Dari Obyek Jadi Subyek: Jalan Berat Anak Muda Dalam Politik

Berjumlah signifikan, tapi di mana posisi kita?

Surabaya, IDN Times - Muhammad Nur Arifin turun dari mobilnya menuju ke dalam kantor IDN Times tanpa mengesankan bahwa ia adalah orang penting. Dengan memakai kemeja batik, ruangan yang pertama kali ditujunya adalah toilet. Aku membatin,"Kami seumuran."

Satu-satunya perbedaan paling mencolok adalah bahwa laki-laki 28 tahun itu akan segera menjadi orang nomor satu di Kabupaten Trenggalek. Ya, Arifin atau yang kadang dipanggil Mas Ipin itu adalah wakil bupati Trenggalek. Sebentar lagi ia menggantikan Emil Dardak yang resmi memenangkan Pilkada Jawa Timur bersama Khofifah Indar Parawansa pada Juni lalu.

1. Bagi Arifin, kemudaan tak membuatnya menunda karir di politik dan pemerintahan

Dari Obyek Jadi Subyek: Jalan Berat Anak Muda Dalam PolitikIDN Times/Reza Iqbal

Sejak terpilih pada 2015 lalu, Arifin sudah menjadi perbincangan. Bukan hanya ia tak punya pengalaman di bidang birokrasi sama sekali, tapi juga karena kala itu umurnya baru 25 tahun. Ketika yang lain mungkin masih berkutat dengan gaji yang seadanya, Arifin sudah menjadi pengusaha dan menduduki jabatan penting di kampung halamannya.

Pertanyaan yang sudah pasti wajar terlontar kepadanya adalah: bagaimana bisa? Menurut Arifin, semua berawal dari kegeraman dan keinginan melakukan sesuatu bagi Trenggalek. Meski lahir dan besar di Surabaya, ia menegaskan kedua orangtuanya berasal dari kota kecil yang berlokasi 180 km dari ibu kota Jawa Timur tersebut.

Ia mengaku teringat pada pesan mendiang ayahnya. "Nak, aku dulu ke Surabaya karena gak bisa makan. Kita sekarang bisa makan tapi saudara kita banyak yang gak seberuntung kamu sekarang. Suatu saat kita harus kembali ke Trenggalek," ucapnya menirukan perkataan almarhum sang ayah.

2. Kerja sosial dan turun ke masyarakat disebut jadi jurus meraih simpati

Dari Obyek Jadi Subyek: Jalan Berat Anak Muda Dalam PolitikANTARA FOTO/Basri Marzuki

Setelah membuka usaha di sana dan sukses, Arifin mengklaim masyarakat melihatnya pantas maju mendampingi Emil Dardak sebagai pasangan bupati-wakil bupati. Kerja sosial sedari muda. Arifin menyebut itu kata kuncinya.

"Kerja sosial itu tetap gak bisa dibohongi [hasilnya]. Kalau kamu cuma diam di ruang kamar terus tiba-tiba muncul gambar calon bupati atau calon wali kota, ya orang gak ada yang tahu. Lalu, gimana caranya kamu ambil suaranya mereka?"

"Anak muda itu paling enak. Paling nothing to lose. Kayak saya gitu, kalau gak perform saya masih bisa berkilah ya wajar lah masih muda. Onok salah-salah e titik (ada salahnya sedikit), biasa lah. Kasih kesempatan sekali lagi," tambahnya.

Aku juga sempat mengobrol dengan Tsamara Amany yang kini menjadi caleg DPR RI berusia 22 tahun dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tentang bagaimana anak muda harus meraih dukungan masyarakat. Ia melihat bahwa "yang paling penting mewakili anak muda bukan usia muda".

"Kita harus punya kedekatan dengan anak muda. Kita harus mendengarkan aspirasi anak muda. Kita juga bisa mendorong mereka, kita harus kasih pemahaman politik, lalu memahami kebutuhan anak muda," tambahnya. Tsamara mengklaim ia kerap datang ke kampus-kampus dan berdiskusi dengan anak muda dan banyak dari mereka yang "concern terhadap masalah korupsi".

Baca Juga: Wabup Termuda: Berpolitik, Millennials Tak Perlu Khawatir Modal

3. Partai politik masih menjadi kendaraan utama bagi orang-orang yang ingin berkontestasi di pemilihan umum

Dari Obyek Jadi Subyek: Jalan Berat Anak Muda Dalam PolitikANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Mencalonkan diri di level eksekutif tanpa dukungan partai politik adalah hal yang hampir mustahil di negeri ini. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan jika seseorang ingin menjadi kepala daerah secara independen, maka ia wajib mengantongi dukungan sebesar 6,5 persen hingga 10 persen dari jumlah pemilih yang tercantum pada DPT.

Memobilisasi massa secara mandiri bukan perkara gampang. Apalagi budaya politik di Indonesia belum terlalu mengenal kampanye dengan cara mengumpulkan dana patungan dari masyarakat. Alhasil, partai politik masih menjadi kendaraan utama bagi siapapun yang berambisi untuk maju dalam pemilihan kepala daerah.

Lain lagi jika ingin menjadi anggota legislatif yang memang mengharuskan kandidat diusung oleh partai tertentu. Paradoks pun terjadi. Menurut survei Indobarometer pada pertengahan tahun 2017 lalu, 62,9 persen masyarakat mengaku tak percaya dengan partai politik. Cukup mengherankan bagaimana sebuah institusi yang tidak dipercaya bisa dikondisikan sebagai sesuatu yang sangat krusial bagi sistem demokrasi.

Apalagi partai lebih memprioritaskan level popularitas seseorang untuk didukung dalam kontestasi politik. "Pertimbangan pertama partai memang ya pragmatis saja, ya yang elektabilitas dan popularitasnya tinggi," kata Mahardika dari Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) kepadaku melalui sambungan telepon.

4. Partai politik dipandang sebagai institusi yang tidak ramah kepada anak muda

Dari Obyek Jadi Subyek: Jalan Berat Anak Muda Dalam PolitikANTARA FOTO/Hafidz Mubarak

Partai politik memang tak terlalu populer di kalangan anak muda karena sejumlah alasan. "Anak muda sendiri melihat partai memang jenjang karirnya gak jelas. Terus dia harus punya patron di elitnya untuk menempati posisi-posisi strategis kayak ketua, sekjen dan segala macam," jelas Mahardika. Ini yang menyebabkan banyak sekali anak muda urung menjadi anggota partai.

Hanya saja, Arifin berpendapat lain yang menurutnya berdasarkan pengalamannya sendiri. "Aku gak lahir dari keluarga yang punya basis politik. Artinya gak punya akses terhadap [partai] politik. Tetapi gimana bisa gitu di Trenggalek itu partai besar salah satunya PDI Perjuangan. Sedangkan waktu itu di PDI Perjuangan sudah ada ketua DPP yang mendeklarasikan diri."

Ia mengembalikan lagi kepada kerja sosial yang sudah dilakukannya sebelum memutuskan masuk ke politik sebagai peserta Pilkada. Namun, jalannya itu pun dimudahkan sebab Arifin sudah punya cukup modal finansial untuk turun ke masyarakat dan menjadi dikenal.

"Ya, karena aku berangkat salah satunya dulu punya usaha jadi sebagian keuntungan aku sisihkan untuk corporate social responsibility kita," tambahnya. Arifin pun tak menampik bahwa sosok Emil dan istrinya yang merupakan seorang pesinetron, Arumi Bachsin, menjadi faktor yang turut membuat masyarakat mengenal mereka.

"Jadi persona yang dihadirkan oleh mas Emil itu pintar, dia profesional, punya pengalaman di BUMN. Whole package itu kan sudah bisa menggetarkan semua orang. Kemudian dilihat siapa partner hidupnya. Arumi Bachsin. Orang melihat siapa sih Arumi Bachsin. Itu juga pengaruh." Mahardika pun skeptis bahwa partai peduli untuk merangkul anak muda.

Menurutnya, faktor seberapa besar seseorang terkenal di mata masyarakat masih menjadi nomor satu. "Partai itu tidak melihat apakah dia perempuan atau laki-laki. Partai tidak melihat muda atau dewasa. Kalau punya elektabilitas tinggi partai dengan mudah memberikan dukungan kepada si anak muda itu."

5. Mencitrakan diri sebagai partai anak muda tak otomatis mewakili kepentingan millennials dan generasi Z

Dari Obyek Jadi Subyek: Jalan Berat Anak Muda Dalam PolitikANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Barangkali satu-satunya yang paling keras berusaha mencitrakan diri sebagai partai anak muda adalah PSI. Untuk menguatkan citra ini, masing-masing anggota dipanggil dengan sebutan "bro" dan "sis". PSI merupakan partai baru yang paling pertama mendeklarasikan dukungan untuk Jokowi agar terpilih kembali pada Pilpres 2019 nanti.

Akan tetapi, hingga saat ini masih belum jelas bagaimana terpilihnya Jokowi berarti menguntungkan untuk kalangan millennials dan generasi Z. Tidak jelas juga mengapa PSI tidak menominasikan calon wakil presiden dari kalangan yang lebih muda untuk mendampingi Jokowi.

Perempuan yang mencalonkan diri menjadi anggota DPR RI itu mengatakan bahwa ia beserta partainya "mengajukan nama dan kriteria" sehingga pilihan awalnya jatuh kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud Md, yang berusia 61 tahun. "Pak Mahfud mewakili sosok yang otentik. Ia sudah pernah menduduki legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pak Mahfud juga berkomitmen terhadap toleransi dan punya integritas," ujarnya.

Ketika akhirnya Jokowi menggandeng Ma'ruf Amin yang berumur 75 tahun dan punya rekam jejak kontroversial dalam hal toleransi beragama sebagai cawapres, Tsamara mengaku tak bisa berbuat apa-apa dan tetap mendukung. Menurutnya, "dinamika politik terjadi" dan memahami bahwa sosok yang didukungnya "tidak bisa menyenangkan semua pihak".

"Kita bisa lihat proses penentuan cawapres dan bahkan bangunan koalisi dilakukan sangat tertutup. Hanya elit-elit yang menentukan. Cawapres akhirnya dipilih berdasarkan selera elit-elit partai," tutur Mahardika. "Konsekuensinya pilihan buat kaum muda jadi sangat terbatas, baik dari segi kuantitas maupun segi gagasan dan program."

6. Meski berat, tapi anak muda punya kekuatan dan bisa menentukan sikap

Dari Obyek Jadi Subyek: Jalan Berat Anak Muda Dalam PolitikANTARA FOTO/Hafidz Mubarak

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, ada 193 juta pemilih yang berhak memberikan suara mereka pada 2019 nanti. 52 persen di antaranya adalah pemilih muda yang berusia 17 hingga 35 tahun. Sedangkan 10 persennya merupakan pemilih pemula. Artinya, generasi muda yang mampu menentukan ke mana arah negara berjumlah signifikan.

Bila pemuda seakan tidak dianggap itu bukan sepenuhnya kesalahan sistem demokrasi. Walau faktor finansial, popularitas dan kekerabatan itu masih sangat kuat, tapi ini tak selalu berarti anak muda hanya bisa pasrah. Jika sulit untuk mencari inspirasi dari dalam negeri, anak muda bisa melacak nama Alexandria Ocassio-Cortez di mesin pencarian.

Tak hanya masih berumur 28 tahun dan berlatar belakang kelas pekerja, perempuan Amerika Serikat itu juga mampu mengalahkan anggota Kongres veteran dari satu daerah pemilihan yang sama. Ia pun mengumpulkan dana dari kampanye pintu ke pintu tanpa sokongan dari korporasi manapun. Visi dan misinya pun mempertimbangkan keresahan anak muda yang diwakilinya.

Jika terpilih pada November nanti, ia akan jadi anggota Kongres Amerika Serikat termuda. Bentuk kampanye seperti itu, kata Mahardika, bisa saja terjadi di Indonesia. "Apalagi anak muda sudah melihat struktur partai yang gak kondusif untuk mereka bisa menggalang dukungan di platform-platform tradisional."

7. Baik anak muda maupun partai politik punya pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan

Dari Obyek Jadi Subyek: Jalan Berat Anak Muda Dalam PolitikANTARA FOTO/Hafidz Mubarak

Meski demikian, anak muda perlu memahami lebih dulu apa yang sebenarnya kita cita-citakan. Ia menambahkan,"Anak muda masih belum merepresentasikan anak muda itu sendiri. Jadi dia masuk ke struktur ya dia berusia muda saja, belum berasal dari kalangan yang concern terhadap kebutuhan anak muda. Apalagi ideologi anak muda juga masih cair."

Partai tentu juga punya andil dalam mengondisikan pola pikir anak muda yang skeptis terhadap peran mereka. "Anak muda masih tersandera oleh elit. Mereka belum punya kemandirian yang utuh karena rekrutmen masuk partai juga belum inklusif."

"Kita tak bisa menafikkan bahwa mereka punya pilihan politik. Ya, tapi pilihan politik itu masih cair. Belum bisa ajeg seperti orang dewasa, jadi mereka masih bisa pindah ke sana ke sini. Mungkin juga ada peran partai politik yang ideologinya pun cair, tidak kuat. Jadi bisa berubah-berubah dari pemilu ke pemilu."

Dari Obyek Jadi Subyek: Jalan Berat Anak Muda Dalam PolitikIDN Times/Sukma Shakti

Baca Juga: Oesman Sapta: 85 Persen Caleg Hanura Anak Muda

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya