Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi kekerasan seksual. (IDN Times/Sukma Shakti)
Ilustrasi kekerasan seksual. (IDN Times/Sukma Shakti)

Intinya sih...

  • Pelaku adalah remaja 16 tahun yang tersesat di jalan yang salah. Proses hukum harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

  • Pelaku adalah paman korban yang memanfaatkan kedekatan keluarga. Relasi kuasa menjadi penjara bagi korban kekerasan seksual.

  • Perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab lembaga, tetapi juga kewajiban moral bersama.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Di sebuah desa di Banyuwangi, Jawa Timur, kisah pilu seorang anak perempuan berusia tujuh tahun, CN, menjadi pengingat betapa rapuhnya perlindungan anak di lingkungan terdekat mereka sendiri. Kasus kekerasan fisik dan seksual yang merenggut nyawa siswa , Madrasah Ibtidaiyah (MI) itu mengguncang banyak pihak. Setelah hampir setahun berjalan, kasus itu akhirnya menemukan titik terang.

Bocah itu ditemukan tewas mengenaskan tak jauh dari rumahnya pada 13 November 2024. Dia dihabisi nyawanya dan mengalami kekerasan seksual.

“November tahun 2024 lalu kami telah mengunjungi keluarga korban dan saat itu pihak aparat hukum masih melakukan penyelidikan untuk menemukan pelaku. Dengan telah adanya penetapan tersangka pelaku, kami sangat mengapresiasi Polresta, Kejaksaan Negeri, DinsosPPKB, P2TP2A, serta seluruh mitra kerja di Kabupaten Banyuwangi yang telah berperan aktif dalam menangani kasus ini dengan cepat," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi.

1. Menimbang luka dan tanggung jawab bagi anak pelaku

Menteri PPPA, Arifah Fauzi, dalam acara Puncak Lokakarya Forum Anak Nasional (FAN) 2025, pada Minggu (20/7/2025)

Di balik getirnya tragedi itu, terselip pengingat bahwa keadilan tak selalu hitam putih. Di mata hukum, kasus ini ditatap sebagai peristiwa dengan kacamata yang menimbang luka dan tanggung jawab. Pelaku masih remaja, berusia 16 tahun-anak yang tersesat di jalan yang salah.

“Namun, karena pelaku adalah anak berusia 16 tahun, kami meminta proses hukum dijalankan dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, agar tetap menjamin hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum,” ujarnya

2. Ironi relasi kuasa di balik tragedi kekerasan terhadap anak

Menteri PPPA Arifah Fauzi menyambangi kembaran AMK anak korban kekerasan dan penelantaran di Kebayoran Lama yakni S di Jawa Timur (Dok. KemenPPPA)

Bukan hanya remaja, di balik keharuan itu, terselip ironi pahit. Pelaku, yang ternyata adalah paman korban, memanfaatkan kedekatan keluarga untuk menjerat sang anak dalam bujuk rayu yang berujung pada kekerasan brutal. Relasi kuasa, kata Arifah lagi-lagi jadi penjara paling dekat bagi korban kekerasan seksual.

“Kasus ini terjadi akibat adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara orang yang lebih tua terhadap anak. Ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa perlindungan anak tidak hanya soal kewaspadaan individu, tetapi juga soal memastikan lingkungan terdekat anak aman dari kekerasan,” kata Arifah.

3. Perlindungan anak adalah tanggung jawab moral seluruh masyarakat

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menemui korban Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur (dok.Biro Humas dan Umum KemenPPPA)

Dari kasus ini, dia mengajak masyarakat untuk tidak berpaling, karena kekerasan terhadap anak bukan sekadar tanggung jawab lembaga, tetapi juga kewajiban moral bersama.

“Kami juga mengimbau keluarga, tetangga, dan seluruh elemen masyarakat untuk memperkuat peran masing-masing dalam melindungi anak. Perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama, dan lingkungan sekitar memiliki peran penting untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak,” kata dia.

4. Pendidikan dan kewaspadaan dini jadi kunci cegah kekerasan anak

Ilustrasi kekerasan seksual (Foto: IDN Times)

Kisah CN menyingkap luka sosial yang lebih dalam, betapa banyak anak yang masih hidup dalam lingkaran kekerasan tanpa suara. Arifah menegaskan solusi tidak hanya berupa penegakan hukum, tetapi juga pencegahan sejak dini melalui pendidikan.

“Kasus kekerasan, baik itu kekerasan seksual maupun kekerasan fisik, banyak terjadi di sekitar kita dan mengintai anak-anak kita. Orangtua dapat mengajarkan anak untuk melindungi tubuh mereka, mengenali bagian tubuh yang tidak boleh disentuh orang lain, memberi perhatian penuh pada anak sesibuk apapun karena anak adalah titipan Tuhan serta memperhatikan kesehatan emosional anak,” ujarnya penuh penekanan.

Dia menambahkan, pengendalian emosi dan pendidikan seksual yang sesuai usia juga menjadi kunci penting agar peristiwa semacam ini tak terulang. KemenPPPA bersama pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan mitra kerja lainnya kini terus mengawal proses hukum dan memastikan keluarga mendiang anak CN mendapatkan pendampingan psikososial. Di tengah jalannya proses peradilan, Arifah menegaskan bahwa perhatian terhadap hak-hak anak, baik korban maupun pelaku, tetap harus dijunjung tinggi.

Editorial Team