Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG-20250716-WA0063.jpg
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Intinya sih...

  • Usul Pasal 2 dan 3 UU Tipikor digabung jadi satu pasal, tapi dengan aturan yang detail

  • Perlu tafsir baru soal niat jahat dalam UU Tipikor

Jakarta, IDN Times - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, memberikan keterangan dalam sidang uji materiil Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (16/7/2025). Ia dihadirkan sebagai saksi oleh pemohon dalam Perkara Nomor 161/PUU-XXII/2024.

Alexander menyoroti pasal yang digugat yakni, Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor dinilai rawan multitafsir. Ia pun memberikan contoh sejumlah kasus. Terlebih, ia sempat menjadi Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 2012 sampai 2015.

"Saya baca banyak putusan selain dari dissenting saya. Kemudian saya baca juga banyak putusan mencapai Pasal 2 Pasal 3. Itu ya sampai tingkat kasasi. Bahkan saya bilang kan banyak hal yang membuat ketidakjelasan itu, termasuk di dalam pertimbangan putusan. Kenapa majelis itu memilih Pasal 3, bukan Pasal 2? Ketika dakwaan subsidiaritas, kan yang menjadi pertimbangan pertama kan Pasal 2 dulu," kata dia kepada awak media usai sidang.

"Kalau ada Pasal 2, makanya penyalahgunaan kewenangan kan melawan hukum juga. Pasti semua masuk gitu. Karena pasal melawan hukum itu luas banget kan. Pasti ketika majelis hakim itu mempertimbangkan lebih dulu Pasal 2, pasti terbukti," sambungnya.

Oleh sebab itu, kata dia, tak jarang ada hakim yang memilih dakwaan menggunakan Pasal 2 atau 3 dengan pertimbangan besaran uang yang dikorupsi.

"Tetapi kenapa ketika kemudian hakim memilih Pasal 3, mungkin, 'Wah, Pak, dia hanya terimanya dikit, Pak, korupsinya dikit.' Jadi lebih adil kalau Pasal 3. Jadi pertimbangannya bukan hukum lagi. Bukan kenapa Pasal 2, Pasal 3, tetapi lebih karena 'korupsinya dikit, Pak'. Kita memilih Pasal 3 supaya apa, supaya hukumannya tidak sampai 4 tahun, 2 tahun, 3 tahun. Jadi ini kan pertimbangannya akhirnya bukan yuridis kan, tapi rasa keadilan," tuturnya.

1. Usul Pasal 2 dan 3 UU Tipikor digabung jadi satu pasal, tapi dengan aturan yang detail

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Alexander lantas mengusulkan, ketimbang Pasal 2 dan 3 UU Tipikor jadi 'aturan karet,' maka lebih baik kedua pasal itu digabungkan menjadi satu. Sebab sebenarnya kedua pasal ini punya substansi dan uraian dakwaan yang sama.

"Makanya saya bilang, secara uraian sebetulnya di dalam uraian dakwaan itu, substansinya sama kok Pasal 2 dan Pasal 3 itu. Kenapa gak dijadikan satu> Makanya saya sampaikan tadi. Nah untuk mempertegas, ya udah lah. Bikin aja rumusan baru, (bunyinya) barang siapa dengan maksud untuk merugikan keuangan negara, menguntungkan pilih sendiri, orang lain atau koorporasi, yang dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan, kewenangan, kesempatan, sarana yang ada padanya karena kedudukan atau jabatannya, dihukum minimal 1 tahun, dan seterusnya," kata dia.

2. Perlu tafsir baru soal niat jahat dalam UU Tipikor

Ilustrasi korupsi (IDN Times/Sukma Shakti)

Dalam persidangan di hadapan Hakim MK, Alexander menyampaikan diperlukannya tafsir baru terhadap Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor agar memuat unsur niat jahat atau mens rea. Ia menganggap, ketidakjelasan norma dalam dua pasal tersebut menyebabkan seseorang bisa dipidana tanpa pembuktian kehendak jahat dari pelaku untuk merugikan negara.

