8 Fraksi di DPR Tolak Pemilu Proporsional Tertutup, Kecuali PDIP

PDIP berdalih proporsional tertutup sebabkan pemilu mahal

Jakarta, IDN Times - Sebanyak delapan fraksi di DPR kompak menolak Pemilu 2024 kembali menggunakan sistem proporsional tertutup atau mencoblos lambang partai. Satu-satunya fraksi yang mendukung kembali ke sistem proporsional tertutup hanya PDI Perjuangan. 

Sementara, bagi delapan fraksi yang lain, pemilu dengan format sistem proporsional tertutup malah menyebabkan kualitas pesta demokrasi menurun. Padahal, Indonesia menganut sistem pemilihan umum langsung, terutama dalam pilpres, pileg, dan pemilihan kepala daerah. 

"Itu semua sudah diatur di dalam UUD 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008 lalu. Sejak saat itu, rakyat diberikan kesempatan untuk bisa mengenal, memilih, dan menetapkan wakil mereka secara langsung orang per orang," demikian pernyataan tertulis delapan fraksi yang diteken oleh masing-masing petinggi parpol, dikutip Rabu (4/1/2023). 

Mereka menilai dengan adanya sistem pemilu proporsional terbuka, parpol tidak lagi bisa seenaknya memilih individu yang akan mereka tempatkan di parlemen. "Justru, itulah kemajuan sekaligus karakteristik demokrasi kita," kata mereka. 

Mereka juga menyebut bahwa rakyat juga sudah terbiasa berpartisipasi dengan cara berdemokrasi seperti itu. Wacana kembali ke pemilu sistem proporsional tertutup digulirkan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari ketika memberikan sambutan dalam Catatan Akhir Tahun 2022 KPU pada 29 Desember 2022 lalu. 

Ia mengatakan, wacana itu kini sedang dibahas melalui sidang di Mahkamah Konstitusi (MK). "Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan (pemilu) kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup," ungkap Hasyim pada akhir tahun lalu. 

Apa alasan PDIP sepakat kembali ke sistem proporsional tertutup?

1. PDIP berdalih dengan sistem proporsional terbuka lebih banyak dampak negatif

8 Fraksi di DPR Tolak Pemilu Proporsional Tertutup, Kecuali PDIPDiskusi peluncuran Buku "Suara Kebangsaan" dari Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto (IDN Times/Ilman)

Sementara, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, perhelatan pemilu dengan sistem proporsional terbuka selama ini menimbulkan lebih banyak dampak negatif. Mulai dari ongkos pemilu yang mahal, menekan manipulasi, dan kerja-kerja penyelenggara KPU yang melelahkan.

"Jadi ada penghematan, sistem menjadi lebih sederhana dan kemudian kemungkinan terjadinya manipulasi menjadi kurang," ungkap Hasto di kantor pusat DPP PDIP, Selasa (3/1/2023). 

Hasto menilai, sistem proporsional tertutup dalam pemilu juga memungkinkan persaingan dilakukan secara sehat. Sebab, semua unsur masyarakat bisa ikut bersaing berdasarkan keahlian mereka dan bukan hanya berdasar popularitas.

"Jadi proporsional tertutup itu base-nya adalah pemahaman terhadap fungsi-fungsi dewan. Sementara, kalau terbuka adalah popularitas," tutur dia. 

Ia menambahkan, PDIP ingin menguatkan kaderisasi di internal parpol lewat sistem proporsional tertutup. Di sisi lain, wacana untuk mengembalikan pemilu ke sistem proporsional tertutup sudah pernah disampaikan oleh Hasyim Asy'ari sejak Oktober 2022 lalu. 

Hasyim mengatakan, pileg yang menerapkan sistem proporsional tertutup memudahkan perhelatan pemilu serentak pada 2024 mendatang. Selain itu, pihak KPU juga lebih mudah dalam urusan mencetak kertas suara. 

"Kalau KPU ditanya, (kami) lebih pilih proporsional tertutup karena surat suaranya cuma satu dan berlaku di semua dapil. Itu di antaranya," kata dia. 

Meski begitu, Hasyim buru-buru menegaskan, pernyatannya itu tidak bermakna ia mengusulkan agar pemilu kembali ke sistem proporsional tertutup. 

Baca Juga: Simak Ini Arti Proporsional Terbuka dan Tertutup dalam Sistem Pemilu

2. Delapan fraksi di DPR minta MK konsisten dengan putusan tahun 2008

8 Fraksi di DPR Tolak Pemilu Proporsional Tertutup, Kecuali PDIPSidang putusan gugatan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/11/2021). (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Lebih lanjut, petinggi parpol yang berasal dari 8 fraksi meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk tetap konsisten dengan putusan mereka yang pernah dirilis pada 2008 lalu. Putusan bernomor 22-24/PUU-VI/2008 Pasal 168 ayat (2) berisi dua formula penetapan calon terpilih, yaitu berdasarkan nomor urut atau suara terbanyak.

"Kami bersama-sama meminta MK untuk tetap konsisten pada putusan tersebut sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia," demikian pernyataan tertulis oleh delapan fraksi tersebut. 

Mereka juga mengingatkan KPU agar bekerja sesuai amanat undang-undang dan tetap independen. "KPU jangan sampai bekerja mewakili kepentingan siapapun, kecuali kepentingan rakyat, bangsa dan negara," tutur mereka lagi. 

3. Ketua KPU dilaporkan ke DKPP karena bahas sistem proporsional tertutup di pemilu

8 Fraksi di DPR Tolak Pemilu Proporsional Tertutup, Kecuali PDIPKetua KPU RI Hasyim Asy'ari (IDN Times/Fitang Budhi Adhitia)

Sementara, gara-gara membahas sistem pemilu proporsional tertutup, Ketua KPU Hasyim Asy'ari kembali dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ia dilaporkan oleh Lembaga Pemantau Pemilu Nasional, Progressive Democracy Watch (Prodewa). 

Direktur Eksekutif Nasional Prodewa, Fauzan Irvan, dalam keterangannya menyebutkan, ada dua pasal dalam peraturan yang diduga dilanggar oleh Hasyim sehingga dia menilai Ketua KPU RI melanggar kode etik penyelenggaraan pemilu.

"Pasal yang diduga dilanggar oleh Ketua KPU RI yaitu Pasal 8 Huruf c dan Pasal 19 Huruf j Peraturan DKPP RI Nomor 2 Tahun 2019 tentang perubahan atas Peraturan DKPP RI Nomor 3 Tahun 2017," kata Fauzan dalam keterangannya, Rabu (4/1/2023).

Ia menjelaskan, Pasal 8 huruf c menyebutkan, 'dalam melaksanakan prinsip mandiri, Penyelenggara Pemilu bersikap dan bertindak: tidak mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang bersifat partisan atas masalah atau isu yang sedang terjadi dalam proses pemilu.'

Oleh sebab itu, Fauzan menilai bahwa Ketua KPU telah melanggar kode etik karena menyampaikan pendapat yang bersifat partisan.

"Berdasarkan pasal tersebut, kami menilai bahwa Ketua KPU RI sudah melanggar kode etik, karena mengeluarkan pendapat atau penyataan yang bersifat partisan. Menurut KBBI, arti kata partisan adalah pengikut kelompok atau paham tertentu. Dengan demikian, dalam penyataan terlapor memiliki keberpihakan kepada paham sistem pemilu tertentu," tutur dia. 

Baca Juga: Pileg Proporsional Tertutup Mudahkan Pemilu Serentak, Ini Alasan KPU

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya