Ilustrasi Pulau Papua (IDN Times/Mardya Shakti)
Gufron menjelaskan sebenarnya gagasan penyelesaian masalah di Papua dengan dialog bukan hal baru. Pendekatan itu sudah diperjuangkan dan diusulkan oleh berbagai kelompok masyarakat jaringan masyarakat sipil sejak 2000-an.
"Teman-teman mendorong dialog ya sebagai jalan mekanisme untuk menyelesaikan persoalan konflik yang sampai sekarang belum dijalankan oleh pemerintah," tuturnya.
Sejauh ini, pendekatan yang dijalankan oleh pemerintah dalam konteks penanganan Papua cenderung mengedepankan pendekatan kekerasan dan militer. Seperti halnya pada order baru, operasi tersebut justru melahirkan banyak kekerasan dan pelanggaran HAM.
"Nah masuk era reformasi, memang ada upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menggunakan jalan yang sifatnya lebih baik, kayak otsus, kemudian pembangunan," jelas dia.
Kendati begitu, secara infrastruktur pendekatan keamanan yang menjadi karakteristik orde baru, sampai hari ini masih terus digunakan oleh pemerintah.
Gufron memaparkan, hal itu bisa dilihat dari pengiriman pasukan non organik ke Papua untuk melakukan operasi keamanan dengan mengatasnamakan ancaman sparatis hingga peningkatan jumlah kekuatan militer di Papua.
"Berdasarkan penelitian imparsial estimasinya setidaknya 13.000 sampai 14.000 militer dikerahkan ke Papua. Ketiga, pelibatan militer dalam konteks berbagai operasi," jelasnya.
Oleh sebab itu, dia menilai pendekatan penyelesaian masalah di Papua melalui dialog perlu didorong. Pendekatan dialog itu akan meminimalkan terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM.
"Salah satu pendekatan yang belum pernah dilakukan oleh pemerintah dalam konteks Papua itu ialah dialog. Jadi pendekatan politik melalui dialog sebagai jalan untuk menyelesaikan persoalan Papua yang sampai hari ini belum dijalankan sama sekali," imbuhnya.