Mahfud: yang Ribut dan Berdemo Bukan Warga Pulau Rempang

Mahfud klaim warga Rempang bersedia direlokasi

Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, mengklaim warga lokal di Pulau Rempang, Batam, tidak mempermasalahkan rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City. Menurut dia, yang selama ini memprotes dan berunjuk rasa berasal dari luar kawasan Rempang. 

"Yang ribut siapa? Bukan orang di Rempangnya. Orang Rempang itu, coba, di sebuah pulau terpencil, tidak ada kehidupan ekonomi, tetapi oleh pemerintah diganti per orang diberi ganti rugi berupa tanah 500 meter persegi, ditambah rumah ukuran 45," ungkap Mahfud ketika menyampaikan pidato di sebuah masjid di Nganjuk, Jawa Timur, dikutip dari YouTube, Sabtu (16/9/2023). 

Selain itu, kata Mahfud, warga lokal Pulau Rempang juga diberi uang tunggu Rp1,2 juta selama rumah dibangun. Uang itu, kata dia, dapat digunakan sebagai dana sewa sebelum rumah pengganti selesai dibangun. 

"Itu penduduknya dapat kok menerima. Yang dari luar (Rempang) ini yang berdemo," kata dia. 

Namun, klaim Mahfud bertolak belakang dengan keinginan warga di Pulau Rempang. Mereka tidak menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) Presiden Joko "Jokowi" Widodo, tetapi mereka tak ingin direlokasi ke tempat lain. Apalagi rumah yang disiapkan adalah rumah susun. 

Begitu juga dengan rekomendasi dari Komnas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Mereka pun mendorong agar rencana relokasi warga dihentikan. Apakah itu bisa terwujud?

1. Duduk perkara konflik agraria versi Menko Mahfud

Mahfud: yang Ribut dan Berdemo Bukan Warga Pulau RempangRibuan warga berunjuk rasa terkait rencana pengembangan Pulau Rempang dan Galang menjadi kawasan ekonomi baru di Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (23/8/2023). (ANTARA FOTO/Teguh Prihatna)

Lebih lanjut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu membuat pengumuman pada 2001 dan 2002. Isi pengumumannya ketika itu yakni mendorong warga untuk berinvestasi di pulau-pulau terluar Indonesia, termasuk di Rempang. 

"Karena (sumber dayanya) tidak dimanfaatkan. Memang ada penduduknya tetapi tidak produktif. Siapa yang mau berinvestasi dan mengubahnya menjadi daerah industri atau wisata? Ketika itu, gak ada yang mau," ujar Mahfud. 

Namun pada 2004, ada satu perusahaan pengembang yang tertarik. Meski tidak disebut, pengembang yang dirujuk adalah PT Makmur Elok Graha (PT MEG) yang merupakan anak perusahaan dari Arta Graha Group. 

"Pengembang ini mau berinvestasi senilai Rp381 triliun pada 2004. Kontrak dengan pemerintah daerah dan selesai. Karena uangnya belum ada, tetapi kontrak untuk tanah dan pemindahan sudah jadi, dia (pengembang) pergi. Tanahnya tidak diurus," kata dia. 

Ketika tanah tersebut tidak diurus maka masuk pengembang-pengembang baru. Mereka kemudian diberi izin oleh gubernur dan wali kota. Padahal, sesuai dengan kontrak yang diteken di awal, tanah tersebut sudah menjadi pihak lain. 

"Sekarang, orangnya sudah kembali. Ini dikosongkan. Itulah yang memicu terjadi keributan," tutur Mahfud. 

Baca Juga: Komnas HAM Minta Rencana Relokasi Warga Rempang Dihentikan

2. Warga lokal tak mau dipindahkan ke rumah lebih kecil yang disiapkan BP Batam

Mahfud: yang Ribut dan Berdemo Bukan Warga Pulau RempangLadang luas yang ada di Sembulang, Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Senin (21/8/2023) yang nantinya akan menjadi kawasan ekonomi. (ANTARA FOTO/Teguh Prihatna)

Sementara, salah satu warga di Tanjung Kertang, Batam, Nurliana, mengaku tidak ingin pindah ke rumah susun dengan ukuran lebih kecil. Rumah itu disiapkan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam. 

"Saya belum daftar untuk direlokasi. Tapi saya juga gak mau (dipindahkan). Rusun segitu kecilnya, kayak mana kami, barang-barang kayak mana kami naik turun tangga untuk memindahkannya. Gak bisalah," ujarnya seperti dikutip dari tayangan tvOne pada Jumat, 15 September 2023. 

Ia pun menolak bila tetap dipaksa harus pindah ke rumah susun tersebut. Nurlianah justru berharap pemerintah memberikan perhatian kepada warga kecil. 

"Kalau bisa, pemerintah tolong perhatikan warga-warga seperti kami di pinggir ini," tutur dia. 

Di sisi lain, Presiden Joko "Jokowi" Widodo menilai situasi di Rempang berujung ricuh lantaran komunikasi dan sosialisasi yang kurang baik kepada warga. Jokowi kemudian menelepon Kapolri, Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, agar tidak menggunakan kekerasan dalam menghadapi konflik penggusuran lahan. 

"Selalu saya ingatkan masalah di Rempang, ini hanya masalah salah komunikasi saja di lapangan. Saya sudah ingatkan berkali-kali jangan gunakan pendekatan-pendekatan represif ke masyarakat. Masyarakat kalau ada ganti rugi seneng gitu lho. Itu yang saya inginkan," kata Jokowi pada 14 September 2023. 

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu ikut mengatakan hal-hal seperti kekisruhan di Rempang tak perlu sampai harus diurus langsung oleh Presiden. 

3. BP Batam akan tetap relokasi warga sebelum 28 September 2023

Mahfud: yang Ribut dan Berdemo Bukan Warga Pulau RempangWarga Pulau Rempang, Batam yang bentrok dengan aparat karena menolak relokasi pada 7 September 2023. (Dokumentasi Istimewa)

Sementara, Komisioner Komnas HAM, Saurlin P. Siagian mengatakan pihaknya sudah memulai proses pramediasi dengan memanggil sejumlah pemangku kepentingan ke kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat pada Senin, 11 September 2023.

Sejumlah pihak yang dipanggil antara lain Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam, Kepala Polda Kepulauan Riau, Sekretaris Daerah Kota Batam, dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Batam. Saurlin mengatakan, Sekda Batam hadir untuk menjadi perwakilan dari Wali Kota. 

Namun, ia enggan mengungkap hasil pertemuan itu. Ia khawatir bila saat ini disampaikan ke publik, malah memengaruhi proses mediasi. 

Sementara itu, Komisioner Mediasi Komnas HAM, Prabianto Mukti Wibowo, menjelaskan, dalam pertemuan itu, ia mengusulkan apakah memungkinkan bila yang direlokasi adalah rencana pembangunan perusahaan solar panel, bukan warga yang sudah lebih dulu bermukim di sana. 

Komnas HAM, kata Prabianto, juga meminta agar kegiatan pengukuran lahan untuk sementara waktu dihentikan karena bisa memunculkan konflik. 

"Jadi, sebelum ada sosialisasi yang lebih baik atau pun dialog, sebaiknya BP tak melanjutkan pengukuran tata batas," ujar Prabianto di Jakarta, Jumat, 15 September 2023. 

Sayangnya, permintaan Komnas HAM itu ditolak. Sebab, BP Batam sudah terikat kewajiban dalam nota kesepahaman (MoU) yang diteken. Salah satu poinnya mengatur pembangunan yang sudah wajib dimulai sebelum 28 September 2023. Bila terjadi penundaan akibat penolakan warga, nilai investasi yang semula sudah disepakati bisa batal. 

"Makanya, mereka masih ingin tetap menggunakan lokasi itu untuk pembangunan pabrik," kata dia. 

https://www.youtube.com/embed/pa5wMZBaEYs

Baca Juga: Komnas HAM Dorong Pemerintah Gunakan Pendekatan Humanis di Rempang

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya