Pasal Penghinaan Presiden, YLBHI: Presiden Itu Lembaga, Bukan Orang

"Jika tidak bisa dikritik, bikin kerajaan saja."

Jakarta, IDN Times - Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menanggapi pasal penghinaan presiden yang kembali muncul dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).  

"Masalahnya yang paling mendasar, presiden itu kan lembaga, bukan orang. Jadi sebetulnya dia gak bisa dihina, konsepnya ketika dia dikritik itu ya bagian dari demokrasi," kata perempuan yang akrab disapa Asfi ini saat dihubungi IDN Times, Rabu (9/6/2021).

1. Penghinaan secara global telah didorong sebagai kasus perdata, bukan pidana

Pasal Penghinaan Presiden, YLBHI: Presiden Itu Lembaga, Bukan OrangDirektur YLBHI Asfinawati (IDN Times/Aldzah Fatimah Aditya)

Asfi mengatakan penghinaan secara global telah didorong untuk masuk hukum perdata. Sehingga, sanksinya berupa denda.

"Penghinaan itu sebetulnya secara global sudah didorong untuk menjadi pertanggungjawaban perdata, bukan pidana," kata Asfi.

Baca Juga: Jokowi ke Mahfud: Ada Pasal Hina Presiden atau Tidak, Saya Dihina

2. Jika tidak bisa dikritik, maka bukan lembaga, tetapi kerajaan

Pasal Penghinaan Presiden, YLBHI: Presiden Itu Lembaga, Bukan OrangPresiden Joko "Jokowi" Widodo (Dok. Biro Pers Sekretariat Negara)

Menurut Asfi, penghinaan yang dilontarkan kepada sebuah lembaga bisa dianggap kritikan. Jika tidak bisa dikritik, kata Asfi, maka lebih baik membentuk kerajaan saja.

"Karena presiden lembaga. Kalau dia dianggap sebagai bisa dihina, kelembagaan itu, itu artinya nanti yang disebut penghinaan itu adalah kritik. Kalau gak bisa dikritik lagi, bukan demokrasi, kerajaan aja," kata Asfi. 

3. Ancaman 4,5 tahun penjara jika menghina presiden dan wakil presiden

Pasal Penghinaan Presiden, YLBHI: Presiden Itu Lembaga, Bukan OrangIlustrasi Penjara (IDN Times/Mardya Shakti)

Sebagai informasi, pemerintah dalam hal ini, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), bersama DPR RI telah sepakat untuk menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Dalam draf RKUHP tersebut, memuat aturan yang memungkinkan seseorang dipidana penjara selama 4,5 tahun atau denda paling banyak Rp200 juta jika menyerang kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden melalui media sosial.

Hal tersebut tertuang pada BAB II terkait Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden Pasal 219.

"Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," tertulis pada Draf RKUHP yang diperoleh IDN Times, Sabtu (5/6/2021).

Bukan hanya di media sosial, melakukan serangan di muka umum atau di luar media sosial juga bisa diancam hukuman pidana. Namun, tindak pidananya tak selama di media sosial, yaitu 3,5 tahun penjara atau denda paling banyak sebesar Rp200 juta yang tertuang pada Pasal 218 Ayat 1.

"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi Pasal 218 Ayat 1.

Tetapi, pasal tersebut tidak berlaku jika penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat 1, jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

"Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri," bunyi Pasal 218 Ayat 2.

Ancaman penjara terhadap presiden atau wakil presiden baru akan berlaku jika adanya aduan, dan aduan tersebut harus dilakukan oleh presiden atau wakil presiden sebagaimana tertuang pada Pasal 220 Ayat 1 dan 2.

"Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 218 dan 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan," bunyi Pasal 220 Ayat 1.

"Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden," bunyi Pasal 220 Ayat 2.

Baca Juga: Pasal Penghinaan Presiden, MK: Tidak Selaras dengan Konstitusi

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya