Politik Dinasti Dinilai Tak Ada di Negara Demokrasi

Sebab, pemilihan presiden dilakukan langsung oleh rakyat

Jakarta, IDN Times - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait mantan atau yang sedang menjabat sebagai kepala daerah, meski belum berusia 40 tahun bisa mendaftar sebagai calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) menuai pro dan kontra. Putusan itu dinilai sebagai karpet merah untuk Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal calon wakil presiden Prabowo Subianto.

Ketua Umum Rampai Nusantara, Mardianysah, menilai tak ada politik dinasti di negara demokrasi. Sebab, proses pemilihan presiden dan wakil presiden langsung oleh rakyat.

"Rakyat kita sudah pintar, tidak akan terkelabui karena sistem demokrasi kita saat ini baik pilkada maupun pilpres kan sudah langsung masyarakat yang menjadi penentu, pemilihan langsung dengan sangat terbuka, jauh dari sistem politik penunjukan seperti sebelum era reformasi yang sangat memungkinkan tumbuh politik dinasti," ujar Mardiansyah dalam keterangannya, Jumat (20/10/2023).

Baca Juga: Ganjar Pranowo Angkat Bicara tentang Putusan Mahkamah Konstitusi

1. Politik dinasti ada di sistem partai

Politik Dinasti Dinilai Tak Ada di Negara DemokrasiIlustrasi partai politik peserta pemilihan umum (pemilu) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Menurut Mardiansyah, politik dinasti ada di partai. Menurutnya, ada orang tuanya yan pernah menjadi ketua umum partai, anaknya kemudian melanjutkan jabatan tersebut.

"Kalau mau fair, yang kita lihat tumbuh politik dinasti justeru di sistem kepartaian kita, beberapa partai dikuasai oleh keluarga yang sangat dominan dan menjadi penentu penuh, ini yang lebih membahayakan karena proses kaderisasi menjadi mandek," ucap dia.

 

Baca Juga: MK Bakal Putuskan Nasib Prabowo Terkait Usia Maksimal Capres 70 Tahun

2. Rakyat menjadi penentu dalam sistem demokrasi

Politik Dinasti Dinilai Tak Ada di Negara DemokrasiIlustrasi kampanye (IDN Times/Galih Persiana)

Menurutnya, rakyat menjadi penentu dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, perlu ada regenerasi di tubuh partai politik, sehingga masyarakat bisa memiliki banyak pilihan calon pemimpin di masa mendatang.

"Sistemnya sudah baik, tapi kalau partainya tidak membuka diri sebagai bagian dari lembaga publik yang harus membuka diri juga kalo tidak bisa mengancam demokratisasi di negara kita, kader-kader terbaik dalam partai politik bisa saja mandek karirnya karena tidak ada kedekatan misalkan dengan ketua umumnya," kata dia.

 

3. Alasan MK kabulkan gugatan

Politik Dinasti Dinilai Tak Ada di Negara DemokrasiGedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sebelumnya, MK mengabulkan gugatan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru sebagai pihak Pemohon.

Hakim Konstitusi, Guntur Hamzah menjelaskan pertimbangan MK mengabulkan gugatan tersebut. Dia mengatakan, batas usia tersebut sebenarnya tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945. Namun dalam praktik di berbagai negara memungkinkan presiden dan wakil presiden berusia di bawah 40 tahun.

Kemudian, berdasarkan pengalaman pengaturan baik di masa pemerintahan RIS (30 tahun) maupun di masa reformasi, in casu UU 48/2008 pernah diatur bahwa batas usia presiden dan wakil presiden minimal 35 (tiga puluh lima) tahun.

Sehingga, untuk memberikan kesempatan yang seluasnya kepada generasi muda untuk dapat berkiprah dalam konstestasi pemilu sebagai presiden atau wakil presiden, maka menurut batas penalaran yang wajar, memberi pemaknaan terhadap batas usia tidak hanya secara tunggal namun juga idealnya mengakomodir syarat lain yang disetarakan dengan usia.

Meski syarat usia batas usia tak jadi ketetapan tunggal, figur tersebut harus menunjukkan kelayakan dan kapasitasnya sebagai seseorang yang turut serta dalam kontestasi pilpres. Hal itu dinilai sebagai upaya meningkatkan kualitas demokrasi karena membuka peluang putra-putri terbaik bangsa untuk lebih dini berkontestasi dalam pencalonan, in casu sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

"Terlebih, jika syarat Presiden dan Wakil Presiden tidak dilekatkan pada syarat usia namun diletakkan pada syarat pengalaman pemah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected officials). Sehingga, tokoh/figur tersebut dapat saja, dikatakan telah memenuhi syarat derajat minimal kematangan dan pengalaman (minimum degree of maturity and experience) karena terbukti pernah mendapat kepercayaan masyarakat, publik atau kepercayaan negara," kata Guntur dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya