Strategi Baru Andika Perkasa Atasi Konflik di Papua: Operasi Teritorial

Jenderal Andika akan berkunjung ke Papua pekan depan

Jakarta, IDN Times - Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa memilih menggunakan pendekatan baru untuk menghadapi konflik di Papua. Alih-alih melakukan perang terbuka, militer bakal difokuskan melakukan operasi teritorial di Papua. Hal itu disampaikan Andika ketika mengunjungi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.

"Prinsip pendekatannya sudah dituangkan di dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2020 yang kemudian dilanjutkan dengan Keppres Nomor 20 Tahun 2020. Intinya pendekatan (untuk atasi konflik) di Papua adalah pembangunan kesejahteraan yang komprehensif dan sinergis," ujar Mahfud ketika memberikan keterangan pers dan dikutip dari YouTube Kemenko Polhukam pada Jumat (26/11/2021). 

"Sedangkan, pendekatan teknisnya adalah operasi teritorial bukan operasi tempur," katanya.

Pendekatan baru ini sudah disampaikan Andika ketika mengikuti uji kepatutan dan kelayakan di DPR pada awal November. Ketika itu, Andika mengatakan bakal mengutamakan pendekatan humanis. 

Di sisi lain, Mahfud mengakui ada 13 kasus pelanggaran HAM berat yang harus dituntaskan. Sebanyak sembilan kasus di antaranya, kata dia, terjadi sebelum tahun 2000. Sedangkan, kasus HAM berat yang terjadi di era kepemimpinan Presiden Joko "Jokowi" Widodo ada satu yakni kasus Paniai yang terjadi pada 7-8 Desember 2014. 

"Baru diumumkan oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat pada Juni 2020," tutur dia. 

Apakah strategi Andika ini bakal berhasil meredam konflik di Papua sesuai harapan Presiden Jokowi?

1. Bila menggunakan pendekatan humanis, maka TNI tidak lagi berada di garda terdepan

Strategi Baru Andika Perkasa Atasi Konflik di Papua: Operasi TeritorialPrajurit TNI dan anggota Basarnas mengeluarkan logistik untuk korban gempa bumi Mamuju dan Majene dari pesawat Hercules A 1321 TNI AU saat tiba di Bandara Tampa Padang, Mamuju, Sulawesi Barat, Jumat (15/1/2021). (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi. menilai bila Jenderal Andika benar-benar ingin menggunakan strategi pendekatan humanis, maka TNI tidak lagi berada di lini terdepan dalam penanganan konflik di Papua. Sikap ini, kata Fahmi, tidak sekadar diterjemahkan merangkul Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua, tetapi menahan diri dari aktivitas yang tak relevan dan bersifat non-militer. 

"Jenderal Andika akan tetap bisa berkontribusi besar dalam upaya penyelesaian itu dengan memperkuat soft power dan memperkuat kapasitas intelijen. Andika bisa memberikan asupan data dan informasi yang bisa mendukung strategi komprehensif pemerintah," ujar Fahmi ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Kamis (25/11/2021).

Selain itu, TNI bisa melakukan propaganda yang positif dan mendekati realita sosial. Artinya, sikap prajurit TNI tetap memegang teguh integritas, sadar dan mematuhi hukum. 

"Sehingga, kita tidak lagi mendengar masalah-masalah kekerasan yang tidak patut, prajurit TNI terlibat dalam aksi jual beli senjata dan amunisi ke KKB serta hal-hal yang kontraproduktif bagi penyelesaian masalah di Papua," kata dia. 

Baca Juga: Kesaksian Nakes di Papua Lihat Rekan Disiksa dan Dibunuh KKB 

2. TNI fokus membantu warga dengan melakukan karya bakti di Papua

Strategi Baru Andika Perkasa Atasi Konflik di Papua: Operasi TeritorialSejumlah nakes berhasil dievakuasi dari Distrik Kiwirok dan tiba di Jayapura pada 17 September 2021 (ANTARA FOTO)

Rencananya, Jenderal Andika bakal mengumumkan strategi barunya dalam mengatasi konflik di Papua dalam kunjungan kerja pada pekan depan. Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman justru sudah lebih dulu bersuara dan menyebut bakal merangkul KKB serta tak menembaki warga Papua. 

Menurut Fahmi, pada praktiknya merangkul KKB jelas tidak mudah. Apalagi setelah terjadi perang terbuka selama puluhan tahun antara personel militer dengan kelompok separatis tersebut. 

"Tetapi, yang bertugas untuk merangkul bukanlah yang ditugaskan ke Papua untuk bertempur. Kurang tepat bila TNI sebagai prajurit satuan tempur malah diminta untuk merangkul pihak yang selama ini dianggap musuh di lapangan," kata Fahmi. 

Ia kembali menegaskan TNI harus ditempatkan sebagai unsur pendukung, bukan sektor utama dalam menangani konflik di Papua. "TNI misalnya bisa melakukan operasi teritorial karya bakti dan operasi komunikasi sosial," ujarnya. 

Fahmi menambahkan, konflik di Papua semata-mata bukan menjadi tanggung jawab TNI. Masalah di sana harus diselesaikan dengan cara-cara komprehensif, lintas sektor dan tidak mengutamakan tindak kekerasan. 

3. Pemerintah baru bisa menuntaskan pengusutan kasus HAM berat dengan restu dari DPR

Strategi Baru Andika Perkasa Atasi Konflik di Papua: Operasi TeritorialSeorang pemuda memegang kertas bertuliskan kasus HAM yang belum tuntas/ANTARA FOTO/Basri Marzuki

Dalam pemberian keterangan pers itu, Mahfud juga sempat menyinggung soal adanya 13 kasus pelanggaran HAM berat. Ia mengatakan sesuai dengan aturan di undang-undang untuk mengusut kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000, maka butuh persetujuan dari DPR. 

"Jadi bukan presiden yang mengambil keputusan, tetapi DPR," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu. 

Bila DPR menilai rekomendasi yang dibuat Komnas HAM soal 13 kasus pelanggaran HAM berat, maka parlemen yang akan menyampaikan ke Presiden Jokowi. "Yang terpenting harus bisa dibuktikan apa saja pelanggarannya, cara membuktikannya dan dicari jalan keluarnya," kata dia. 

Mahfud menambahkan hanya ada empat kasus pelanggaran HAM yang peristiwanya terjadi setelah tahun 2000. Satu di antaranya terjadi di masa kepemimpinan Jokowi yakni kasus Paniai yang telah menewaskan empat orang. 

"Yang menyangkut presiden ini, Pak Panglima-lah yang bakal mengkoordinasikan dengan kita," tutur dia. 

Baca Juga: Setara Institute: Pelabelan Teroris ke KKB Bukan Solusi Isu di Papua

Topik:

  • Jihad Akbar

Berita Terkini Lainnya