Adat Tempatan Pulau Rempang-Galang.
Teo meminta pemerintah dan DPR melakukan evaluasi konstruktif-partisipatif terkait dengan aktivitas PT MEG di Pulau Rempang-Galang.
Diamnya pemerintah dan DPR, kata dia, seolah berpihak pada PT MEG, alih-alih melindungi hak Masyarakat Adat Tempatan Pulau Rempang-Galang terkait dengan hak atas tanah dan identitasnya.
“Presiden Prabowo Subianto harus memerintahkan Kepala Kepolisian RI (KapolrI) untuk mengusut tuntas tindakan penyerangan baik aktor lapangan maupun aktor intelektual yang memerintahkannya termasuk dan tidak terbatas jika ada keterlibatan aparat yang mendiamkan kekerasan ini terjadi,” kata Teo.
Teo menjelaskan, secara umum terdapat pola kejahatan dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) di seluruh Indonesia yang terstruktur, sistematis, dan masif, serta mengakibatkan penderitaan fisik dan psikis penduduk sipil.
“Komnas HAM harus melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran ham berat atau kejahatan kemanusiaan,” kata dia.