Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Intinya sih...

  • Mahkamah Konstitusi (MK) tegaskan larangan wamen rangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi perusahaan.

  • Pemohon meninggal, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima karena pemohon telah meninggal dunia.

  • Juhaidy Rizaldy Roringkon menguji konstitusionalitas Pasal 23 UU Kementerian Negara yang bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, tidak dapat menerima gugatan perkara Nomor 21/PUU-XXIII/2025 mengenai uji materiil Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara). Pemohon dalam gugatan ini mempermasalahkan tidak diaturnya larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri (wamen).

MK menyatakan, gugatan uji materi itu tidak diterima karena pemohon tak bisa memenuhi persyaratan. MK mendapatkan bukti bahwa pemohon telah meninggal dunia.

1. MK tegaskan larang wamen rangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi perusahaan

Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Meski tidak menerima gugatan Pemohon, MK dalam pertimbangannya kembali menegaskan adanya Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang menyatakan wamen dilarang rangkap jabatan.

Terkait dengan isu konstitusionalitas rangkap jabatan, MK memberikan penilaian yang pada pokoknya menyatakan bahwa larangan yang berlaku bagi menteri juga berlaku terhadap wakil menteri.

"Berdasarkan Pasal 23 UU 3/2008, seorang menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, komisaris, atau direksi pada perusahaan negara, atau perusahaan swasta, atau pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD. Dengan adanya penegasan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019, maka terang bahwa wakil menteri juga dilarang merangkap jabatan lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 23 UU 39/2008," demikian bunyi berkas putusan resmi MK dalam pertimbangan hukum perkara nomor 21/PUU-XXIII/2025.

MK juga menyoroti, dalam pelaksanaannya, masih terdapat wakil menteri yang rangkap jabatan sebagai komisaris di perusahaan milik negara. Padahal, Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 sudah jelas menyampaikan bahwa wakil menteri dilarang rangkap jabatan sebagai komisaris di perusahaan negara maupun swasta.

"Pengabaian terhadap putusan tersebut salah satunya didasarkan pada alasan bahwa amar putusan dari perkara tersebut tidak dapat diterima dan tidak menyatakan ketentuan terkait larangan rangkap jabatan tersebut inskonstitusional. Meskipun dalam amar putusan a quo permohonannya tidak dapat diterima, tetapi dalam membaca putusan juga sudah seharusnya membaca dan melihat ratio decidendi-nya," lanjut MK dalam pertimbangan putusan tersebut.

2. Pemohon meninggal, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima

Pemohon pengujian Undang-Undang Kementerian Negara, Juhaidy Rizaldy Roringko menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonannya, diruang sidang Panel MK, Senin (5/5/2025) (dok. Humas MK)

Dalam pertimbangan lainnya, MK tak dapat menerima gugatan karena pemohon sebagai pihak yang mengalami kerugian konstitusional meninggal dunia.

"Perkara Nomor 21 Tahun 2025, berkenaan dengan kedudukan hukum para pemohon, Mahkamah mendapatkan bukti bahwa pemohon Juhaidy Rizaldy Roringkon telah meninggal dunia berdasarkan surat keterangan dari rumah sakit Dr Suyoto Jakarta pada tanggal 22 Juni 2025 pukul 12.55 WIB," ujar Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (17/7/2025).

Saldi menuturkan, berkenaan dengan kedudukan hukum Pemohon yang telah meninggal dunia tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut. Sebab, syarat anggapan kerugian hak konstitusional yang dimiliki oleh pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang di MK harus relevan dan berkesinambungan dengan keberadaan pemohon.

"Mengingat syarat lain yang juga harus dipenuhi untuk dapat diberikan kedudukan hukum bagi pemohon adalah apabila permohonan dikabulkan, maka anggapan kerugian hak konstitusional yang dialami oleh pemohon tidak lagi terjadi atau tidak akan terjadi," tutur dia.

Oleh karena itu, seluruh syarat anggapan kerugian yang didalilkan pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukum yang bersifat kumulatif tidak terpenuhi.

3. Petitum permohonan Pemohon

Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Sherlina Purnamasari)

Sebelumnya, Juhaidy sebagai Pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 23 UU Kementerian Negara yang berbunyi, “Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah”.

Menurut Pemohon, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 3, Pasal 17, Pasal 27 Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (3) UUD NRI 1945. Pemohon merasa dirugikan karena tidak adanya larangan bagi wakil menteri untuk merangkap jabatan. Hal ini menyebabkan praktik rangkap jabatan kian dipandang sebagai hal lumrah dalam penyelenggaraan pemerintah kekinian. Rangkap jabatan merupakan kondisi di mana seseorang menempati lebih dari satu jabatan pada waktu yang bersamaan, baik bidang yang sama maupun berbeda.

Kondisi rangkap jabatan ini menurut Pemohon, berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Meskipun hal ini bukan merupakan suatu tindak pidana, namun konflik kepentingan dalam bentuk rangkap jabatan menghadirkan kerentanan-kerentanan tersendiri apabila tidak diregulasi secara ketat. Misalnya, kekhawatiran mengenai integritas pengambilan keputusan atau proteksi kepentingan dari publik serta pemegang saham untuk konteks privat.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan frasa “Menteri” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 Kementerian Negara bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Menteri dan Wakil Menteri”. Sehingga Pasal 23 UU Kementerian Negara menjadi berbunyi: “Menteri dan Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah”.

Editorial Team