RUU Kesehatan Bakal Disahkan Jadi Undang-undang Pekan Ini

Naskah RUU baru akan diedarkan usai sidang paripurna

Jakarta, IDN Times - Pimpinan DPR memastikan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan bakal dibawa ke sidang paripurna pada pekan ini. Peluang untuk disahkan menjadi undang-undang pun terbuka lebar dalam sidang paripurna tersebut. 

"Untuk RUU Kesehatan pada pekan lalu sudah dilakukan rapim (rapat pimpinan) dan dibamuskan akan dipertimbangkan untuk dibawa ke rapat paripurna terdekat. Paripurna terdekat ini akan ditentukan tanggalnya kemungkinan setelah rapim dan bamus lagi," ujar Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (10/7/2023). 

Ia menambahkan, masih ada beberapa materi yang harus dibahas dalam sidang paripurna. Menurut jadwal, masih tersisa dua rapat paripurna yakni pada Selasa (11/7/2023) dan Kamis (13/7/2023). Namun, Dasco tak menyebut pada rapat paripurna kapan RUU Kesehatan itu bakal disahkan. 

"Namanya di DPR kan fluktuatif dan berdinamika. Kita belum tahu jadwal untuk rapim dan bamusnya kapan lagi. Hari paripurna itu kan tiap hari Selasa dan Kamis, ya, itu saja," tutur dia lagi. 

Sementara, menurut Anggota Komisi IX DPR, Kris Dayanti, RUU Kesehatan belum disahkan menjadi undang-undang melalui rapat paripurna pada Selasa esok karena agendanya adalah tahap pembicaraan tingkat II atau pengambilan keputusan terhadap RUU Kesehatan. 

"Jadi, belum (akan disahkan menjadi undang-undang) karena sesuai agenda tidak demikian," ungkap Kris Dayanti kepada IDN Times melalui pesan pendek pada hari ini. 

Baca Juga: Organisasi Profesi Kesehatan Mendemo RUU Kesehatan Omnibus Law

1. Naskah RUU Kesehatan baru bisa diakses publik usai disahkan jadi undang-undang

RUU Kesehatan Bakal Disahkan Jadi Undang-undang Pekan IniIlustrasi layanan kesehatan. (IDN Times/Arief Rahmat)

Salah satu keluhan publik tentang proses pengesahan RUU Kesehatan, yakni pemerintah dan parlemen tidak terbuka soal naskah akademik dan drafnya. Sampai saat ini, publik tidak tahu apa saja poin-poin yang diubah di dalam rapat kerja komisi IX pada 19 Juni 2023 lalu. 

Ketika itu, hanya dua fraksi yang menyatakan penolakan terhadap RUU Kesehatan, yaitu Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Semula, sehari setelah disepakati di Komisi IX, draf RUU Kesehatan tersebut akan segera disahkan dalam pembahasan tingkat II di Rapat Paripurna DPR pada 20 Juni. Namun, hal itu urung dilaksanakan karena sejumlah pimpinan DPR tengah menunaikan ibadah haji. 

Anggota Komisi IX dari Fraksi PKS, Netty Prasetiyani Heryawan, mengatakan, RUU Kesehatan direncanakan bakal disahkan dalam rapat paripurna pada Selasa esok. Sedangkan, Anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Golkar, Melkiades Laka Lena, mengatakan pihaknya masih menunggu undangan rapat paripurna yang digelar Selasa esok dari pimpinan DPR. 

"Bahan draf yang akan disahkan sesuai dalam raker terakhir di komisi IX," kata Melki kepada IDN Times melalui pesan pendek. 

Sayangnya, Melki tidak bersedia membagikan draf naskah RUU Kesehatan tersebut kepada publik.

"Setelah rapat paripurna selesai, naskahnya bisa diakses kok," tutur dia lagi. 

Baca Juga: PKS-Demokrat Tolak RUU Kesehatan Disahkan di Rapat Paripurna DPR

2. Forum guru besar lintas profesi layangkan petisi ke Jokowi minta pengesahan RUU kesehatan ditunda

RUU Kesehatan Bakal Disahkan Jadi Undang-undang Pekan IniPresiden Joko “Jokowi” Widodo beri arahan dalam Rakornas BMKG 2022. (dok. YouTube Info BMKG).

Sementara, gelombang penolakan RUU Kesehatan kembali bermunculan. Pada hari ini persatuan guru besar yang tergabung dalam Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) melayangkan petisi penolakan RUU Kesehatan kepada Presiden Joko "Jokowi" Widodo dan Ketua DPR, Puan Maharani. 

Petisi dilayangkan mengingat ada sejumlah isu yang dinilai berpotensi mengganggu ketahanan kesehatan bangsa. Para guru besar pun mengaku siap berkontribusi dan berkolaborasi dengan DPR serta pihak-pihak terkait untuk memperbaikinya.

"Karenanya, kami mengusulkan RUU ini ditunda pengesahannya dan kemudian dilakukan revisi secara lebih kredibel dengan melibatkan tim profesional kepakaran serta semua pemangku kepentingan," ungkap Dokter Spesialis Kandungan dan Perwakilan FGBLP, Laila Nuranna Soedirman, ketika memberikan keterangan pers secara daring, Senin. 

Laila menyampaikan, setelah membaca, menelaah, dan mendiskusikan secara seksama berbasis evidence base tentang RUU Kesehatan, pihaknya mengidentifikasi sejumlah hal serius yang sangat perlu dipertimbangkan.

Pertama, kata Laila, penyusunan RUU Kesehatan tidak secara memadai memenuhi asas sosial pembuatan UU, yaitu asas krusial pembuatan undang-undang.

Asas-asas itu di antaranya, asas keterbukaan/transparan, partisipatif, kejelasan landasan pembentukan (filosofis, sosiologis, dan yuridis), serta kejelasan rumusan.

"Langkah-langkah perbaikan dan peningkatan kualitas perumusan serta partisipasi publik harus menjadi fokus untuk mencapai UU Kesehatan yang lebih komprehensif dengan kebutuhan masyarakat," kata dia. 

Kedua, menurut FGBLP, tidak ada urgensi dan kegentingan mendesak untuk pengesahan RUU Kesehatan.

Baca Juga: Deretan Pasal yang Dinilai Kontroversial di RUU Kesehatan

3. Pemerintah hapuskan kewajiban minimal alokasi belanja kesehatan (mandatory spending)

RUU Kesehatan Bakal Disahkan Jadi Undang-undang Pekan IniIlustrasi tenaga kesehatan sedang melakukan rapid test (IDN Times/Herka Yenis)

Salah satu poin yang santer dikritik oleh publik dari draf RUU Kesehatan, yakni pemerintah dan DPR menghapus pasal yang mengatur besaran minimal alokasi belanja (mandatory spending) untuk urusan kesehatan dalam anggaran negara dan anggaran daerah.

Di dalam UU Kesehatan yang lama, pemerintah wajib menganggarkan minimal sebesar 5 persen untuk anggaran kesehatan. Angka itu di luar dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji. 

Sedangkan, besaran anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, dialokasikan minimal 10 persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji. Bila anggaran minimal itu dihapuskan, maka berdampak pada rakyat kecil yang kesulitan mengakses fasilitas kesehatan yang baik. 

Hal itu juga yang disampaikan oleh Anggota Komisi IX DPR, Aliyah Mustika Ilham, dalam rapat kerja pada 19 Juni 2023 lalu. Aliyah menegaskan, pihaknya terus memperjuangkan agar anggaran kesehatan bisa ditetapkan lebih dari 5 persen dari APBN. Hal itu tertuang di dalam undang-undang yang lama. 

"Fraksi Partai Demokrat dalam rapat panja telah mengusulkan dan memperjuangkan anggaran kesehatan atau mandatory spending di luar gaji dan Penerima Bantuan Iuran (PBI). Namun, tidak disetujui dan pemerintah justru lebih memilih mandatory spending kesehatan dihapuskan," ujar Aliyah. 

Menurut Demokrat, sikap pemerintah itu mencerminkan komitmen politik yang minim untuk memberikan akses kesehatan merata kepada rakyat. Mandatory spending, kata Aliyah, tetap dibutuhkan untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). 

Baca Juga: Ngadu ke DPR, Tenaga Medis Lamongan Tolak RUU Kesehatan Disahkan

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari

Berita Terkini Lainnya