Dituding Tidak Akurat, BIN Jelaskan soal Swab Test yang Digunakan

Keterlibatan BIN tangani pandemik corona juga dipertanyakan

Jakarta, IDN Times - Badan Intelijen Negara (BIN) akhirnya buka suara usai dikritik dalam pemberitaan Majalah Tempo pada pekan ini. Dalam artikel berjudul "Prank Corona dari Pejaten", Tempo menulis bahwa hasil tes usap massal yang dilakukan BIN tidak akurat.

Salah satu yang sempat membuat heboh ketika Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN), Adi Suryanto dinyatakan positif tertular virus corona. Dia dinyatakan tertular usai mengikuti tes PCR-RT dari fasilitas mobil milik BIN yang datang ke kantornya. Tes dilakukan usai satu pegawai LAN meninggal akibat tertular COVID-19. 

"Kami gak punya anggaran makanya meminta bantuan BIN," ungkap Adi dalam laporan tersebut. 

Hasil tes usap Adi membuat heboh Istana Wakil Presiden Ma'ruf Amin karena sebelum dinyatakan positif corona, ia sempat mengikuti rapat secara tatap muka dengan Wapres. Tim dokter wapres kemudian menyarankan Adi untuk melakukan tes usap ulang di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto (RSPAD). Selain Adi, ada juga 14 pegawai LAN. 

Hasilnya mengejutkan. Tidak ada satu pun yang dinyatakan positif corona, termasuk Adi. "Semuanya negatif (corona) dan hasil tes darahnya juga bagus," kata dia lagi. 

Deputi VII BIN, Wawan Hari Purwanto melalui keterangan tertulisnya kepada IDN Times, Minggu, 27 September 2020 lalu mengatakan perbedaan hasil tes usap bukan hal baru. Berdasarkan analisa dewan analis strategis medical intelligence BIN dan jaringan mereka di WHO ada tiga hal yang menyebabkan perbedaan hasil tes usap. Apa saja itu?

1. Tiga alasan hasil tes usap yang dilakukan BIN sering berbeda

Dituding Tidak Akurat, BIN Jelaskan soal Swab Test yang DigunakanIlustrasi Swab Test (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Wawan menegaskan tes usap yang dilakukan oleh BIN memiliki ambang batas standar yang lebih tinggi dibandingkan institusi lain. Sehingga, ia menjamin tes usap yang dilakukan BIN terpercaya. 

Meski begitu, ia mengakui ada perbedaan hasil tes usap yang dilakukan BIN. Alasannya ada tiga yaitu: 

  1. Protein atau RNA yang tersisa (jasad renik virus) sudah sangat sedikit, bahkan mendekati hilang pada treshold sehingga tak terdeteksi lagi. Perbedaan hasil bisa semakin besar bila yang dites subjeknya adalah orang tanpa gejala klinis. "OTG atau asimptomatik yang mendekati sembuh berpotensi memiliki fenomena tersebut," kata Wawan.
  2. Terjadi bias pre-analitik yaitu pengambilan sampel yang dilakukan oleh dua orang berbeda. Artinya, kualitas pelatihan berbeda dan SOP yang diterapkan juga berbeda. "Sehingga, sampel swab sel yang berisi virus COVID-19 tidak terambil," ujarnya. 
  3. Sensitivitas reagen bisa saja berbeda. Hal ini bisa terjadi untuk pasien yang nilai CT nya sudah mendekati 40. 

Tetapi, Wawan kembali meyakinkan bahwa reagen yang digunakan oleh BIN tidak sembarangan. Ia menjelaskan BIN menggunakan reagen merek spesifik yang berasal dari Amerika Serikat dan Wuhan (Tiongkok). 

"Reagen ini lebih tinggi standar dan sensitivitiasnya terhadap strain COVID-19 dibandingkan merek lain," tutur Wawan. 

Namun, pada akhirnya, hasil tes usap yang dipercayai oleh Kepala LAN yakni yang dilakukan di RSPAD Gatot Subroto. Padahal, BIN mengklaim memiliki standar peralatan dan reagen yang lebih tinggi. 

Baca Juga: Juru Wabah UI: Publik Harus Pertanyakan Keampuhan Obat COVID-19 Unair

2. BIN membantah tidak melaporkan hasil tes usap massal ke Kementerian Kesehatan

Dituding Tidak Akurat, BIN Jelaskan soal Swab Test yang DigunakanIlustrasi virus corona (IDN Times/Arief Rahmat)

Hal lain yang disoroti dalam penelusuran Majalah Tempo pekan ini yaitu hasil tes usap massal yang dilakukan oleh BIN tidak dilaporkan ke Kementerian Kesehatan dan Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Hal itu sempat dilaporkan oleh Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas COVI-19 Jatim, Joni Wahyudi. Ia mengatakan selama BIN menggelar tes massal di Surabaya, hasilnya tidak ada satu pun yang dilaporkan ke timnya. 

"Mereka tidak pernah melapor ke kami," ungkap Joni. 

Wawan mengatakan hal berbeda. Ia mengatakan sejak satgas intelijen medis beroperasi pada April 2020 lalu, BIN selalu melaporkan hasil tes swab yang selama ini dilakukan ke Kemenkes dan Gugus Tugas Penanganan COVID-19. Namun, ia tidak menjelaskan hasil tes massal yang mereka gelar di Surabaya pada 2 Juni 2020 lalu. 

3. BIN ikut serta menangani pandemik COVID-19 sudah sesuai UU nomor 17 tahun 2011

Dituding Tidak Akurat, BIN Jelaskan soal Swab Test yang DigunakanIlustrasi virus corona (IDN Times/Sukma Shakti)

Sejak awal keterlibatan BIN dalam penanganan pandemik COVID-19 sudah menimbulkan tanda tanya. Sebab, tak lazim badan intelijen ikut serta dalam penanganan wabah. 

Selain terlibat dalam tes usap massal, BIN sudah berkolaborasi dengan Universitas Airlangga untuk mengembangkan obat COVID-19. Namun, belakangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tak jadi memberikan izin edar. 

Wawan menjelaskan keterlibatan BIN dalam penanganan pagebluk karena memperoleh instruksi dari Presiden Joko "Jokowi" Widodo. Selain itu, BIN diberikan kewenangan oleh UU nomor 17 tahun 2011 untuk membentuk satgas dalam pelaksanaan aktivitas intelijen. Hal itu tertulis di pasal 30 huruf D. 

"Ancaman kesehatan juga merupakan bagian dari ancaman terhadap keamanan manusia yang merupakan ranah kerja BIN, sehingga bisa dikatakan BIN turut berpartisipasi aktif membantu satgas penanganan COVID-19 dengan melakukan operasi intelijen medis," tutur Wawan. 

Ia juga mengklaim kebijakan serupa sudah dilakukan oleh negara lain seperti Amerika Serikat dengan memiliki National Centre for Medical Intelligence (NCMI). Mereka melakukan pemantauan penyakit menular di dunia. 

"NATO di Eropa bahkan melibatkan aktivitas intelijen dalam pengkajian infrastruktur kesehatan," katanya lagi. 

Baca Juga: Obat COVID-19 Temuan Unair Diklaim 3 Kali Lebih Kuat Ketimbang Avigan

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya