8 Parpol yang Tolak Pemilu Proporsional Tertutup Bakal Bertemu Besok

Hanya PDIP yang setuju pemilu digelar dengan metode tertutup

Jakarta, IDN Times - Perwakilan dari 8 partai politik yang menolak pemilu dengan metode proporsional tertutup akan bertemu di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Pusat, pada Minggu (8/1/2023). Pertemuan itu digelar sebagai bagian dari aksi konsolidasi agar Pemilu 2024 tidak kembali menggunakan proporsional tertutup. 

Konfirmasi disampaikan oleh Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Benny K. Harman. "Betul (ada pertemuan dengan 8 parpol). Tapi, saya gak bisa ikut karena sedang di daerah," ujar Benny, Sabtu, (7/1/2023). 

Konfirmasi lain disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Viva Yoga Mauladi. Ia bahkan menyebut, dalam pertemuan esok perwakilan dari PAN langsung dihadiri oleh sang ketua umum, Zulkifli Hasan. 

"Betul besok ada pertemuan (dengan 8 parpol lain). Ada ketum sih, ketum kami hadir. Besok rencananya jam 11:00 WIB di Hotel Dharmawangsa," ungkap Yoga kepada IDN Times melalui telepon pada hari ini. 

Sementara, ketika dikonfirmasi ke Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Nurul Arifin, ia juga tak menampik akan ada pertemuan dengan 7 parpol lainnya. Namun, ia menyebut pertemuan besok hanya makan siang di awal tahun 2023. 

"Silaturahmi awal tahun baru saja. Silakan hadir besok," kata dia kepada IDN Times melalui pesan pendek. 

Sebelumnya, Nurul telah mengajak secara terbuka PDIP agar bersedia menggunakan metode proporsional terbuka dalam pemilihan legislatif mendatang. Artinya, calon pemilih langsung mencoblos nama caleg dan bukan lambang parpol. 

Mengapa PDIP berkukuh ingin pileg kembali ke sistem pemilu tertutup?

1. PDIP berdalih dengan sistem proporsional terbuka lebih banyak dampak negatif

8 Parpol yang Tolak Pemilu Proporsional Tertutup Bakal Bertemu BesokSekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto. (ANTARA FOTO/Reno Esnir)

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, perhelatan pemilu dengan sistem proporsional terbuka selama ini menimbulkan lebih banyak dampak negatif. Mulai dari ongkos pemilu yang mahal, menekan manipulasi, dan kerja-kerja penyelenggara KPU yang melelahkan.

"Jadi ada penghematan, sistem menjadi lebih sederhana dan kemudian kemungkinan terjadinya manipulasi menjadi kurang," ungkap Hasto di kantor pusat DPP PDIP, Selasa (3/1/2023). 

Hasto menilai, sistem proporsional tertutup dalam pemilu juga memungkinkan persaingan dilakukan secara sehat. Sebab, semua unsur masyarakat bisa ikut bersaing berdasarkan keahlian mereka dan bukan hanya berdasar popularitas.

"Jadi proporsional tertutup itu base-nya adalah pemahaman terhadap fungsi-fungsi dewan. Sementara, kalau terbuka adalah popularitas," tutur dia. 

Ia menambahkan, PDIP ingin menguatkan kaderisasi di internal parpol lewat sistem proporsional tertutup. Di sisi lain, wacana untuk mengembalikan pemilu ke sistem proporsional tertutup sudah pernah disampaikan oleh Ketua KPU Hasyim Asy'ari sejak Oktober 2022 lalu. 

Hasyim mengatakan, pileg yang menerapkan sistem proporsional tertutup memudahkan perhelatan pemilu serentak pada 2024 mendatang. Selain itu, pihak KPU juga lebih mudah dalam urusan mencetak kertas suara. 

"Kalau KPU ditanya, (kami) lebih pilih proporsional tertutup karena surat suaranya cuma satu dan berlaku di semua dapil. Itu di antaranya," kata dia. 

Baca Juga: Golkar Ajak PDIP untuk Dukung Pemilu Sistem Proporsional Terbuka

2. Analis politik menduga PDIP ngotot kembali ke proporsional tertutup karena untungkan mereka

8 Parpol yang Tolak Pemilu Proporsional Tertutup Bakal Bertemu BesokDirektur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin (IDN Times/Rochmanudin)

Sementara, menurut analis politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin, alasan PDIP ngotot agar kembali ke sistem proporsional tertutup, diduga kuat karena bakal menguntungkan parpol tersebut dalam Pemilu 2024 mendatang. Argumen Hasto bahwa sistem proporsional tertutup membuat biaya pemilu lebih rendah, kata Ujang, itu bisa saja dibuat-buat. 

"Buktinya 8 fraksi parpol di DPR memilih menolak. Artinya, alasan yang dimajukan oleh PDIP mengada-ada. Tapi, saya melihatnya PDIP lebih diuntungkan dengan sistem proporsional tertutup," ungkap Ujang ketika dihubungi oleh IDN Times melalui telepon, pada Kamis (5/1/2023)

"Kan gak mungkin mereka berkukuh mengusulkan itu kalau tidak menguntungkan bagi PDIP," tutur dia. 

Ia pun menampik argumen Hasto yang menyebut bahwa sistem proporsional tertutup akan mengurangi praktik korupsi. Sebab, dengan metode itu, justru caleg kerap menyuap ketua umum parpol agar ditempatkan di parlemen. 

"Kan dulunya memang begitu. Ada jual beli nomor urut. Dulu dikenal dengan istilah caleg becik dan caleg sepatu. Caleg becik itu sudah jadi, caleg sepatu itu nomor urut bawah. Nanti, kan orang bisa membeli nomor urut agar langsung bisa menjadi caleg tanpa perlu bersusah payah menarik suara dari konstituen," katanya. 

3. Metode pemilu proporsional terbuka kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi

8 Parpol yang Tolak Pemilu Proporsional Tertutup Bakal Bertemu BesokSidang putusan gugatan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/11/2021). (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Saat wacana pemilu dengan metode proporsional tertutup bergulir, sejumlah individu mengajukan gugatan materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sistem pemilu tersebut. Penggugat terdiri dari enam orang yaitu Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP cabang Probolinggo); Yuwono Pintadi (kader Partai NasDem); Fahrurozi (bacaleg 2024); Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jaksel); Riyanto (warga Pekalongan); dan Nono Marijono (warga Depok). 

Padahal, metode sistem pemilu sudah pernah digugat dan diputuskan menggunakan proporsional terbuka. Hal itu sesuai dengan putusan MK tahun 2008 lalu yakni 22-24/PUU-VI/2008 Pasal 168 ayat (2). Isinya dua formula penetapan calon terpilih, yaitu berdasarkan nomor urut atau suara terbanyak.

Dalam surat pernyataan bersama 8 fraksi parpol di DPR, meminta hakim MK untuk tetap konsisten dengan putusan mereka yang pernah dirilis pada 2008 lalu. "Kami bersama-sama meminta MK untuk tetap konsisten pada putusan tersebut sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia," demikian pernyataan tertulis oleh delapan fraksi tersebut pada Rabu, (4/1/2023). 

Mereka juga mengingatkan KPU agar bekerja sesuai amanat undang-undang dan tetap independen. "KPU jangan sampai bekerja mewakili kepentingan siapapun, kecuali kepentingan rakyat, bangsa dan negara," tutur mereka lagi. 

Baca Juga: 8 Fraksi di DPR Tolak Pemilu Proporsional Tertutup, Kecuali PDIP

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya