Wali Kota Cilegon Ikut Petisi Tolak Bangun Gereja, Kemenag Buka Suara

Wali Kota Cilegon diminta gunakan rujukan yang benar

Jakarta, IDN Times - Wali Kota Cilegon, Helldy Agustian, viral di media sosial setelah ikut menandatangani petisi menolak pembangunan gereja.

Dalam video yang beredar, Helldy membubuhkan tanda tangan di kain putih. Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama, Wawan Djunaedi, buka suara terkait peristiwa tersebut.

Wawan meminta kepada seluruh kepala daerah, termasuk Helldy, memenuhi hak konstitusi warganya. Sebab, setiap warga berhak beragama dan berkeyakinan.

Baca Juga: KPK Tahan Bupati Mimika dalam Kasus Korupsi Dana Pembangunan Gereja

1. Kemenag beberkan syarat pendirian pembangunan rumah ibadah

Wali Kota Cilegon Ikut Petisi Tolak Bangun Gereja, Kemenag Buka SuaraGedung Kementerian Agama (Kemenag) (IDN Times/Shemi)

Wawan mengatakan Kemenag telah menerbitkan aturan pendirian rumah ibadah. Seharusnya, Helldy dan kepala daerah lain, berpedoman pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PMB) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.

PMB tersebut mengatur bahwa pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. Selain itu, kata Wawan, ada juga persyaratan khusus yang harus dipenuhi terkait pendirian rumah ibadah.

Pertama, daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat.

Kedua, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa. Ketiga, rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.

Keempat, rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota. Jika persyaratan pertama terpenuhi sedangkan persyaratan kedua belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah.

“Jadi, tidak ada alasan apapun bagi kepala daerah untuk tidak memfasilitasi ketersediaan rumah ibadat ketika calon pengguna telah mencapai 90 orang,” ujar Wawan dalam keterangannya, Kamis (8/9/2022).

Baca Juga: Korupsi Dana Pembangunan Gereja, Bupati Mimika Nikmati Rp4,4 Miliar

2. Kepala daerah disarankan membentuk desk bersama terkait kerukunan umat beragama

Wali Kota Cilegon Ikut Petisi Tolak Bangun Gereja, Kemenag Buka SuaraKepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama, Wawan Djunaedi (dok. Kemenag)

Wawan kemudian mendorong setiap wali kota membentuk desk bersama berisi kepala daerah, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Kementerian Agama, pemuka agama, tokoh masyarakat, Forkompinda, dan ormas sebagai upaya pemecahan masalah.

Dalam kesempatan itu, Wawan menjelaskan kalau Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK1975 tanggal 28 Maret 1975 sudah tidak relevan lagi untuk dijadikan dasar penolakan pendirian gereja.

Wawan menjelaskan, regulasi tersebut dibuat ketika komposisi penduduk muslim di Cilegon sebesar 99 persen. Hal tersebut tertuang dalam butir menimbang pada SK Bupati tersebu.

Namun, kata Wawan, kondisi Cilegon kini telah berubah. "Berdasarkan data sensus BPS tahun 2010, kompisisi umat Kristen di Cilegon telah mencapai 16.528.513, sementara umat Katolik mencapai 6.907.873. Jumlah tersebut setara dengan 9,86 persen. Sementara komposisi umat nonmuslim secara keseluruhan mencapai 12,82 persen," kata dia.

“Bertumpu pada data jumlah penganut agama Kristen di atas, tentu ikhtiyar untuk pendirian rumah ibadah sudah memenuhi kebutuhan nyata,” sambungnya.

3. Rujukan SK Bupati juga sudah dicabut

Wali Kota Cilegon Ikut Petisi Tolak Bangun Gereja, Kemenag Buka Suarailustrasi rancangan undang-undang (IDN Times/Aditya Pratama)

Lebih lanjut, Wawan menjelaskan, poin menimbang pada SK Bupati tahun 1975 yang merujuk Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/BER/mdn-mag/1969 kini sudah dicabut.

Regulasi itu sudah diganti dengan PMB Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006. Dia menegaskan, dalam bahasa hukum, ada asas lex posterior derogat legi priori, yakni hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama.

“Yang berlaku saat ini adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006,” ujar dia.

Wawan mengatakan, SK bupati tahun 1975 kala itu dalam konteks merespons Perguruan Mardiyuana sebagai bangunan, bukan tempat ibadah. Namun, kala itu, Perguruan Mardiyuana digunakan sebagai gereja.

Pada waktu itu, umat Kristen diarahkan beribadah di gereja yang ada di Kota Serang. Kemenag juga sudah berdiskusi dengan Wali Kota Cilegon pada April 2022 agar mempedomani Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.

“Kami juga juga mengajak FKUB sebagai lembaga kerukunan umat beragama dan seluruh komponen masyarakat untuk kembali berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” imbuhnya.

Baca Juga: Resmikan Gereja di Penjaringan, Anies Bicara soal Toleransi 

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya