Pimpinan Usulkan Agar Ketua KPK Dipilih Langsung oleh Presiden 

"Kalau sudah di DPR kan ada perhitungan-perhitungan"

Jakarta, IDN Times - Masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jilid IV segera berakhir pada Desember 2019. Presiden Joko "Jokowi" Widodo pun sudah menunjuk panitia seleksi yang terdiri dari 9 orang untuk mengajukan orang-orang terbaik. Nantinya, 10 calon pimpinan yang lulus proses seleksi hingga di tahap akhir akan mengikuti proses uji kepatutan dan kelayakan di DPR. 

Namun, banyak yang menduga terjadi transaksi dan kesepakatan tertentu apabila sudah ada di tahap seleksi di DPR. Hal tersebut tidak dibantah oleh Wakil Ketua KPK saat ini, Saut Situmorang. 

"Ya, kalau sudah di DPR biasanya memang ada perhitungan-perhitungan tersendiri," kata Saut ketika menjawab pertanyaan IDN Times pada Rabu (12/6) di gedung KPK. 

Ia pun kemudian mengusulkan agar Presiden saja yang menunjuk Ketua KPK. Sehingga, publik nantinya bisa memprotes langsung ke Presiden apabila pimpinan lembaga antirasuah tersebut tidak bekerja secara maksimal. 

"Ditentukan saja oleh Presiden siapa yang duduk di KPK. Jadi, kalau kerjanya gak bener tinggal nyalahin Presidennya. Di negara lain juga begitu kok, tengok aja di Malaysia. Tapi, itu kalau mau lebih aman," kata pria yang tinggal sekitar 6 bulan lagi duduk sebagai Wakil Ketua itu. 

Tetapi, betul kah proses seleksi capim KPK diliputi praktik yang tak transparan?

1. Wakil Ketua KPK menjamin proses yang berjalan sebelum di DPR sulit diintervensi

Pimpinan Usulkan Agar Ketua KPK Dipilih Langsung oleh Presiden ANTARA FOTO/Reno Esnir

Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang menjamin dari proses seleksi administratif hingga tembus 48 besar hanya mengandalkan kemampuan dari capim yang melamar. Apalagi dimulai dari tahapan psikotest bukan sesuatu yang mudah. 

"Paling gak sampai di angka 48 besar itu murni otak yang bersangkutan dari hasil psikotest. Jadi, menurut pengalaman saya lho, itu hasil kemampuan mereka sendiri," ujar Saut mengenang kembali proses tahapan untuk menjadi capim KPK yang telah ia lalui pada 2015 lalu. 

Selain itu, para capim juga nantinya akan diminta untuk membuat makalah dan mempresentasikannya langsung di hadapan pansel. Kendati urusan membuat slide power point terkesan remeh, namun biasanya bagi para pejabat, hal tersebut dikerjakan oleh orang lain. 

"Bayangin, yang biasanya gak bikin power point sendiri, akhirnya otak Anda harus mikir dan bikin sendiri," kata pria yang pernah menjadi Staf Ahli di Badan Intelijen Negara (BIN) itu. 

Setelah melalui proses seleksi, maka akan terus menciut hingga ke-10 besar. Nama-nama di 10 besar ini lah yang nantinya akan mengikuti uji kepatutan dan kelayakan di DPR. 

Baca Juga: Pansel Ingin Cari Capim KPK yang Gencar Berantas Tindak Pencucian Uang

2. Dorongan agar Presiden menunjuk langsung pimpinan KPK sudah muncul sejak lama

Pimpinan Usulkan Agar Ketua KPK Dipilih Langsung oleh Presiden (Panitia seleksi capim KPK periode 2015-2019 bertemu Presiden Jokowi) ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

Dorongan untuk mengubah sistem pemilihan pimpinan KPK sudah mulai muncul sejak lama. Pada 2015 lalu, pakar hukum pidana, Irman Putra Sidin, pernah mengatakan agar Presiden Jokowi mengambil alih komando pemberantasan korupsi. Tujuannya, untuk membentuk strategi pemberantasan korupsi baik dalam bentuk penindakan dan pencegahan. 

"Kita harus berpikir untuk kembalikan tongkat komando pemberantasan korupsi ke presiden. Biar presiden efektif memilih dan DPR mengawasi," ujar Irman pada Mei 2015 lalu. 

Strategi itu, katanya, juga sebagai bentuk pertanggung jawaban Presiden sebagai pimpinan negara. 

"Jadi, tidak akan ada yang lempar tangan," katanya lagi. 

Yang terjadi selama ini, dalam pandangannya, Presiden tidak lebih seperti tukang pos dalam proses pemilihan pimpinan KPK. 

"Presiden hanya menunjuk panitia seleksi. Kalau sudah terpilih, pansel menyerahkan ke presiden dan selanjutnya presiden mengirim ke DPR," tutur dia. 

Padahal, sering kali dalam beberapa kasus, DPR tak sepakat soal calon yang diusulkan oleh panitia seleksi. Ia menduga bisa saja anggota panitia seleksi itu justru memenuhi kualifikasi untuk jadi pimpinan dan nahkoda bagi KPK.

Sementara, dalam pandangan pengamat politik dari IndoStrategi, Andar Nubowo, menyarankan agar pemilihan pimpinan KPK tidak perlu melalui uji kepatutan dan kelayakan di DPR. Kendati mekanisme yang berlaku saat ini sudah sesuai dengan UUD 1945, namun rentan terjadinya praktik transaksional secara diam-diam. 

Ia menyarankan untuk pemilihan pimpinan KPK bisa dibentuk semacam Conseil D'Etat (Dewan Negara) seperti di Perancis yang terdiri para tokoh senior berintegritas dari berbagai bidang dan profesi. Dewan negara ini nanti yang bisa langsung menunjuk pimpinan KPK.

“Tapi, perlu payung hukum untuk ke sana. Jika ada lembaga yang berintegritas ini, Presiden bisa langsung ajukan nama-nama calon KPK tanpa melalui DPR,” kata Andar pada Januari 2015 lalu. 

Lalu, bagaimana cara Presiden menyaring nama-nama calon pimpinan KPK? Ia mengusulkan Presiden bisa berkonsultasi dengan publik soal nama-nama yang sudah ia kantongi. Dengan demikian, orang-orang yang dipilih dan diajukan ke Dewan Negara, merupakan orang-orang yang bersih dan bebas dari tindakan hukum lainnya.

3. Kini nama-nama pansel KPK dituding tidak independen

Pimpinan Usulkan Agar Ketua KPK Dipilih Langsung oleh Presiden (Wakil Ketua KPK menerima kunjungan pansel calon pimpinan) ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Sementara, dengan menggunakan sistem panitia seleksi pun, tidak serta merta langsung meredam polemik. Publik mulai mempermasalahkan anggota pansel untuk pemilihan capim KPK periode 2019-2023. Mereka menilai dari latar belakang anggotanya, ada yang tidak independen dan diduga condong akan mendukung kelompok tertentu. 

Dua individu yang dirujuk adalah Indrianto Seno Adji dan Hendardi. Seno diketahui menjadi pengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan menjadi staf ahli Kapolri. Sedangkan, Hendardi saat ini menjadi bagian dari TPGF bentukan Polri untuk mengungkap pelaku teror terhadap penyidik Novel Baswedan. 

Lalu, apa komentar Ketua Pansel Capim KPK, Yenti Garnasih, terhadap kritik bahwa tim yang ia pimpin rawan disusupi kepentingan? 

"Saya sebagai ketua, kami bersembilan Insya Allah, sama-sama menjamin bahwa kami independen. Kami menjamin bahwa kami independen, berintegritas dan bekerja dengan penuh amanah untuk mendapatkan calon komisioner yang lebih baik dari periode sebelumnya dan saat ini," kata Yenti ketika memberikan keterangan pers pada Senin (20/5) di kantor Kementerian Sekretariat Negara. 

4. Pansel mendorong agar calon pimpinan terdiri dari unsur Polri, jaksa, dan internal KPK

Pimpinan Usulkan Agar Ketua KPK Dipilih Langsung oleh Presiden IDN Times/Denisa Tristianty

Ketua pansel capim KPK, Yenti Garnasih, turut menggaris bawahi bahwa capim KPK harus terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat. Hal itu, katanya, sesuai apa yang tertulis di dalam UU. Ia mengatakan tidak bisa komposisi pimpinan yang terdiri dari lima orang tersebut tidak imbang.

Dalam kepemimpinan KPK jilid keempat, pimpinan berasal dari latar belakang polisi, hakim, aktivis lingkungan, badan intelijen hingga unsur pemerintah. Tidak ada yang berasal dari unsur jaksa. 

"Kami tadi juga sudah mendengarkan di dalam komposisi itu, ada yang berasal dari polisi, tetapi tidak ada yang dari jaksa. Tapi, kami tidak bisa menyampaikan apa hasil evaluasi itu ke publik," tutur Yenti ketika berkunjung ke gedung KPK pada Rabu (12/6). 

Lantaran sebaiknya calon pimpinan turut berasal dari unsur pemerintah, maka pansel mendorong agar ada pula pegawai internal yang ikut proses seleksi. 

"Kalau soal dorongan agar ada kalangan internal KPK yang ikut mendaftar, tentu saja kami sampaikan itu. Kami mendorong siapa pun yang bagus di KPK agar bisa dicalonkan. Tadi, kami mendengar dari komisioner ada beberapa orang (yang hendak maju)," kata dia. 

Ia mengutip pernyataan Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, pegawai dari kalangan internal yang maju antara lain penasihat dan staf. 

Baca Juga: Pansel Ingin Cari Capim KPK yang Gencar Berantas Tindak Pencucian Uang

Topik:

Berita Terkini Lainnya