Jurnalisme di Tengah Gempuran Misinformasi dan Disinformasi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Surabaya, IDN Times - Tepat sebulan lalu, yaitu tanggal 2 Oktober 2018, kita disuguhi
sebuah drama breaking news yang ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta. Kala itu, wajah-wajah familiar dalam dunia politik berhadap-hadapan dengan sorot kamera
wartawan.
Tokoh utamanya adalah calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto. Topik kuncinya adalah anggota tim suksesnya, Ratna Sarumpaet, yang mengaku telah dianiaya oleh orang tak dikenal hingga lebam dan harus dirawat di rumah sakit.
"Ini, menurut kami, adalah tindakan yang represif, tindakan yang di luar kepatutan, tindakan
[yang] jelas pelanggaran hak asasi manusia, bahkan tindakan pengecut," ujar Prabowo
dengan ekspresi serius kala itu.
Polisi yang tak mau tinggal diam, lalu mengusut klaim penganiayaan tersebut. Hasil investigasi polisi membuat publik tercengang. Betapa tidak, polisi mengindikasikan bahwa Ratna berada di rumah sakit estetika di hari di mana dia disebut mengalami penganiayaan.
Setelah terdesak, Ratna pun mengaku di depan publik bahwa penganiayaan itu adalah
kebohongan. Ratna sebenarnya baru menjalani operasi plastik.
Baca Juga: Ratna Sarumpaet Akui Rekayasa Berita Penganiayaan di Bandung
1. Kebohongan dimainkan secara dramatis di berbagai media
Sulit untuk 100 persen percaya bahwa Prabowo dan semua anggota tim pendukungnya,
tanpa kecuali, begitu mudah terkecoh oleh pengakuan Ratna. Namun, jika benar itu yang
terjadi, ada kemungkinan Prabowo dan timnya tergesa-gesa mempercayainya karena
momentum.
Pasalnya, insiden semacam itu berpotensi untuk menyerang oposisi. Ini bisa dilihat dari diksi yang digunakan Prabowo. Di akhir konferensi pers, ia berkata, "Kita ingin demokrasi
berjalan dengan baik. Itu saja. Apapun keputusan rakyat, itulah yang harus
dihormati. Jangan dengan kekerasan, dengan intimidasi, dan sebagainya."
Pemilihan kalimat ini mengesankan bahwa ada lawan politik yang menggunakan
cara-cara keji untuk mengancam kubunya. Bahkan Ratna sempat mengirimkan
pesan ke grup WhatsApp wartawan yang berisi, "Mereka kan yang punya kekuasaan
dan senjata. Saya punya anak-anak dan keluarga yang seumur hidup menanggung
stigma karena saya."
2. Propaganda berdasarkan kebohongan menghiasi arena perebutan kekuasaan sejak lama
Itu bukan kali pertama klaim tak berdasar dipakai untuk memenangkan pemilu.
Salah satu yang paling terkenal adalah klaim "kesenjangan roket" antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet yang dipakai terus-menerus oleh John F Kennedy saat ia
menjadi capres pada 1960.
Begitu terpilih, tim Kennedy mengaku bahwa klaim Uni Soviet punya lebih banyak
roket dibandingkan Amerika Serikat, dan bahwa ini berbahaya, adalah tidak benar.
Jauh sebelum itu, menyusul kematian Julius Caesar, Octavian menyebarluaskan
propaganda yang merusak reputasi lawannya, Antony.
Propaganda itu—hampir seperti cuitan di Twitter—memfitnah Antony sebagai orang
yang suka main perempuan dan mabuk-mabukkan. Alhasil, Octavian berhasil
menjadi Kaisar pertama Romawi.
3. Wartawan diwajibkan kembali skeptis jika menerima informasi
Mengingat tak sedikit yang menganggap semua adil dalam politik, wartawan sebagai
profesi yang bertanggung jawab kepada publik wajib untuk menyajikan berita secara
obyektif dan transparan.
Menurut David Weinberger, peneliti senior Berkman Klein Center for Internet and
Society di Harvard University, itu tak kalah penting dari pemberitaan yang berimbang
serta akurat. Artinya, skeptisisme itu esensial bagi wartawan.
Bila dikembalikan ke kasus Ratna, peneliti media sekaligus pendiri Remotivi, Roy
Thaniago, menilai saat itu wartawan mengabaikan hal penting tersebut. Padahal,
kata Roy, pers semestinya jadi "penjaga gawang" informasi mana yang layak
ditayangkan atau tidak berdasarkan akurasi.
"Yang jadi masalah [dalam] fenomena itu tadi kan memperlihatkan wartawan jadi
hanya sibuk mencatat. Artinya mencatat omongan elite, dan elite dipertemukan di
media, dan kemudian orang-orang menjadi penonton. Dia [pers] seharusnya
tanggung jawab terhadap klaim-klaim itu," ujarnya.
Baca Juga: [BREAKING] 3 Sikap Prabowo Setelah Dibohongi Ratna Sarumpaet
4. Di tengah derasnya informasi, wartawan tak boleh sekadar jadi "juru catat"
Editor’s picks
Sementara itu, bekas wartawan LA Times, Maggie Farley, mengaku sedang berada
di Indonesia ketika berita Prabowo melakukan konferensi pers. Farley bertanya
kepadaku saat kami bertemu di sebuah forum, "Apakah saat itu tidak ada wartawan
yang mencoba mencari tahu kebenarannya?"
Mencari tahu dengan bertanya kepada Ratna, orang-orang di sekitarnya, serta
kepolisian tentu dilakukan. Sayangnya, saat itu tak sedikit wartawan terdistraksi oleh
beragam komentar dari politisi, seperti Fadli Zon maupun Fahri Hamzah. Godaan
untuk mengutip komentar tersebut pun besar, terlebih lagi itu bisa mendatangkan
klik.
Alhasil, komentar kubu Prabowo dipertentangkan dengan dugaan polisi dalam artikel
berbeda dan publik dibiarkan memilih untuk percaya pada siapa. Menurut Roy, ini
juga yang terjadi ketika meliput Jokowi-Ma'ruf Amin serta Prabowo-Sandiaga Uno.
"Mengklaim ekonomi Indonesia jatuh tanpa data pun akhirnya wartawan hanya mengutip
begitu saja dan tidak menguji klaim itu. Atau sebaliknya, kubu Jokowi menunjukkan
prestasinya tapi tidak diuji dengan data-data yang lain. Akhirnya kembali lagi media atau
wartawan hanya jadi juru catat."
5. Tuntutan untuk menyajikan berita dengan cepat jangan mengalahkan akurasi dan objektivitas
Disebut sebagai "juru catat" tentu menyakitkan di saat semestinya wartawan menjadi
pihak yang memberitakan fakta, bukan klaim-klaim tak berdasar yang keluar dari
mulut para elit sebagai cara mereka mencari perhatian.
Lebih buruk lagi bila institusi media memakan umpan itu mentah-mentah sebab
mereka mendatangkan klik. Ditambah lagi dengan karakteristik alami media masa
kini yang cenderung mementingkan kecepatan.
Sebagai wartawan, aku pun tak imun dari perasaan ingin cepat-cepat mengirimkan
berita breaking news. Sayangnya, praktik ini rentan menjadi jalan menyebarnya
informasi yang tak akurat.
Maria Ressa, mantan koresponden CNN yang kini menjabat CEO Rappler,
menyarankan agar redaksi membungkus breaking news dengan konteks serta
menekankan aspek apa yang diketahui dan tidak diketahui soal berita tersebut
kepada publik.
"Tujuannya adalah agar wartawan tetap memberitakan fakta sebab ini lebih penting.
Tapi tak berarti kita harus menjauh dari memberitakan breaking news," tegas jurnalis
veteran tersebut.
6. Kekhawatiran lain adalah soal penggunaan istilah "hoaks" maupun "fake news"
Tak hanya masalah kecepatan dan akurasi yang menjadi tantangan wartawan, tapi
juga bagaimana troll internet mencampur-adukkan istilah "hoaks" dan "fake news"
(berita bohong) untuk menyerang pers serta di saat bersamaan menghina siapapun
yang berlawanan.
Pada akhirnya, kedua istilah itu kehilangan makna. Bila dikembalikan lagi ke kasus
Ratna, publik menyebut kubu Prabowo sebagai penyebar hoaks. Padahal, mereka
belum terbukti menyebarkan kebohongan atau memang jujur tidak tahu.
Ini melahirkan pertanyaan apa sudah saatnya kita membedakan misinformasi dan
disinformasi. Misinformasi adalah informasi palsu yang sengaja disebarkan tanpa
pihak penyebar tahu bahwa itu palsu. Sedangkan disinformasi adalah informasi
palsu yang sengaja digunakan untuk menipu.
7. Wartawan dan institusi pers bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab
Melimpahkan semua kesalahan kepada wartawan bukan tindakan yang tepat.
Pasalnya, publik juga punya kepentingan untuk memilah-milah informasi.
Pilihannya adalah intervensi pemerintah berupa pemblokiran situs atau media tertentu, atau promosi literasi media. Min-Chen Lee, anggota tim riset lembaga konsultasi politik Sway Strategy yang berbasis di Taipei, berpendapat bahwa "literasi media adalah solusinya".
Apalagi, tambahnya, "pengecekan fakta oleh wartawan itu memakan waktu" dan akan sering kalah dengan cepatnya informasi tersebar. Oleh sebab itu, integrasi literasi media ke dalam kurikulum pendidikan tampaknya sudah tidak bisa ditawar lagi.
Ini yang dilakukan oleh Taiwan. Menteri Digital Taiwan, Audrey Tang, menjelaskan bahwa "dalam literasi media kita diajarkan berpikir kritis sehingga akan lebih berhati-hati dalam menerima informasi". Artinya, Taiwan sudah mengajarkan kemampuan yang harus dimiliki wartawan sedini mungkin.
Baca Juga: 7 Film Jurnalisme Terbaik, Bikin Kamu Semangat Jadi Wartawan!