Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Plt Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Plt Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Intinya sih...

  • Putusan MK 135/2024 tidak memberikan opsi kepada DPR dan pemerintah sebagai pembentuk Undang-Undang (UU).

  • KPU akan menyumbangkan pengalaman di lapangan untuk dibahas dalam revisi UU Pemilu pasca putusan MK.

Jakarta, IDN Times - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Mochammad Afifuddin, mengatakan, lembaganya tidak pernah dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan perkara Nomor 135 Tahun 2024 yang meminta agar pemilu tingkat nasional dan lokal/daerah dipisah.

Afifuddin mengatakan, Putusan MK 135/2024 jadi salah satu di antara putusan lainnya yang berkenaan dengan penyelenggara pemilu, tetapi tidak melibatkan KPU.

"Di antara perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi yang banyak diuji salah satunya ini. Ini di antara yang memang tidak meminta keterangan kami sebagai penyelenggara, meskipun alasannya juga sama dengan kesimpulan banyak pihak," kata dia dalam acara diskusi yang digelar Fraksi PKB DPR RI di kanal YouTube PKBTV, dikutip Senin (7/7/2025).

"Tidak ada sama sekali keterangan (dari KPU), termasuk kesiapan partai untuk mengusung kader, ya, koalisi dalam waktu sempit dan seterusnya, masalah pembangunan daerah, termasuk kejenuhan pemilu," sambungnya.

1. Putusan MK 135/2024 tidak memberikan opsi

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Pria yang akrab dipanggil Afif itu pun menyoroti Putusan MK 135/2024 yang tidak memberikan opsi kepada DPR dan pemerintah sebagai pembentuk Undang-Undang (UU). MK dengan tegas hanya memerintahkan agar pemilu tidak lagi digelar serentak.

Dengan demikian, Putusan MK 135/2024 ini tidak kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Berbeda dengan Putusan MK 55/2019 yang memberikan enam pilihan model keserentakan pemilihan umum, di mana DPR dan pemerintah bisa menentukan formula yang tepat.

"Nah, artinya, kita semua sepakat dengan alasan-alasan ini untuk penataan pemilu kita ke depan. Sederhananya, kalau Putusan MK Nomor 55/2019, ada 6 opsi itu yang kemudian kita terjemahkan sebagaimana 2019 dan 2024. Ini kemudian sama MK langsung gak open legal (policy) lagi, kamu harus pilih ini, pemilu nasional dan daerah (dipisah). Kalau 55 kan disuruh pilih, termasuk opsi yang terbuka di pileg, terserah pilihannya apa. Sekarang udah disuruh, kamu harus pilih ini, (putusan) 135 ini kan begitu," tegas Afif.

2. KPU sumbang pengalaman di lapangan untuk bahas revisi UU Pemilu pascaputusan MK

Komisioner KPU RI, August Mellaz saat ditemui di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat (19/3/2024) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Dalam keterangan terpisah, Anggota KPU RI, August Mellaz, mengatakan, pihaknya akan menyumbangkan pengalaman di lapangan mengenai tahapan pemungutan suara untuk dibahas dalam Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Hal tersebut disampaikan saat menanggapi Putusan MK Nomor 135 Tahun 2024.

"Respons kebijakan terhadap putusan ini menjadi domain pimpinan terkait, sementara KPU tetap fokus menjalankan tugas teknis penyelenggaraan pemilu dengan optimal. KPU akan menyumbangkan pengalaman di lapangan dalam pembahasan revisi UU sebagai bahan pertimbangan pembentuk regulasi agar nantinya penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah dapat berjalan optimal sesuai ketentuan UU yang berlaku,” kata August dalam keterangannya di situs resmi KPU, dikutip Senin (7/7/2025).

Menurut Mellaz, pelaksanaan pemilu serentak pada 2019 menjadi pengalaman penting sebagai sistem baru yang kini diterapkan kembali pada 2024 dengan sejumlah perbaikan, termasuk mitigasi risiko dan pengurangan kelelahan yang berdampak positif. KPU, kata dia, terus melakukan evaluasi melalui catatan pengalaman tersebut untuk memastikan pelaksanaan tahapan pemilu berjalan sesuai jadwal tanpa gangguan dan menyiapkan bahan evaluasi sebagai referensi untuk revisi UU Pemilu.

Mellaz juga menjelaskan, terkait beban dan kelelahan yang menjadi catatan pada Pemilu 2019, KPU sudah melakukan berbagai mitigasi risiko agar kejadian serupa tidak terulang. Seperti jumlah korban petugas ad hoc, pemungutan suara susulan karena logistik tidak sampai di hari H, dan persoalan DPT yang bisa dicegah sehingga tidak terjadi pada Pemilu 2024.

KPU berharap agar tidak ada perubahan putusan atau tahapan pemilu yang mengganggu proses penyelenggaraan undang-undang di tengah jalan.

“Kami akan menyumbangkan pengalaman lapangan dalam pembahasan revisi undang-undang sebagai bahan pertimbangan pembentuk regulasi, agar nantinya penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah dapat berjalan optimal sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Biaya penyelenggaraan juga sudah distandarisasi, sementara biaya di luar itu menjadi diskresi pembentuk undang-undang dan partai politik,” kata dia.

3. Mendagri pastikan akan bahas secara khusus Putusan MK soal pemilu dipisah

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Muhammad Tito Karnavian saat ditemui di Gedung DPR, Rabu (2/7/2025) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian memastikan akan membahas secara khusus Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memerintahkan agar pemilu nasional dan daerah/lokal dipisah

Tito menyebut, pihaknya masih akan melakukan kajian dengan sejumlah kementerian terkait yakni Kementerian Hukum; Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan; dan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

"Kita masih mengkaji. nanti akan kami rapatkan antar pemerintah dulu," kata dia saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (2/7/2025).

Tito menjelaskan, pemerintah akan mengkaji Putusan MK 135/2024, apakah sudah sesuai dengan aturan yang ada. Termasuk menganalisis dampak positif dan negatifnya.

"Kita tentu membahas nanti tentang keputusan itu sendiri. Apakah sesuai dengan aturan-aturan yang ada, termasuk konstitusi dan analisis dampak positif-negatifnya dan apa kira-kira akan kita lakukan ke depan," kata dia.

Selain dengan antarinstansi pemerintah, Putusan MK ini juga akan dibahas dengan DPR sebagai pembentuk Undang-Undang (UU).

"Nanti juga akan, selain pemerintah, baru kita akan komunikasi dan koordinasi dengan DPR sebagai pembentuk undang-undang," kata Tito.

Saat ditanya bagaimana sikap Mendagri terhadap Putusan MK tersebut, Tito mengaku masih enggan menyampaikan. Menurutnya, perlu ada kajian lebih lanjut terkait hal ini.

"Saya belum menyampaikan posisi. Saya ingin memberikan waktu, kita beri waktu untuk kita kaji. Masih ada waktu untuk itu," ucap dia.

Editorial Team