Revisi UU TNI Dinilai Hidupkan Dwi Fungsi ABRI Seperti Era Soeharto

- Koalisi masyarakat sipil mengecam revisi UU TNI karena mengancam profesionalisme militer dan mengkhianati komitmen Indonesia di tingkat internasional.
- HRWG menegaskan bahwa revisi ini bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik, Universal Periodic Review, serta instrumen HAM global.
- Koalisi menuntut penghentian pembahasan revisi UU TNI yang cacat prosedur dan membentuk panitia independen untuk meninjau ulang draf.
Jakarta, IDN Times - Sebanyak 34 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi masyarakat sipil untuk Advokasi HAM Internasional (HRWG) mengecam pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).
Koalisi menilai revisi ini tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional.
Koalisi memandang DPR dan Pemerintah sedang mengkhianati kewajiban Indonesia dalam menjalankan komitmennya di berbagai mekanisme HAM Internasional. Selain itu, revisi UU TNI ini tidak hanya merusak agenda reformasi sektor keamanan, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai pembangkang terhadap komitmen HAM internasional.
"Revisi UU TNI ini adalah pengkhianatan terhadap Reformasi 1998. Kembalinya dwi fungsi TNI hanya akan memuluskan jalan bagi militerisme dan impunitas, seperti yang terjadi di masa Soeharto," tegas HRWG dalam keterangan, Minggu (16/3/2025).
1. Negara memastikan akuntabilitas militer dan perlindungan hak sipil

HRWG menegaskan draf revisi ini dinilai bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT).
"Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen HAM inti, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT), yang mewajibkan negara memastikan akuntabilitas militer dan perlindungan hak sipil," ujarnya
2. Revisi UU TNI justru bertentangan dengan rekomendasi komite HAM PBB

Koalisi mengingatkan revisi UU TNI justru bertentangan dengan rekomendasi dari komite HAM PBB pada 2023 yang menuntut Indonesia mengakhiri imunitas TNI, mengadili pelanggaran HAM di pengadilan sipil, dan menghentikan operasi militer berlebihan di Papua.
Selain itu, rencana revisi UU TNI dengan karena pelanggaran terhadap Rekomendasi CCPR/UPR: Pasal 65 UU TNI yang mempertahankan yurisdiksi pengadilan militer untuk kasus HAM bertentangan dengan rekomendasi CCPR (No. 45/2023) dan Prinsip Yurisdiksi Universal Statuta Roma ICC. Pembiaran operasi militer di Papua tanpa protokol HAM melanggar rekomendasi UPR 2022 tentang perlindungan masyarakat adat dan Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).
3. Indonesia akan hadapi konsekuensi serius di berbagai forum HAM PBB

Untuk itu, Koalisi menuntut agar menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang cacat prosedur dan bertentangan dengan rekomendasi CCPR/UPR.
Membentuk panitia independen untuk meninjau ulang draf dengan melibatkan Komnas HAM, korban pelanggaran HAM, dan masyarakat sipil dan mendesak Komnas HAM dan Kementerian HAM memberikan desakan kepada DPR agar menjalankan rekomendasi-rekomendasi dan menolak RUU.
"Jika draft ini dipaksakan, Indonesia akan menghadapi konsekuensi serius di berbagai forum HAM PBB, termasuk sanksi diplomatik dan penurunan peringkat kebebasan sipil," tegasnya.