Komnas HAM Didesak Tetapkan Pembunuhan Munir Sebagai Pelanggaran Berat

Dalam persidangan terungkap BIN ikut terlibat 

Jakarta, IDN Times - Sebanyak 101 organisasi masyarakat sipil membuat surat terbuka yang ditujukan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait dengan kasus pembunuhan Munir Said Thalib. Organisasi yang tergabung di dalam Komite Aksi Solidaritas untuk Kasus Munir (KASUM) mendesak agar Komnas HAM segera menetapkan pembunuhan Munir masuk ke dalam pelanggaran HAM berat.

Hal ini lantaran sampai sekarang pelaku yang diproses hukum hanya pelaku lapangan. Sedangkan, aktor intelektual dan dalang di balik peristiwa pembunuhan Munir belum diungkap. 

"Padahal, sudah 17 tahun berlalu sejak kematian Munir. Selain itu, Komnas HAM juga urung menunjukkan langkah yang konkret dan signifikan untuk menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM yang berat," kata KASUM dalam keterangan tertulis pada Jumat (20/8/2021). 

Aktor lapangan yang sudah diproses baru Pollycarpus Budihari Prijanto. Sedangkan, Muchdi Purwoprandjono yang pernah menjabat sebagai Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) divonis bebas pada 31 Desember 2008. 

Sejak 2019, Mabes Polri sudah menyatakan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh tim penyidik Bareskrim terkait kasus Munir telah rampung. Sebab, terdakwa dalam kasus pembunuhan tersebut yakni Pollycarpus telah menjalani hukuman badan dua tahun penjara. 

Hukuman ringan itu diperoleh Pollycarpus usai mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Sebelumnya, di pengadilan tingkat pertama, Pollycarpus dijatuhi vonis 14 tahun bui. 

Apa dasar KASUM mendesak agar kasus pembunuhan Munir harus dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat?

1. KASUM nilai kasus pembunuhan Munir telah penuhi persyaratan pelanggaran HAM berat

Komnas HAM Didesak Tetapkan Pembunuhan Munir Sebagai Pelanggaran BeratIDN Times/Sukma Shakti

Menurut KASUM, pembunuhan Munir di dalam pesawat Garuda Indonesia ketika menuju ke Belanda sudah memenuhi persyaratan untuk masuk ke dalam pelanggaran HAM berat. Suatu tindak kejahatan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat tertuang di dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 

"Pertama, pembunuhan terhadap Munir merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat karena merupakan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan," kata KASUM.

Kedua, kata KASUM, pembunuhan terhadap Munir merupakan sebuah serangan yang dilakukan secara sistemik dan ditujukan terhadap warga sipil. "Ketiga, fakta yang terungkap di persidangan bahwa lembaga negara dalam hal ini BIN terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembunuhan terhadap Munir," tutur mereka lagi. 

Hal tersebut, kata KASUM, memenuhi unsur serangan seperti yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 9 UU Pengadilan HAM. Di dalam persidangan, jaksa Cirus Sinaga pada 2008 lalu jelas menyebut Muchdi yang memerintah agen BIN Budi Santoso dan Pollycarpus untuk mengeksekusi Munir. 

Jaksa penuntut Cirus ketika itu mengatakan di dalam berkas dakwaan bahwa Muchi memiliki dendam pribadi terhadap Munir. Ini karena upaya kritis Munir membongkar kasus penculikan aktivis 1998, yang dilakukan Tim Mawar dan Kopassus membuat Muchdi PR sang komandan Kopassus kala itu, dicopot dari jabatannya.

Namun, melalui kuasa hukumnya, Muchdi membantah dakwaan jaksa Cirus tersebut. 

Baca Juga: Menolak Lupa, 5 Hal tentang Pembunuhan Munir yang Wajib Kamu Tahu

2. Bila dinyatakan pelanggaran HAM berat, maka Komnas HAM harus lakukan penyelidikan lagi

Komnas HAM Didesak Tetapkan Pembunuhan Munir Sebagai Pelanggaran BeratWakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin (kiri) bersama Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara (kanan) memberikan keterangan pers perkembangan penyelidikan dan hasil temuan Komnas HAM RI atas peristiwa kematian enam laskar FPI di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (28/12/2020) (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Sesuai dengan aturan yang ada, untuk menentukan suatu tindak kejahatan pelanggaran HAM yang tergolong berat atau tidak, maka harus ditentukan melalui sidang paripurna. Dari sidang tersebut, Komnas HAM akan diminta untuk membentuk tim ad-hoc. 

Tim ini akan melakukan penyelidikan proyustisia terhadap kasus pembunuhan Munir. Dalam hal ini, Komnas HAM yang akan bertindak sebagai penyelidik proyustisia.

Selanjutnya, Komnas HAM wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Pelaksanaan Penyelidikan (SPDPP) kepada Jaksa Agung RI sebagai pejabat otoritatif yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran HAM yang berat berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM.

Itu sebabnya, KASUM berharap Komnas HAM menetapkan pembunuhan Munir sebagai tindak pelanggaran HAM berat. Apalagi, berdasarkan UU Pengadilan HAM, hanya Komnas HAM yang diberikan mandat untuk menyelidiki pelanggaran HAM yang berat. 

KASUM juga menjelaskan pada 21 September 2020, mereka telah menyampaikan opini hukum untuk membantu Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan dan menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM yang berat.

"Tetapi hingga surat terbuka ini disampaikan, Komnas HAM masih belum menetapkan pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat," kata mereka. 

3. Bila pembunuhan Munir tak dimasukan sebagai pelanggaran HAM berat, maka dapat menghalangi pencarian keadilan

Komnas HAM Didesak Tetapkan Pembunuhan Munir Sebagai Pelanggaran BeratANTARA FOTO/Irsan Mulyadi

KASUM juga menegaskan bila kasus pembunuhan Munir belum ditetapkan sebagai pelanggaran HAM yang berat, sama saja dengan upaya menghalangi pencarian keadilan dan pengungkapan fakta yang sebenar-benarnya. 

"Komnas HAM harus memberikan informasi yang seluas-luasnya mengenai perkembangan terhadap kasus pembunuhan Munir dan penjelasan utuh mengapa kasus tersebut belum ditetapkan sebagai pelanggaran HAM yang berat," kata KASUM. 

Munir diketahui meninggal dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda, pada 7 September 2004. Otoritas Belanda yang melakukan otopsi terhadap tubuh Munir menyimpulkan aktivis yang pernah mengurus kasus pembunuhan Marsinah tersebut dihabisi dengan racun arsenik. 

Sejak dipastikan Munir meninggal dengan cara tak wajar, bahkan dibunuh, pihak keluarga menuntut pemerintah membentuk tim penyelidik khusus yang independen. Menurut keluarga, tim investigasi independen dibutuhkan sebab ada kekhawatiran jika memakai proses hukum konvensional maka kemungkinan untuk terungkapnya semakin kecil. 

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pun sepakat dengan argumen keluarga Munir. Hanya saja setelah melalui tarik ulur, baru tiga bulan usai kematian Munir, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membentuk Tim Pencari Fakta (TPF).

Baca Juga: Kasus Kematian Munir Diusut Lagi, Ini Komentar Suciwati

Topik:

  • Jihad Akbar

Berita Terkini Lainnya