Usman: Pengakuan Tanpa Proses Hukum Malah Lukai Korban Pelanggaran HAM

AII minta pelanggar HAM masa lalu tak lagi diberi jabatan

Jakarta, IDN Times - Direktur eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid mengatakan, pengakuan negara terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat  tidak cukup dan tak memiliki makna apapun. Sebab, pernyataan itu sudah lama tertunda dan dinanti oleh keluarga korban namun baru disampaikan pada 2023. Pengakuan belaka, kata Usman, tidak akan menyelesaikan masalah apapun. 

"Pengakuan belaka tanpa upaya mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu hanya akan menambah garam pada luka korban dan keluarganya. Sederhananya, pernyataan Presiden tersebut tidak besar artinya tanpa adanya akuntabilitas," ujar Usman dalam keterangan tertulis pada Rabu, (11/1/2023). 

Ia juga mengkritisi sikap pemerintahan Joko "Jokowi" Widodo yang hanya mengakui 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat. Padahal, kata dia, ada pula kejahatan lain yang tak kalah mengerikan seperti pelanggaran operasi militer di Timor Timur, tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa penyerangan 27 Juli 1996 hingga kasus pembunuhan Munir pada 2004 lalu. 

"Kelalaian ini merupakan penghinaan bagi banyak korban. Pemerintah mengabaikan fakta bahwa proses penyelidikan dan penyidikan selama ini hanya setengah hati, termasuk empat kasus yang tak disebutkan detailnya. Semua terdakwa dalam persidangan pengadilan HAM terdahulu malah dibebaskan," kata dia. 

Sementara, menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD, semua terdakwa pelanggaran HAM berat divonis bebas lantaran tidak cukup bukti. Meski begitu, sesuai dengan UU Nomor 26 Pasal 46, kasus pelanggaran HAM berat itu tetap harus diproses secara yudisial atau hukum. 

"Maka, kami akan usahakan itu dan mempersilakan Komnas HAM bersama DPR untuk mencari jalan tersebut," tutur dia lagi. 

Apa kata Amnesty International Indonesia soal dalih pemerintah yang kesulitan mencari bukti-bukti baru untuk kasus pelanggaran HAM?

1. AII desak pemerintah tak lagi berikan jabatan kepada terduga pelanggar HAM masa lalu

Usman: Pengakuan Tanpa Proses Hukum Malah Lukai Korban Pelanggaran HAMUsman Hamid Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (IDN Times/Aldzah Aditya)

Lebih lanjut, Usman menyebut, bila Jokowi benar-benar berkomitmen untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran HAM di masa lalu, maka semua pihak yang bertanggung jawab dalam peristiwa itu harus dituntut. Pemerintah, kata Usman, tak bisa berdalih sulit memproses pihak terkait karena kurang bukti. 

"Sebab, selama ini lembaga yang berwenang dan berada di bawah Presiden yakni Jaksa Agung tidak serius dalam mencari bukti melalui penyelidikan," kata Usman. 

Ia kembali mewanti-wanti pemerintah bahwa satu-satunya jalan untuk mengakhiri impunitas yakni melalui proses penuntutan dan penghukuman. "Dengan begitu terulangnya pelanggaran HAM bisa dicegah. Selain itu, pemerintah bisa memberikan kebenaran dan keadilan sejati kepada para korban serta keluarganya," ujarnya lagi. 

Ia menggarisbawahi, jangan sampai ada lagi pembiaran terduga pelanggar HAM malah diberikan kedudukan di lembaga pemerintahan. 

Baca Juga: Akui 12 Peristiwa Pelanggaran HAM Berat, Jokowi: Pulihkan Hak Korban

2. Pemerintah akan undang Mensos hingga Menteri PUPR untuk memulihkan hak korban

Usman: Pengakuan Tanpa Proses Hukum Malah Lukai Korban Pelanggaran HAMMenko Polhukam, Mahfud MD (ANTARA FOTO/Reno Esnir)

Sementara, Mahfud menjelaskan langkah pemerintah selanjutnya yakni Presiden Jokowi akan mengundang sejumlah menteri terkait untuk membahas pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat. Sejumlah menteri yang bakal dipanggil ke Istana mulai dari Menteri Sosial, Menteri keuangan, Panglima TNI, Kapolri, hingga Menteri Pendidikan. 

"Menteri-menteri yang akan diundang adalah mereka yang diberi tugas berdasarkan rekomendasi ini," ungkap Mahfud di Istana Kepresidenan, Rabu (11/1/2023). 

Sejumlah pemulihan hak yang diberikan bagi korban antara lain di bidang pendidikan, sosial, pemberian beasiswa hingga pembangunan rumah. Selain itu, pemerintah juga akan melakukan rehabilitasi fisik. 

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu juga menyebut, upaya pemulihan terhadap korban pelanggaran HAM berat bukan bagian dari langkah untuk mengkerdilkan umat Islam. Ia pun membantah langkah pemerintah ini karena ingin menghidupkan kembali paham komunis.

"Gak ada itu! Justru ini direkomendasikan oleh sekurang-kurangnya ada 4 basisnya itu Islam," tutur dia. 

3. Jokowi akui 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat

Usman: Pengakuan Tanpa Proses Hukum Malah Lukai Korban Pelanggaran HAMPresiden Joko Widodo (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Sementara, dalam pernyataan kepada publik pada Rabu siang, Jokowi untuk kali pertama mengakui 12 peristiwa di masa lalu sebagai pelanggaran HAM berat. Berikut 12 peristiwa yang disampaikan oleh Jokowi:

1) Peristiwa 1965-1966,

2) Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985,

3) Peristiwa Talangsari, Lampung 1989,

4) Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989,

5) Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998,

6) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998,

7) Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999,

8) Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999,

9) Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999,

10) Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002,

11) Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan

12) Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.

Dalam pernyataannya tadi, Jokowi juga mengaku menaruh simpati kepada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat. Ia juga berusaha agar memulihkan hak-hak para korban. 

"Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban. Oleh karena itu, yang pertama, saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial," ujar Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu (11/1/2023).

Baca Juga: Jokowi Diminta Cabut Keppres soal Pelanggaran HAM Berat Nonyudisial

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya