Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pemohon Meninggal, MK Tolak Gugatan Wamen Dilarang Rangkap Jabatan

Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Intinya sih...
  • Pemohon gugatan meninggal pada 22 Juni 2025, sehingga MK tidak dapat menerima gugatan karena pemohon telah meninggal dunia.
  • Syarat anggapan kerugian hak konstitusional yang dimiliki oleh pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang di MK harus relevan dan berkesinambungan dengan keberadaan pemohon.
  • Juhaidy Rizaldy Roringkon sebagai pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 23 UU Kementerian Negara yang berbunyi tentang larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri.

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima gugatan perkara nomor 21/PUU-XXIII/2025 mengenai uji materiil Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara). Gugatan ini mempermasalahkan tidak diaturnya larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri (wamen).

Mahkamah Konstitusi menyatakan, gugatan uji materi itu ditolak karena pemohon tak bisa memenuhi persyaratan. MK mendapatkan bukti bahwa pemohon telah meninggal dunia.

1. Pemohon meninggal pada 22 Juni 2025

Ilustrasi meninggal (IDN Times/Mia Amalia)
Ilustrasi meninggal (IDN Times/Mia Amalia)

Dalam pertimbangannya, MK tak dapat menerima gugatan karena pemohon sebagai pihak yang mengalami kerugian konstitusional meninggal dunia.

"Perkara nomor 21 tahun 2025, berkenaan dengan kedudukan hukum para pemohon Mahkamah mendapatkan bukti bahwa pemohon Juhaidy Rizaldy Roringkon telah meninggal dunia berdasarkan surat keterangan dari rumah sakit Dr Suyoto Jakarta pada tanggal 22 Juni 2025 pukul 12.55 WIB," ujar Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (17/7/2025).

2. Syarat tidak terpenuhi Pemohon

Ilustrasi meninggal (IDN Times/Sukma)
Ilustrasi meninggal (IDN Times/Sukma)

Saldi menuturkan, berkenaan dengan kedudukan hukum Pemohon yang telah meninggal dunia tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut. Sebab, syarat anggapan kerugian hak konstitusional yang dimiliki oleh pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang di MK harus relevan dan berkesinambungan dengan keberadaan pemohon.

"Mengingat syarat lain yang juga harus dipenuhi untuk dapat diberikan kedudukan hukum bagi pemohon adalah apabila permohonan dikabulkan maka anggapan kerugian hak konstitusional yang dialami oleh pemohon tidak lagi terjadi atau tidak akan terjadi," tutur dia.

Oleh karena itu, seluruh syarat anggapan kerugian yang didalilkan pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukum yang bersifat kumulatif tidak terpenuhi.

3. Dalil dan petitum Pemohon

berita_1746435073_1de36e8cabd0ec67b06b.jpg
Pemohon pengujian Undang-Undang Kementerian Negara, Juhaidy Rizaldy Roringko menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonannya, diruang sidang Panel MK, Senin (5/5/2025) (dok. Humas MK)

Sebelumnya, Juhaidy sebagai pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 23 UU Kementerian Negara yang berbunyi, “Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah”.

Menurut pemohon, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 3, Pasal 17, Pasal 27 Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (3) UUD NRI 1945. Pemohon merasa dirugikan karena tidak adanya larangan bagi wakil menteri untuk merangkap jabatan. Hal ini menyebabkan praktik rangkap jabatan kian dipandang sebagai hal lumrah dalam penyelenggaraan pemerintah kekinian. Rangkap jabatan merupakan kondisi di mana seseorang menempati lebih dari satu jabatan pada waktu yang bersamaan, baik bidang yang sama maupun berbeda.

Kondisi rangkap jabatan ini menurut pemohon, berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Meskipun hal ini bukan merupakan suatu tindak pidana, namun konflik kepentingan dalam bentuk rangkap jabatan menghadirkan kerentanan-kerentanan tersendiri apabila tidak diregulasi secara ketat. Misalnya, kekhawatiran mengenai integritas pengambilan keputusan atau proteksi kepentingan dari publik serta pemegang saham untuk konteks privat.

Pemohon dalam naskah permohonannya pun mengutip Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019, yang dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah sebenarnya telah melarang wakil menteri rangkap jabatan pada perusahaan negara atau swasta. Alasannya, posisi wakil menteri adalah sama dengan menteri yang diangkat oleh Presiden sehingga harus juga tunduk pada Pasal 23 huruf b UU Kementerian Negara.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan frasa “Menteri” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 Kementerian Negara bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Menteri dan Wakil Menteri”. Sehingga Pasal 23 UU Kementerian Negara menjadi berbunyi: “Menteri dan Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah”.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dheri Agriesta
EditorDheri Agriesta
Follow Us