Jakarta, IDN Times - Di tengah riuh perdebatan di ruang publik, nama Soeharto kembali menggema—bukan karena kisah lamanya pada masa Orde Baru, melainkan karena wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional. Sebuah rencana yang bagi sebagian orang terasa seperti membuka luka lama bangsa.
Di media sosial, suara penolakan bergema keras, menandakan ingatan kolektif tentang 32 tahun kekuasaan yang penuh represi belum benar-benar hilang. Bagi banyak orang, Soeharto bukan sekadar sosok presiden kedua Indonesia, tapi simbol masa ketika suara dibungkam dan perbedaan dicurigai.
Bagi para pendukungnya, Soeharto tetaplah “Bapak Pembangunan” —pemimpin yang menstabilkan ekonomi dan membangun infrastruktur hingga pelosok negeri. Mereka mengenangnya lewat jalan tol, waduk, dan sekolah yang dulu berdiri megah pada masa Orde Baru.
Namun di sisi lain, tak sedikit yang mengingatnya lewat kisah kelam: pembantaian massal 1965, pembungkaman pers, dan praktik korupsi yang menggurita hingga menjerat keluarganya sendiri. Kontradiksi inilah yang membuat wacana gelar pahlawan bagi Soeharto terasa getir, seperti menimbang antara pembangunan dan penindasan dalam satu timbangan sejarah.
Penolakan terhadap rencana ini pun datang dari berbagai lapisan masyarakat, mulai aktivis hak asasi manusia (HAM), korban pelanggaran, hingga generasi muda yang menolak melupakan masa lalu. Bagi mereka, pemberian gelar pahlawan nasional justru merusak makna pahlawan itu sendiri.
Bagaimana mungkin seseorang yang diduga membiarkan pelanggaran HAM dianggap teladan bangsa? Pertanyaan itu yang terus mengemuka, bukan sebagai serangan pribadi, tapi sebagai seruan moral agar bangsa ini tidak kehilangan arah sejarahnya.
Secara hukum, memang tidak ada aturan yang secara tegas melarang pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan. Namun secara moral dan politik, beban sejarahnya terlalu berat untuk disembunyikan di balik kata “jasa".
Rezim Orde Baru meninggalkan trauma panjang: sensor, kekerasan, hingga ketimpangan ekonomi yang masih terasa hingga kini. Mengangkat Soeharto jadi pahlawan tanpa mengakui luka-luka, itu sama saja dengan menutup mata terhadap penderitaan jutaan rakyat yang menjadi korban kebijakannya.
Bangsa ini mungkin sudah berdamai dengan masa lalu, tapi belum sepenuhnya pulih darinya. Mengingat, Soeharto bukan berarti membenci, tapi belajar—agar sejarah tak lagi berulang dengan wajah yang sama. Jika gelar pahlawan diberikan tanpa refleksi, maka penghargaan itu kehilangan maknanya. Karena pahlawan sejati bukan hanya mereka yang berjasa membangun jalan, tapi juga mereka yang berani menjaga nurani, bahkan ketika kekuasaan menutup telinga.
Lantas, apakah layak "Bapak Orde Baru" ini dimahkotai pahlawan nasional?
