Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Forum R20 Segera Digelar, Tokoh Agama Global Siap Berdialog di Bali

Ilustrasi pemuka agama (ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah)
Ilustrasi pemuka agama (ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah)

Jakarta, IDN Times - Indonesia akan menggelar Religion of Twenty (R20) atau Forum Agama G20 sebagai bagian rangkaian G20 di Nusa Dua, Bali, pada 2-3 November 2022. Pemuka agama dari negara-negara G20 diharapkan berperan memberikan nilai-nilai positif, dan menginspirasi umatnya untuk berkontribusi menangani berbagai persoalan global.

R20 digagas Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H. Yahya Cholil Staquf pada Januari 2022, dan diketuai secara bersama oleh PBNU dengan Liga Muslim Dunia, organisasi yang berbasis di Makkah. Misi utama R20 mewujudkan kerja sama semua agama dan bangsa di dunia, untuk mendorong terciptanya struktur politik dan ekonomi global yang selaras dengan nilai-nilai luhur setiap agama.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Savic Ali, mengatakan Forum Agama G20 memperluas peran PBNU dalam mengatasi problem dan konflik di tingkat global. Dia menyebut NU sejak didirikan memang memiliki visi internasional. Sebagaimana Indonesia dalam Proklamasi Kemerdekaan-nya menegaskan visi membentuk perdamaian dunia, NU juga memiliki visi ke arah sana.

Dalam konteks geopolitik global, kata Savic, pendirian NU bukan semata reaksi atas kekuasaan Ibnu Saud di Hijaz. NU sebetulnya lahir karena kekosongan peran politik dan keagamaan akibat runtuhnya Turki Utsmani.

“Selama ini umum diyakini pendirian NU karena penguasaan Ibnu Saud atas Haramain (Makkah dan Madinah). Gus Yahya menarik benang merah historis lebih jauh bahwa pendirian NU berkaitan dengan keruntuhan Turki Utsmani, bukan hanya karena perubahan di Haramain. Sebab, runtuhnya Turki Utsmani menciptakan kevakuman politik dan keagamaan,” kata Savic di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Selasa (18/10/2022).

Ketika Turki Utsmani runtuh, negara-negara di Timur Tengah mendirikan kerajaan. Indonesia tidak mendirikan kerajaan serupa dengan berdasar agama, tetapi memilih mendirikan negara baru bersama warga lain sehingga lahir negara berbentuk republik.

1. Jangkauan upaya mewujudkan perdamaian dunia diperluas

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Savic Ali (Dok. PBNU)
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Savic Ali (Dok. PBNU)

Perjuangan internasional itu, kata Savic, terus dilakukan NU melalui proses panjang penuh dinamika. Pada era reformasi, NU pada masa kepemimpinan K.H. Hasyim Muzadi (1999-2010) menggelar International Conference of Islamic Scholar (ICIS).

Sementara, pada periode kepemimpinan K.H. Said Aqil Siroj (2010-2021), NU menggelar International Summit of the Moderate Islamic Leaders (ISOMIL). PBNU juga mengundang tokoh-tokoh agama dan politik Afganistan pada 2011. Bahkan, kata Savic, tokoh-tokoh NU juga diundang ke sana untuk mendorong perdamaian di negeri tersebut.

“Itu bagian dari ikhtiar PBNU untuk ikut berperan paling tidak di negara-negara mayoritas Muslim. Buat apa kita mengklaim diri organisasi Muslim terbesar di dunia, tetapi tidak menciptakan perdamaian di negara Muslim?” ujar Savic.

2. Agama diharapkan berperan aktif memecah masalah dunia

Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya. (ANTARA FOTO/Katriana)
Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya. (ANTARA FOTO/Katriana)

Pada era Gus Yahya, kata Savic, jangkauan upaya mewujudkan perdamaian itu diperluas, tidak hanya kepada Muslim, tetapi juga dengan pemeluk agama lain. Gus Yahya telah melakukan komunikasi dengan para pemuka agama dunia sejak lama.

“Forum R20 diinisiasi Gus Yahya agar agama dan pemimpin agama lebih proaktif membantu persoalan dunia, mulai dari konflik antar-pemeluk agama, penyalahgunaan politik identitas, rasialisme, dan persoalan lain. Harus kita akui, agama ikut berperan dalam sejumlah konflik di berbagai belahan dunia,” katanya.

Sebab, kata Savic, harus diakui ada kelompok Islam yang membenarkan aksi teror. Di India dan Myanmar, Muslim dipersekusi kelompok mayoritas Hindu dan Buddha. Di Amerika Serikat juga muncul sejumlah persekusi yang berbasis ras, sementara di Eropa terdapat Islamofobia. Di sejumlah tempat, ada politik identitas agama untuk membenci yang lain.

“Makanya, R20 mengajak pemimpin agama dan negara benar-benar berpikir bagaimana agama berperan aktif untuk memecah problem yang menghantui dunia,” tuturnya.

Karena itu, kata Savic, Gus Yahya menginisiasi R20 untuk memperkuat kerja-kerja sebelumnya ketika menjadi Katib ‘Aam PBNU. Ia telah lama membangun hubungan agama dan politik dunia.

“Ini momentum NU sebagai organisasi keagamaan dengan jumlah anggota terbesar, agar bisa meningkatkan peran internasionalnya, bisa meningkatkan kehadirannya dalam konteks mengatasi persoalan dunia,” kata dia.

Langkah Gus Yahya ini, menurut Savic, merupakan upaya menghidupkan kembali apa yang sudah dirintis Ketua Umum PBNU 1984-1999, K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Sebab, kata dia, diakui atau tidak, peran NU di tingkat global belum begitu konkret.

3. R20 adalah permulaan dari forum-forum berikutnya

Peserta delegasi negara G20 berbincang-bincang sebelum memulai rapat pertemuan Digital Economy Working Group (DEWG) Presidensi G20 di Yogyakarta, Kamis (19/5/2022). Pertemuan DEWG Presidensi G20 hari ketiga mengangkat tema "Workshop on the G20 Toolkit Measuring Digital Skills and Digital Literacy". ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Peserta delegasi negara G20 berbincang-bincang sebelum memulai rapat pertemuan Digital Economy Working Group (DEWG) Presidensi G20 di Yogyakarta, Kamis (19/5/2022). Pertemuan DEWG Presidensi G20 hari ketiga mengangkat tema "Workshop on the G20 Toolkit Measuring Digital Skills and Digital Literacy". ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

Savic mengatakan R20 adalah permulaan dari forum-forum berikutnya yang mengikuti presidensi G20. Di India pada 2022, di Brasil pada 2023, di Afrika Selatan pada 2024, dan seterusnya. Penyelenggaraan ini, kata Savic, dilandasi semangat untuk mendorong perdamaian dan menciptakan peradaban baru yang lebih baik.

Undangan kepada kelompok-kelompok sayap kanan, kata Savic, memang harus dilayangkan. Sebab, siapapun yang punya masalah dengan Muslim harus diundang dan diajak duduk bersama, baik China, India, Amerika Serikat, maupun negara-negara Eropa.

“Jika dialog tidak dibuka, maka tidak ada kemajuan. Yang ada konflik terus. Kita butuh percakapan itu sehingga bisa saling menyadari perspektif masing-masing,” kata Savic.

4. Dialog terbuka mengenai problem masing-masing agama

Ilustrasi - Forum Kerukunan Umat Beragama (ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah)
Ilustrasi - Forum Kerukunan Umat Beragama (ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah)

Pada kesempatan berbeda, Gus Yahya mengatakan, R20 didesain agar tokoh agama berbicara secara jujur mengenai problem masing-masing agama.

Sebab, menurut dia, klaim masing-masing agama sebagai agama yang damai dan mendorong harmoni masih memerlukan bukti. Dalam kenyataannya, ada masalah besar dan mendasar terkait hubungan antaragama.

“Tidak ada jalan keluar dari masalah itu, selain agama dan para pemimpinnya harus berdialog secara jujur tanpa menutup-nutupi, terus terang, dan langsung menohok kepada sumber masalah,” kata Gus Yahya.

Melalui dialog yang terbuka, kata Gus Yahya, solusi bagi penyelesaian konflik akan semakin jelas. Setelah itu, barulah agama-agama bisa merumuskan kontribusi bagi perdamaian dunia.

“Dengan dialog yang jujur dan terus terang itu, kita harapkan kita jadi tahu apa masalah yang nyata dan tahu bagaimana menyelesaikannya. Terbuka kesempatan bagi agama untuk juga secara nyata berkontribusi di dalam mencari jalan keluar dari berbagai permasalahan dunia,” kata Gus Yahya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us