Deretan Konflik yang Terjadi Akibat Proyek Strategis Nasional!

Warga yang menolak pembebasan lahan, di kriminalisasi

Jakarta, IDN Times - Pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Pemerintahan Joko "Jokowi" Widodo kembali jadi sorotan. Ribuan warga Rempang, Batam, yang menolak upaya paksa pengosongan lahan untuk proyek itu, mendapat tindakan kekerasan dan kriminalisasi.

Konflik yang dipicu pembangunan PSN sebenarnya tak hanya terjadi di Rempang. Kejadian serupa juga pernah muncul di beberapa daerah lainnya. Masalahnya sama, PSN yang diharapkan bisa menarik investor.

Berikut hasil penelusuran soal konflik pemerintah dan masyarakat terkait malasah lahan untuk Pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN), dikutip IDN Times, Rabu (15/13/2023). 

1. Warga Wadas tolak tambang andesit

Deretan Konflik yang Terjadi Akibat Proyek Strategis Nasional!Wadas Melawan (IDN Times/Rachma Syifa Faiza Rachel)

Konflik antara aparat gabungan TNI dan Polri dengan warga di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo terjadi pada Selasa, 8 Februari 2022. Kericuhan ini bermula akibat rencana pembangunan Bendungan Bener yang merupakan salah satu proyek strategus nasional.

Bendungan Bener dibangun dengan tujuan memasok sebagian besar kebutuhan air ke Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Pembangunan ini memerlukan bantuan andesit dan diambil dari Desa Wadas.

Luas lahan yang akan dikeruk untuk penambangan andesit mencapai 145 hektare. Peristiwa kericuhan ini menyebabkan puluha warga desa ditangkap. Terhitung 67 warga desa ditangkap secara paksa dan dibawa ke Polres Purworejo,

"Pas jam setengah lima, katanya, udah aman. Mau keluar dari masjid, terus ditangkap dibawa ke polsek dulu," ujar seorang anak Wadas berusia 16 tahun, Farhan. 

Pada awalnya, Farhan dibawa ke Polsek Bener, tetapi kemudian dia dipindahkan ke Polres Purworejo, menyusul warga Wadas yang telah lebih dulu ditangkap. Di sana dia bertemu dua temannya yang ditangkap seusai pulang sekolah, Kholis dan Hanang.

"Aku diinterogasi mengenai identitas, sertifikat tanah, luas tanah desa, dan segala hal yang berkaitan dengan tambang," ujar Farhan.

Warga Wadas yang tergabung dalam Gerakan masyarakat peduli alam Desa Wadas (Gempa Dewa) menegaskan menolak tambang andesit karena akan merusak ruang hidup mereka. Terlebih, tanah Wadas merupakan tanah adat yang dijunjung tinggi kelestariannya.

"Mereka menganggap aktivitas penambangan tersebut akan menghancurkan kehidupan dan lingkungan hidupnya. Selain itu ada risiko yang besar di mana mata pencahariannya sebagai petani akan terdampak langsung," ujar Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, ketika berbicara di program Ngobrol Seru dengan IDN Times yang tayang di YouTube IDN Times pada Selasa, 15 Februari 2022. 

Selain itu, warga desa mengangap rencana penambangan batu andesit akan mengancam keselarasan lingkungan hidup di Wadas. Terlebih, mereka memiliki kepercayaan tentang pohon dan alas yang dikeramatkan, yakni Pohon Randu Alas dan Alas Sedudo

Pohon Randu Alas memiliki diameter paling besar dibandingkan dengan pohon lain, berkisar sekitar 3-4 meter, pohon ini dibaluti satu kain mori putih panjang dan kain batik. Masyarakat Wadas percaya, apabila pohon dan alas tersebut diusik maka akan terjadi pertumpahan darah dan kehancuran desa.

Oleh karena itu, warga Wadas dengan tegas menolak tambang andesit dan pembangunan Bendungan Bener.

Baca Juga: Muncul 11 Kasus Konflik Agraria di Jateng Gegara Program PTSL

2. Sirkuit Mandalika, buntut penggusuran lahan sejak era Soeharto

Deretan Konflik yang Terjadi Akibat Proyek Strategis Nasional!Penampakan Sirkuit Mandalika dari Udara tepat di tikungan ke 16 dan 17. (dok. Kemenparekraf)

Penggusuran lahan di Kuta Mandalika, Pulau Lombok terjadi dalam waktu cukup panjang, yakni sejak 1991 hingga 2021. Proyek penggusuran lahan yang dilakukan pada rezim Orde Baru Soeharto kemudian berlanjut ke rezim Presiden Jokowi.

Proyek pengembangan perkotaan dan pariwisata Mandalika, yang terletak di pulau Lombok, merupakan pembangunan pariwisata besar-besaran yang mayoritas didanai Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Mereka mengucurkan pinjaman sebesar 248,4 juta dolar atau sebesar 78,5 persen dari total pendanaan proyek.

Sirkuit Mandalika mulai dibangun pada tahun 2019 silam, sebanyak 120 Kartu Keluarga (KK) warga setempat harus kehilangan tempat tinggal, yang berlokasi di dua Dusun Ebunut dan Dusun Ujung Lauk Mandalika.

"Ada 120 KK sudah pindah ke Dusun Rangkap atau kampung Hijrah Desa Kuta Mandalika," ujar Kepala Dusun Ebunut Desa Kuta Mandalika, Rahmat Panye pada Jumat, 8 April 2022.

Akibat dari pembangunan ini, banyak masyarakat adat dipaksa keluar dari lahan. Masyarakat agraris dihadapkan pada hilangnya mata pencaharian. Padahal, mereka sudah bermukim sejak dahulu, turun menurun dari nenek moyang.

Masyarakat Adat Sasak di Lombok menyatakan enggan bermusyawarah kepada instansi pemerintah terkait dampak yang dirasakan akibat pembangunan di kawasan Mandalika. Hal ini disebabkan, proses pembebasan tanah yang dilakukan secara paksa, tidak adil, dan tak manusiawi. 

"Sebanyak 91 persen responden merasa bahwa kekhawatiran mereka terhadap dampak negatif proyek Mandalika tidak ditanggapi secara serius oleh ITDC dan AIIB," ujar peneliti KPPII Sayyidatihayaa Afra, dikutip dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan.

Menurut laporan bulan Mei 2022 yang dibuat para pembela HAM, banyak masyarakat terpaksa menjadi tunawisma sebagai akibat dari penggusuran secara paksa. Lebih dari 100 keluarga terpaksa tinggal di samping lokasi konstruksi di dekat trek balap MotoGP.

“Atas nama masyarakat adat yang terkena proyek, nelayan, kaum perempuan, dan anak-anak di kawasan proyek pariwisata Mandalika, kami menuntut agar AIIB segera menghentikan pemberian pinjaman kepada pemerintah Indonesia dan ITDC serta memperhitungkan dampak HAM," ujar Koordinator Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia, Mochammad al Amien.

"Karena dampak sosial yang dirasakan masyarakat, segera pemerintah harus implementasikan rekomendasi PBB, untuk menghentikan pemiskinan yang melumpuhkan masyarakat yang terkena dampak proyek sebagai akibat keberadaan proyek Mandalika," tutupnya.

3. Konflik agraria di Pulau Rempang mengancam tujuh ribu jiwa kehilangan tempat tinggal

Deretan Konflik yang Terjadi Akibat Proyek Strategis Nasional!Ribuan warga berunjuk rasa terkait rencana pengembangan Pulau Rempang dan Galang menjadi kawasan ekonomi baru di Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (23/8/2023). (ANTARA FOTO/Teguh Prihatna)

Konflik agraria di Pulau Rempang bermula ketika Badan Pengusaha (BP) Batam berencana merelokasi seluruh penduduk Rempang. Hal itu dilakukan untuk mendukung rencana pengembangan investasi di Pulau Rempang. 

Kawasan Pulau Rempang masuk Proyek Strategis Nasional (PSN) pada 2023 sebagai Rempang Eco-City. PSN 2023 tertuang dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.

Pulau Rempang yang luasnya sekitar 17 ribu hektar akan dibangun menjadi kawasan industri, perdagangan, dan wisata. Kawasan ini diestimasikan memperoleh investasi sebesar Rp381 triliun hingga tahun 2080. 

Tujuannya adalah mendongkrak pertumbuhan perekonomian dan peningkatan daya saing Indonesia dengan Malaysia dan Singapura. Namun, warga menolak relokasi tersebut, lantaran kawasan Rempang termasuk 16 kawasan tua yang terikat dengan adat.

Penolakan warga mencapai puncaknya pada Kamis, 7 September 2023. Pihak BP Batam yang dikawal ribuan aparat gabungan Polda Kepulauan Riau, memaksa masuk ke perkampungan warga di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Warga yang menolak kemudian mengadangnya hingga terjadi kerusuhan.

"Kenapa kami melawan, ya karena ketertindasan itu. Dari awal pemerintah sudah tau penolakan ini, kami tidak mau relokasi apalagi tanpa koordinasi," ujar tokoh masyarakat dan warga dari Pulau Rempang, Suwardi, dalam konferensi Solidaritas Nasional untuk Rempang di Gedung YLBHI pada Selasa, 12 September 2023.

Akibat proyek pengembangan Rempang Eco City sebagai salah satu proyek strategis nasional, sebanyak 7 ribu jiwa terancam digusur dari tempat tinggal dan ruang hidupnya.

Suwardi menjelaskan, apabila ditarik dari sejarahnya, Pulau Rempang merupakan bagian dari Kesultanan Lingga. Nenek moyang warga Rempang berpesan untuk selalu menjaga keutuhan pulau.

"Ini membuat masyarakat merasa amanat tersebut harus dijunjung tinggi sehingga warga Rempang membangun perkampungan," ujar Suwardi.

"Bagi masyarakat, wilayah Rempang penuh dengan sejarah dan erat kaitannya dengan adat. Oleh karena itu, kami menolak untuk relokasi, apalagi tanpa koordinasi," tutupnya.

Baca Juga: Jokowi Bentuk Tim untuk Atasi Konflik Agraria, Airlangga Ketuanya

Topik:

  • Sunariyah
  • Ilyas Listianto Mujib

Berita Terkini Lainnya