Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ketua Umum PBNU K.H. Yahya Cholil Staquf (NU Online/Suwitno)
Ketua Umum PBNU K.H. Yahya Cholil Staquf (NU Online/Suwitno)

Jakarta, IDN Times - Konferensi tingkat tinggi G20 melibatkan agama-agama di dunia, sebagai bagian dari solusi untuk krisis global. Hal itu dilakukan G20 melalui salah satu forum garapannya, yakni Religion of Twenty (R20).

Forum yang diketuai dan digagas sejak Januari 2022 oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), K.H. Yahya Cholil, segera digelar di Nusa Dua, Bali pada 2-3 November 2022.

Pertemuan ini akan dihadiri para pemimipin dan pemuka agama global, guna memastikan agama bukanlah sumber masalah global. Melainkan, mampu sebagai solusi yang sejati dan dinamis dari setiap permasalahan atau konflik dunia, khususnya pada abad ke-21.

1. Tujuan utama penyelenggaraan R20

Ilustrasi pemuka agama (ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah)

R20 hadir dengan berbagai tujuan seperti mencegah isu identitas digunakan sebagai senjata, membatasi penyebaran kebencian kelompok, serta melindungi masyarakat dari kekerasan dan penderitaan yang dipicu konflik.

Tidak hanya itu, forum diskusi ini juga memiliki tujuan untuk mendorong diskusi yang jujur dan realistis dalam komunitas agama, dan di antara berbagai komunitas agama. Bahkan, memasukkan nilai-nilai moral dan spiritual ke dalam struktur kekuatan geopolitik dan ekonomi.

Merujuk dari tujuan tersebut, Kiai Yahya atau yang akrab disapa Gus Yahya dipercayai sebagai ketua forum R20, sebab dia memiliki rekam jejak yang konsisten dalam mengajak sesama muslim. Terlebih lagi, dalam merekontekstualisasi sebagian pemahaman ajaran Islam, yang telah usang dan membelenggu.

2. Terdapat prinsip-prinsip ortodoksi Islam yang bermasalah

Ketua umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf (Dok. PBNU)

NU mengakui adanya prinsip-prinsip ortodoksi Islam yang bermasalah, sehingga butuh upaya untuk mendamaikannya dengan realitas peradaban kontemporer. Tentunya harus sesuai konteks yang telah berubah secara signifikan, dibandingkan dengan kondisi ketika hukum Islam klasik itu muncul.

"Prinsip-prinsip tersebut di antaranya terkait hubungan antara Muslim dan non-Muslim, struktur pemerintahan, serta tujuan dan pelaksanaan peperangan yang tepat," kata Gus Yahya dalam keterangan tertulis, Jumat (28/10/2022).

Menurut Gus Yahya masih banyak militan ekstremis yang membenarkan tindakan mereka, dan oleh mereka yang berusaha menggunakan Islam untuk tujuan politik. Sehingga, kata dia, menumbuhkan rasa tidak nyaman dan keterasingan dari dunia modern. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri di Indonesia, sehingga menjadi pembahasan penting pada forum R20.

"Pada saat yang sama, apa yang dikenal sebagai Islam rahmatan lil'alamin berusaha untuk mengembalikan rahmah, cinta, dan kasih sayang universal ke tempat yang semestinya sebagai pesan utama agama," lanjutnya.

3. Mengundang Sekjen Liga Musilim Dunia

Syaikh Muhammad bin Abdul Karim al-Issa (al-waie.id)

Gus Yahya mengungkapkan perubahan sebenarnya sudah terjadi. Mengingat, pada Munas Alim Ulama 2019 di Banjar, Jawa Barat, NU menolak kategori kafir dalam hukum Islam. NU juga mendukung konsep negara bangsa dan memutuskan bahwa umat Islam tidak memiliki kewajiban secara agama untuk mendirikan kekhalifahan.

Sebelumnya pada 2017, Mahkamah Agung Indonesia memutuskan bahwa semua kelompok agama harus diperlakukan sama di hadapan hukum, dan kegagalan untuk melaksanakan hal itu akan dianggap inkonstitusional.

Mengakui adanya tantangan di Indonesia, NU dan Center for Shared Civilizational Values (Sekretariat R20) mengundang Sekretaris Jenderal (Sekjen) Liga Muslim Dunia yang berbasis di Makkah. Sekjen Liga Muslim Dunia, Syaikh Muhammad bin Abdul Karim al-Issa, juga dipercaya menjadi ketua bersama perhelatan R20.

Dengan diundangnya Syaikh Muhammad bin Abdul Karim al-Issa, diharapkan dapat melibatkan dunia Islam yang lebih luas. Dalam beberapa tahun terakhir, Liga Muslim Dunia semakin memfokuskan jangkauan publiknya pada moderasi beragama, dan persahabatan antarmasyarakat dan peradaban dunia yang beragam.

4. Kerja sama NU dengan global

Logo NU (Nahdlatul Ulama) (Dok. NU)

Tidak hanya Liga Muslim Dunia, NU juga membangun kerja sama dengan Gereja Katolik global dan salah satu jaringan Kristen terbesar di dunia, Aliansi Evangelis Protestan Dunia, yang mewakili 600 juta orang di 143 negara. Sekretaris Jenderal Aliansi Evangelis Protestan Dunia, Prof. Thomas Schirrmacher, dari Jerman akan menghadiri R20 secara langsung.

Mantan utusan Khusus Uni Eropa untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di luar Uni Eropa, Jan Figel, juga merupakan peserta yang telah mengonfirmasi kehadirannya. Begitu pun dengan Uskup Agung Henry Ndukuba, sebagai perwakilan Gereja Anglikan Nigeria yang memiliki sekitar 25 juta penganut, juga akan berpidato pada sesi pembukaan R20.

Tak hanya itu, sarjana terkemuka tentang dunia Islam dari Universitas Boston dan Presiden American Institute for Indonesian Studies, Robert Hefne, juga akan berpartisipasi pada R20. Dia mengungkapkan forum ini juga dapat menjadi salah satu wadah paling inovatif dan penting dalam politik dunia, serta etika lintas peradaban di generasi saat ini. 

"Saya menganggap bahwa kerja Islam untuk kemanusiaan dan gerakan berbagi nilai-nilai peradaban bersama, sebagai salah satu perkembangan yang paling inovatif dan penting dalam politik dunia, dan etika lintas peradaban di generasi kita ini. Tidak ada acara yang saya tahu lebih tepat waktu, mendesak, atau disusun dengan baik seperti ini," kata Hefner.

5. India dan Brasil secara berturut-turut akan memegang presidensi G20 pada 2023 dan 2024

Bendera Brazil. (Pixabay.com/ilanwet)

Sebagai informasi, India dan Brasil secara berturut-turut akan memegang presidensi G20 pada 2023 dan 2024. India memiliki penduduk Hindu terbesar di dunia (1,1 miliar) dan Brasil memiliki penduduk Kristen terbesar kedua dunia (194 juta).

Dengan demikian, R20 mengambil kursi di 'meja perundingan' G20 bagi 84 persen warga dunia yang mengatakan bahwa agama itu penting atau sangat penting, bagi mereka (Pew Research 2016). Ratusan juta dari mereka tinggal di Global South, di negara-negara yang tidak memiliki kehadiran resmi pada G20.

Editorial Team