Fatwa MUI Sebut Produk Makanan dan Minuman Berbahan Karmin Halal

Kajian MUI, serangga cochineal sama seperti belalang

Jakarta, IDN Times - LBM PWNU Jawa Timur menetapkan produk makanan dan minuman berbahan karmin diharamkan. Hal ini disebabkan karena karmin dinilai mengandung zat pewarna yang telah dinyatakan haram dan najis.

Secara kajian fikih, terkait penggunaan karmin yang berasal dari serangga cochineal sebagai pewarna makanan atau minuman, menimbulkan perbedaan pendapat di antara ulama. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengkaji dan meneliti permasalahan ini sejak 2011.

"Dari hasil kajian terhadap dalil-dalil dan pendapat para ulama dan hasil penelitian, MUI menetapkan cochineal dikelompokkan pada kelompok belalang yang termasuk hewan halal yang bahkan bangkainnya juga halal," ujar Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Abdul Muiz Ali, dikutip Minggu (1/10/2023).

Baca Juga: NU Haramkan Serangga Karmin, UB Tegaskan Halal untuk Dikonsumsi

1. Hasil kajian MUI: chocineal masuk dalam kelas insecta seperti belalang

Fatwa MUI Sebut Produk Makanan dan Minuman Berbahan Karmin HalalIlustrasi Belalang (IDN Times/Sunariyah)

Berdasarkan kajian tersebut, MUI merilis hasilnya sebagai berikut:

  1. Secara kekeluargaan cochineal dan belalang masuk dalam satu kelas yaitu insecta.
  2. Secara siklus kehidupan keduanya sama, yaitu dari telur kemudian nimfa dan terakhir adalah belalang atau cochineal.
  3. Secara habitat hidup di dedaunan.
  4. Makanan juga sama yaitu daun.
  5. Keduanya juga tidak mempunyai darah yang mengalir.

2. Penetapan kehalalan produk wewenang fatwa MUI

Fatwa MUI Sebut Produk Makanan dan Minuman Berbahan Karmin HalalIDN Times/Galih Persiana

Penetapan kehalalan produk merupakan wewenang fatwa MUI sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014. Fatwa ini dikeluarkan secara independen sesuai dengan Pedoman Penetapan Fatwa MUI.

"Fatwa ini didahului dengan kajian-kajian yang melibatkan para pakar di bidangnya, untuk kemudian menjadi bahan dalam pembahasan fiqh-nya," jelas Abdul Muiz Ali.

"Dalam kasus ini (bahan karmin), setelah dilakukan kajian mendalam baik dari aspek sains maupun fiqih, diputuskan secara jama'i (kolektif) fatwa dengan hasil sebagaimana termaktub dalam Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011," sambungnya.

3. Perbedaan Fatwa MUI dan hasil LBM PWNU-Jatim tidak perlu dipersoalkan berlebihan

Fatwa MUI Sebut Produk Makanan dan Minuman Berbahan Karmin HalalAbdul Muiz Ali Petugas Haji 1444 H, Pengurus Lembaga Dakwah PBNU dan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI (Dok. Pribadi)

Abdul Muiz Ali menjelaskan, salah satu masalah yang substansinya masuk dalam wilayah ijtihad, adalah dimungkinkan terjadinya perbedaan dengan hasil ijtihad lainnya tentang masalah dimaksud. Bahkan jika dirujuk sumber-sumber mu'tamad dari mazhab-mazhab fiqih, masalah yang sama juga tidak lepas dari perbedaan pendapat di kalangan para ulama.

Terkait perbedaan antara fatwa MUI dengan hasil LBM PWNU Jatim dalam masalah karmin ini, Abdul Muiz Ali meminta untuk dilihat sebagai perbedaan hasil ijtihad. Masing-masing ada argumen dan hujjah yang mendasari, sehingga tidak perlu dipersoalkan berlebihan, dan hasil ijtihad tidak membatalkan satu sama lain.

"Sebagai perbandingan, ada dua lembaga fatwa luar negeri yang mengatakan cochineal itu halal. Sebagai catatan jika diperhatikan ibarat fikih pada keputusan LBM PWNU Jatim, terlihat justru banyak argumen yang menguatkan tentang kehalalan cochineal tersebut," jelasnya.

"Adanya perbedaan fatwa ini, masyarakat diharapkan mengambil edukasi yang tepat dalam menyikapi perbedaan. Masing-masing pendapat dapat menjadi pilihan untuk diikuti, dan hendaknya tidak sampai menimbulkan keresahan," ujarnya.

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya