Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di kantor KPU. (www.instagram.com/@prabowo)
Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di kantor KPU. (www.instagram.com/@prabowo)

Intinya sih...

  • Efriza menilai syarat pendidikan capres dan cawapres menjadi sarjana (S1) tidak terlalu memiliki urgensi.
  • Permohonan pemohon untuk meningkatkan kualitas bakal calon presiden-wakil presiden jangan sampai memunculkan citra negatif terhadap lulusan SMA sederajat.
  • Jika ingin meningkatkan kualitas capres-cawapres dengan gelar sarjana, tidak perlu masuk kepada kriteria nilai akreditasi kampus dan jusuran.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Pengamat Politik Citra Institute, Efriza menilai syarat pendidikan capres dan cawapres menjadi sarjana (S1) tidak terlalu memiliki urgensi.

Hal tersebut disampaikan Efriza saat menanggapi adanya uji materiil terhadap Pasal 169 huruf r Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon dalam perkara yang teregister nomor 87/PUU-XXIII/2025 ini, meminta agar syarat minimal pendidikan dari yang semula SMA/sederajat menjadi S1 (sarjana) minimal di kampus dan jurusan dengan akreditasi B.

"Syarat S1 untuk capres-cawapres hal baik, tetapi tidak terlalu menjadi hal prioritas. Namun, syarat S1 dapat memberikan nilai positif, sebab akan menghasilkan pengaruh positif supaya masyarakat berjuang meningkatkan kualitas pendidikan keluarga, juga akan turut berdampak kepada meningkatkan kualitas IPM di masyarakat meningkat," kata dia kepada IDN Times, Selasa (3/6/2025).

1. Soroti citra lulusan SMA yang dianggap seperti membahayakan negara dalam gugatan di MK

Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Efriza pun secara khusus menyoroti permohonan pemohon. Menurutnya, upaya meningkatkan kualitas bakal calon presiden-wakil presiden ini jangan sampai memunculkan citra negatif terhadap lulusan SMA sederajat, apalagi dianggap membahayakan negara. 

"Ini pemikiran yang buruk, seolah kualitas SMA adalah yang akan membahayakan kondisi negara, sedangkan di Indonesia anak lulusan SMA lebih banyak ketimbang lulusan sarjana. Sisi lain, anak berpendidikan SMA umumnya malah lebih banyak yang kerja ketimbang anak lulusan sarjana, artinya mereka juga punya pengalaman dan pendidikan yang tak bisa dinilai rendah di keluarga, sekolah, dan dunia kerjanya," tuturnya.

2. Tak perlu syarat akreditasi kampus dan jurusan

Ilustrasi Pendidikan (IDN Times/Arief Rahmat)

Selain itu, kata Efriza, jika ingin meningkatkan kualitas capres-cawapres dengan gelar sarjana, tidak perlu masuk kepada kriteria nilai akreditasi kampus dan jusuran. Sebab tidak ada korelasinya kualitas individu mahasiswa dengan kualitas kampusnya. 

"Jika menggunakan nilai Indeks Prestasi juga dikotomi yang tidak pas. Sebaiknya konsentrasi saja, jika ingin sarjana atau SMA adalah ijasahnya asli bukan palsu atau diragukan," tegasnya.

3. Beri contoh Megawati yang jadi presiden meski hanya lulusan SMA

Megawati Soekarnoputri Dalam Acara konsolidasi PDI-P bali. (Dok. PDI Perjuangan)

Efriza menilai, upaya meningkatkan jenjang pendidikan merupakan hal yang positif. Tapi jangan sampai merendahkan karakter individu hanya karena lulusan SMA. Pasalnya, di Indonesia sendiri urusan menempuh pendidikan tinggi, acap bersaing dengan urusan kehidupan keluarga yang masih kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dapur. 

Ia lantas memberikan contoh, figur Megawati Soekarnoputri yang menjadi Presiden Kelima RI meski hanya lulusan SMA. 

"Kita punya contoh baik, Megawati meski lulusan SMA tetapi kualitas diri dan kepemimpinannya mumpuni bahkan pemikirannya diakui sehingga ia memperoleh pengakuan dan penghargaan berupa gelar kehormatan dalam pendidikan dari berbagai universitas di Indonesia dan luar negeri. Jadi didukung semangatnya, tetapi tidak yang sifatnya merendahkan anak lulusan SMA," tutur Efriza.

Editorial Team