“Akibatnya, seseorang dipidana tanpa kehendak sadar dari pelaku untuk secara sengaja menimbulkan kerugian keuangan negara tersebut. Hanya sekadar akibat yang timbul dari perbuatan atau kebijakan yang diambil tanpa niat jahat mengambil keuangan negara,” kata dia.

Saat aktif di KPK, Alexander sering membuat dissenting opinion karena tidak sepakat dengan pemidanaan yang tidak mempertimbangkan unsur niat jahat pelaku.

“Sering dalam penanganan perkara menyangkut Pasal 2, Pasal 3 ini menimbulkan perdebatan. Itu juga tercermin dari seringnya dulu saya membuat dissenting opinion, sebagian besar menyangkut Pasal 2 dan Pasal 3,” ujar dia.

Oleh karena itu, ia menyebut permohonan uji materiil yang diajukan oleh pemohon agar MK menafsirkan Pasal 2 dan Pasal 3 secara eksplisit memuat unsur niat jahat, sangat relevan.

"Sangat relevan apabila permohonan uji materiil terhadap Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 yang dilakukan oleh pemohon ini meminta penafsiran yang mensyaratkan unsur mens rea," kata dia.

3. Petitum perkara nomor 161/2024

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Perkara Nomor 161/PUU-XXII/2024 dimohonkan Hotasi Nababan. Pemohon merupakan terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi yang setelah menjalani proses persidangan kemudian divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 2013.

Namun, berdasarkan Putusan Tingkat Kasasi pada 2014/2015, Hotasi dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sesuai dakwaan primair Pasal 2 Ayat 1 juncto Pasal 18 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sehingga dijatuhi hukuman penjara selama empat tahun dan denda sebesar Rp200 juta.

Menurut Hotasi yang kala itu menjabat Direktur PT Merpati Nusantara Airline, dirinya telah terbukti dalam fakta persidangan beritikad baik menjalankan perusahaan milik negara tersebut dan tidak ada mens rea atau niat jahat untuk merugikan keuangan negara.

Menurut dia, penerapan hukum pasal-pasal a quo menimbulkan permasalahan karena faktanya telah terjadi pergeseran praktik dengan menjerat setiap orang yang dalam kasusnya ada kerugian negara menggunakan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Padahal, kata Hotasi, kerugian keuangan atau perekonomian negara yang timbul bukan dari perbuatannya dalam memberikan uang.

Ia mengatakan, proses pembuktian perkaranya hanya ditarik dari fakta-fakta yang terpisah dan tidak saling bersesuaian dirajut sedemikian rupa untuk menunjukkan terpenuhinya unsur-unsur dalam Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor, meskipun bentuk kesalahan dimaknai dengan cara yang sangat luas. Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor, kata dia, harus menuangkan secara eksplisit rumusan delik untuk kesengajaan (opzet).

Akibat, rumusan pasal tersebut tidak memuat maksud merugikan keuangan atau perekonomian negara, dia pun dipidana meskipun tidak dapat dibuktikan kesengajaan atau adanya niat jahat untuk merugikan keuangan atau perekonomian negara dan mendapatkan keuntungan.

Padahal, kerja sama tersebut dilakukan Hotasi murni sebagai keputusan bisnis untuk menyelamatkan keuangan PT MNA yang sesuai prosedur dan prinsip Business Judgement Rules (BJR), tanpa benturan konflik/kepentingan maupun kick-back untuknya.

Dalam petitumnya, dia memohon kepada mahkamah agar menyatakan frasa, "secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara” dalam Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal itu sepanjang tidak dimaknai sebagai maksud merugikan keuangan negara dan memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum.

Dia juga memohon agar MK menyatakan frasa, "dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" dalam Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dia meminta MK mengubah bunyi pasal itu menjadi "dengan maksud merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan."

Editorial Team