Jakarta, IDN Times - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, memberikan keterangan dalam sidang uji materiil Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (16/7/2025). Ia dihadirkan sebagai saksi oleh pemohon dalam Perkara Nomor 161/PUU-XXII/2024.
Alexander menyoroti pasal yang digugat yakni, Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor dinilai rawan multitafsir. Ia pun memberikan contoh sejumlah kasus. Terlebih, ia sempat menjadi Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 2012 sampai 2015.
"Saya baca banyak putusan selain dari dissenting saya. Kemudian saya baca juga banyak putusan mencapai Pasal 2 Pasal 3. Itu ya sampai tingkat kasasi. Bahkan saya bilang kan banyak hal yang membuat ketidakjelasan itu, termasuk di dalam pertimbangan putusan. Kenapa majelis itu memilih Pasal 3, bukan Pasal 2? Ketika dakwaan subsidiaritas, kan yang menjadi pertimbangan pertama kan Pasal 2 dulu," kata dia kepada awak media usai sidang.
"Kalau ada Pasal 2, makanya penyalahgunaan kewenangan kan melawan hukum juga. Pasti semua masuk gitu. Karena pasal melawan hukum itu luas banget kan. Pasti ketika majelis hakim itu mempertimbangkan lebih dulu Pasal 2, pasti terbukti," sambungnya.
Oleh sebab itu, kata dia, tak jarang ada hakim yang memilih dakwaan menggunakan Pasal 2 atau 3 dengan pertimbangan besaran uang yang dikorupsi.
"Tetapi kenapa ketika kemudian hakim memilih Pasal 3, mungkin, 'Wah, Pak, dia hanya terimanya dikit, Pak, korupsinya dikit.' Jadi lebih adil kalau Pasal 3. Jadi pertimbangannya bukan hukum lagi. Bukan kenapa Pasal 2, Pasal 3, tetapi lebih karena 'korupsinya dikit, Pak'. Kita memilih Pasal 3 supaya apa, supaya hukumannya tidak sampai 4 tahun, 2 tahun, 3 tahun. Jadi ini kan pertimbangannya akhirnya bukan yuridis kan, tapi rasa keadilan," tuturnya.