Pakar: 5.013 Pasien Meninggal, Tanda Omicron Tak Bisa Dianggap Ringan

45 persen pasien memiliki komorbid, mayoritas diabetes

Jakarta, IDN Times - Kementerian Kesehatan mencatat sejak kasus Omicron diumumkan ditemukan di Indonesia pertengahan Desember 2021 hingga Februari 2022 tercatat ada 5.013 pasien yang meninggal. Bahkan, 158 pasien di antaranya masih berusia 0-5 tahun.

Hal ini pertanda galur Omicron tidak bisa dinyatakan ringan. Sebab, angka kematian tetap ada. Bahkan, angka kematian harian pada 2 Maret mencapai 376. Ini menjadi angka kematian tertinggi sepanjang 2022. 

"Risiko kematian pasien yang tinggi terjadi pada pasien yang belum menerima vaksin secara lengkap, lansia, dan memiliki (penyakit) komorbid," ungkap Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi ketika memberikan keterangan pers secara virtual dan dikutip pada Jumat, (4/3/2022). 

Jumlah pasien meninggal akibat belum divaksinasi mencapai 69 persen dari 5.013. Sementara, 45 persen pasien meninggal akibat memiliki penyakit komorbid. 

"(Penyakit) komorbid terbanyak yang ditemukan di pasien adalah diabetes melitus. Bahkan, 21 persen pasien memiliki (penyakit) komorbid lebih dari satu," kata dia. 

Sedangkan, jumlah pasien yang meninggal karena lansia mencapai 57 persen. Di sisi lain, jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit menurut Kemenkes per 26 Februari 2022 mencapai 28.027. Menurut Nadia, mayoritas dari mereka tak menunjukkan gejala atau memiliki gejala ringan. 

"Kami mengimbau pasien COVID-19 yang tanpa gejala atau memiliki gejala ringan yang tak mempunya komorbid atau lansia, sebaiknya tetap melakukan perawatan di rumah. Isoman di rumah juga harus mengikuti sejumlah persyaratan," ujarnya lagi. 

Lalu, bila angka kematian akibat Omicron masih tinggi, apakah pemerintah berarti kerap meremehkan varian yang kali pertama dilaporkan muncul di Afrika Selatan itu?

 Kementerian Kesehatan mencatat sejak kasus Omicron diumumkan ditemukan di Indonesia pertengahan Desember 2021 hingga Februari 2022 tercatat ada 5.013 pasien yang meninggal. Bahkan, 158 pasien di antaranya masih berusia 0-5 tahun.

Hal ini pertanda galur Omicron tidak bisa dinyatakan ringan. Sebab, angka kematian tetap ada. Bahkan, angka kematian harian pada 2 Maret mencapai 376. Ini menjadi angka kematian tertinggi sepanjang 2022. 

"Risiko kematian pasien yang tinggi terjadi pada pasien yang belum menerima vaksin secara lengkap, lansia, dan memiliki (penyakit) komorbid," ungkap Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi ketika memberikan keterangan pers secara virtual dan dikutip pada Jumat, (4/3/2022). 

Jumlah pasien meninggal akibat belum divaksinasi mencapai 69 persen dari 5.013. Sementara, 45 persen pasien meninggal akibat memiliki penyakit komorbid. 

"(Penyakit) komorbid terbanyak yang ditemukan di pasien adalah diabetes melitus. Bahkan, 21 persen pasien memiliki (penyakit) komorbid lebih dari satu," kata dia. 

Sedangkan, jumlah pasien yang meninggal karena lansia mencapai 57 persen. Di sisi lain, jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit menurut Kemenkes per 26 Februari 2022 mencapai 28.027. Menurut Nadia, mayoritas dari mereka tak menunjukkan gejala atau memiliki gejala ringan. 

"Kami mengimbau pasien COVID-19 yang tanpa gejala atau memiliki gejala ringan yang tak mempunya komorbid atau lansia, sebaiknya tetap melakukan perawatan di rumah. Isoman di rumah juga harus mengikuti sejumlah persyaratan," ujarnya lagi. 

Lalu, bila angka kematian akibat Omicron masih tinggi, apakah pemerintah berarti kerap meremehkan varian yang kali pertama dilaporkan muncul di Afrika Selatan itu?

Baca Juga: [UPDATE] Kasus Kematian Akibat COVID-19 di Dunia Capai 6 Juta Pasien

1. Tingginya angka kematian menunjukkan COVID-19 tak boleh diremehkan

Pakar: 5.013 Pasien Meninggal, Tanda Omicron Tak Bisa Dianggap RinganJumlah pasien COVID-19 varian Omicron yang meninggal sejak pertengahan Desember 2021 hingga Februari 2022 mencapai 5.013 pasien (Tangkapan layar YouTube Kementerian Kesehatan)

Sementara, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra mengatakan masih tingginya angka kematian akibat Omicron menandakan kualitas penanganannya tidak tepat, terlambat dan pasti ada kebocoran dalam proses skrining. Jumlah kematian yang mencapai 5.013, kata Hermawan, menunjukkan bahwa pemerintah tidak seharusnya meremehkan COVID-19, apapun variannya. 

"Omicron yang sering kali kita anggap remeh pun, saat diakumulasikan hasilnya menunjukkan ada lebih dari 5.000 kematian. Bila kita total selama 2 tahun perjalanan COVID-19 di Indonesia, itu kan ada lebih dari 148 ribu orang yang meninggal. Dengan catatan, bila dibandingkan dengan morbiditas, maknanya case fatality di Indonesia sekitar 2,66 persen. Jadi, sangat tinggi," ungkap Hermawan yang dihubungi IDN Times pada Rabu, 2 Maret 2022 melalui telepon. 

Ia pun mempertanyakan pernyataann pemerintah yang sering kali menyebut bahwa varian Omicron hanya menimbulkan gejala ringan. Namun, pada kenyataannya, angka kematian harian mencapai lebih dari 300 pasien. Seharusnya, bila Omicron betul-betul lebih ringan, maka angka kematian bisa ditekan hingga ke angka 0. 

"Berarti, kan di sini ada proses diagnostik, skrining yang terlambat atau juga cenderung merendahkan. Bisa jadi juga angka kasus sesungguhnya di lapangan jauh lebih besar dibandingkan yang dilaporkan. Karena angka kematian menunjukkan kualitas pelayanan kesehatan," tutur dia. 

Baca Juga: Kemenkes Siapkan Jalan Menuju Endemik COVID-19, Terlalu Buru-buru?

2. Masih ada 10 juta lansia yang belum divaksinasi COVID-19

Pakar: 5.013 Pasien Meninggal, Tanda Omicron Tak Bisa Dianggap RinganIlustrasi lansia (ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha)

Hermawan menjelaskan salah satu kelompok yang rentan terpapar COVID-19 adalah kaum lanjut usia. Pemerintah menetapkan target harus ada 21 juta lansia yang sudah menerima vaksin lengkap. 

Namun, berdasarkan data dari Kemenkes, jumlah lansia yang sudah menerima vaksin COVID-19 lengkap baru 55,01 persen atau setara 11,8 juta. Artinya, masih ada sekitar 10 juta lansia lainnya yang belum divaksinasi. 

Ia mewanti-wanti segmen kaum lansia membutuhkan perhatian khusus. Mereka tidak bisa mendatangi sendiri fasilitas kesehatan dan minta divaksinasi. Ada sebagian yang perlu untuk didampingi. 

"Di saat mereka ingin divaksinasi, pasti mereka bergantung kepada orang lain. Mulai dari saudara atau anggota keluarga lainnya yang mendampingi. Maka, tidak bisa kita mengandalkan mereka daftar dan hadir di lokasi tertentu. Ini menjadi salah satu tantangan juga, di sampingi kampanye untuk menyadarkan pentingnya divaksinasi," kata Hermawan. 

Ia pun meminta kepada pemerintah untuk tidak menyalahkan masyarakat sepenuhnya karena cakupan vaksinasi yang masih rendah. Alih-alih menyalahkan, Hermawan mendorong pemerintah untuk lebih pro aktif dan menjemput bola bagi kaum lansia yang ingin divaksinasi. 

3. Pemerintah dinilai masih meremehkan COVID-19

Pakar: 5.013 Pasien Meninggal, Tanda Omicron Tak Bisa Dianggap RinganHermawan Saputra di IDN Media HQ (IDN Times/Muhammad Athif Aiman)

Hermawan menilai sejak awal pandemik COVID-19 terjadi pada Maret 2020, pemerintah sudah meremehkan penyakit ini. Namun, dua tahun berlalu, sikap itu tidak berubah. Hal itu bisa terlihat dari pernyataan yang disampaikan oleh para pejabat di Tanah Air, mulai dari Omicron tidak lebih parah dibandingkan varian Delta, angka kematian rendah, mayoritas pasien yang terinfeksi Omicron hanya menunjukkan gejala ringan hingga menyerupai flu biasa. 

"Tapi, kan kalau kita lihat akumulasi kematian mencapai lebih dari 5.000. Saya tidak mengatakan pemerintah lalai, tetapi model komunikasi yang dibangun tak bisa meremehkan begitu, sementara ada ribuan nyawa yang melayang," ungkap Hermawan. 

Ia pun menegaskan tidak ada manfaatnya pemerintah berulang kali membandingkan korban yang terjadi pada gelombang Omicron dengan Delta. Sebab, pada kenyataannya kasus hariannya bertambah secara signifikan dan sporadis. Maka, sebaiknya pemerintah fokus pada angka kesakitan atau morbiditas. 

Alih-alih meremahkan, Hermawan mengusulkan agar pemerintah membangun model komunikasi dan meningkatkan kesadaran publik supaya waspada terhadap COVID-19. "Betul, memang panik saja tidak penting tapi jangan sampai melarang publik untuk panik, namun malah meremehkan. Itu pola komunikasi yang tidak tepat," kata dia lagi. 

Salah satu pernyataan meremehkan yang dirujuk Hermawan yakni ketika Menteri Koordinator bidang kemaritiman dan investasi, Luhut Pandjaitan justru mendorong publik untuk beraktivitas di luar rumah asal sudah divaksinasi booster. Padahal, salah satu protokol kesehatan yakni membatasi mobilitas dan menjauhi kerumunan atau keramaian. 

Baca Juga: Pemerintah Buka Peluang Hapus Kewajiban Karantina bagi PPLN

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya