Menlu Retno: Diplomasi RI Bertujuan Bangun Kepercayaan Dunia

Indonesia ingin jadi jembatan perbedaan

Jakarta, IDN Times – Bagi pejabat publik seperti Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, kunjungan kerja ke luar negeri saat pandemik COVID-19 sedang memuncak, tak bisa dihindari. Seperti pekan ini, saat varian Omicron masih bergentayangan di Eropa, Retno berkunjung ke Paris, Prancis. Menlu perempuan pertama Republik Indonesia itu menginisiasi Foreign Ministers’s Meeting of The Bali Process Steering Group (SGMM) di Paris pada Senin 21 februari 2022.

Di negeri Eiffel itu Retno juga melakukan pertemuan dengan Menteri Pertahanan Prancis Florence Parly dan Menteri Luar Negeri Jean ves Le Drian. “Perkembangan di Ukraina dan Myanmar dibahas dalam pertemuan, yang juga membahas kerjasama strategis di berbagai bidang termasuk di bidang pertahanan,” ujar Retno.

“Saya berusaha hati-hati,” ujar Retno, saat dikontak, Rabu (23/2/2022). Agenda kunjungan di Paris lumayan padat. Kegiatan Retno itu bisa kita monitor juga dari akun media sosialnya. Retno pernah mendapat predikat menteri luar negeri paling baik untuk diplomasi digital.

“Kita punya aset yang besar yaitu bagaimana dunia luar melihat Indonesia, yaitu TRUST atau kepercayaan. Diplomasi Indonesia di mana-mana bertujuan membangun kepercayaan, menjembatani semua perbedaan,” ujar Retno dalam wawancaranya di podcast Endgame belum lama ini.

Nah, apa saja yang disampaikan Menlu Retno di program itu? Simak di bawah ini.

Baca Juga: Ke Paris, Retno Sampaikan Harapan RI kepada Prancis sebagai Ketua UE

1. Masa kecil Retno Marsudi dan awal karirnya sebagai diplomat

Menlu Retno: Diplomasi RI Bertujuan Bangun Kepercayaan DuniaMenteri Luar Negeri Retno Marsudi (Twitter/@setkabgoid)

Retno lahir di Semarang, 27 November 1962.

“Jadi kalau dilihat masa kecil gak pernah terbayang akan sampai di titik ini, saya datang dari keluarga yang sangat biasa, gak istimewa, sempat merasakan bagaimana hidup susah, kalau ditanyakan titik balik yang sampai di sini (menjadi menteri luar negeri), pertama memutuskan masuk ke UGM, Hubungan Internasional. Kedua, kementerian luar negeri saat itu punya program rekrutmen langsung, datang ke universitas negeri, jaring mahasiswa, saya termasuk yang dapat rekrutmen langsung, belum lulus sudah di-ijon di Kemlu, dibayari,” cerita Retno ke Gita Wirjawan yang memandu acara itu.

Retno bercerita, sistem di Kemlu rekrutmennya bagus.

“Sebelum reformasi Kemlu sudah menata sistem, orang yang masuk disaring sesuai dengan merit-nya, di situlah orang seperti saya yang no body, gak punya apa-apa, gak punya siapa-siapa bisa masuk Kemlu. Dengan sistem merit yang bagus, bisa jadi direktur di usia 38 tahun, masih muda, waktu itu, usia 42 tahun jadi duta besar, tergolong muda untuk dubes karir, Marty (Marty Natalegawa, pernah jadi Menlu RI) juga masih muda. Lalu jadi dirjen di usia relatif muda, dan kemudian, diparingi rezeki untuk jadi menlu perempuan yang pertama, sekali lagi kalau kita memiliki sistem merit yang baik, kita tata, perempuan seperti saya bisa meraih mimpinya,” kata ibu dua anak ini.

2. Retno Marsudi soal tantangan menjadi diplomat perempuan

Menlu Retno: Diplomasi RI Bertujuan Bangun Kepercayaan DuniaMenteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menlu Palestina Riad Malki. (Dok. Kementerian Luar Negeri)

“Banyak. Apalagi pada saat saya masuk Kemlu ya, orang melihat bahwa diplomat itu mayoritas adalah laki-laki, dunia laki-laki. Oleh karena itu, kita buka cerita ya, di awal-awal, kan saya udah pacaran dengan suami saya lama banget ya pacarannya aja tujuh tahun. Jadi saat saya mau masuk Kemlu, calon suami saya saat itu agak ragu-ragu karena tahu kehidupan diplomat, sampai kemudian dipanggil ibu saya. Ibu saya bilang, bahwa dia sudah sekolah begini-begini, kasih lah kesempatan dulu. Setelah nanti kalian menikah, kalian bicarakan lagi. Jadi cukup demokratis," tutur Retno.

"Jadi akhirnya calon suami saya pada saat itu oke, gak apa-apa masuk ke Kemlu, saat itu kita masih mikir, oke gak ya, dunia inia adalah dunia laki-laki, sehingga perempuan nyampe gak ke puncak, dan sebagainya, bagaimana kita mengombinasikan karir dan keluarga, tantangannya pasti lebih banyak ketimbang laki-laki. Yang gampang aja, kita kan secara alami harus ngurus anak dan keluarga, walaupun laki-laki ya harus mengurus anak ya, naluri ibu akan lebih banyak di keluarga, lha kalau kita gak punya komitmen bersama, kalau aku bilang sih teamwork ya sama suami, bahwa di keluarga itu ya tidak ada pembagian yang rigid, ini elu, ini gue, tapi siapa yang bisa melakukan itu ya kita lakukan," Retno menambahkan.

"Memang akan sulit menjadi diplomat yang berkeluarga kalau tidak begitu. Tapi akhirnya karena komunikasi kita dengan keluarga baik, begitu keluarga harus kokoh dulu, baru urusan kerjaan, dan alhamdulillah dengan sistem yang dimiliki Kemlu ini perempuan betul-betul tidak didiskriminasi. Perempuan diberikan hak yang betul-betul sama, tergantung kepada kita bagaimana kita bisa memanfaatkan kesetaraan ini untuk mengejar mimpi kita,” tutur Retno.

Dulunya, cerita Retno, kalau suami istri diplomat salah satu harus mundur, biasanya yang mundur harus perempuan, sekarang gak lagi karena posnya didekatkan, jadi setara.

3. Menlu Retno soal diplomasi luar negeri saat pandemik COVID-19

Menlu Retno: Diplomasi RI Bertujuan Bangun Kepercayaan Dunia(Menlu Retno Marsudi bersama Menlu Arab Saudi Adel al-Jubeir) ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

“Jadi kita semua gak pernah menduga bahwa COVID-19 ini akan datang, dan ternyata datang dan gak cepat pergi, dua tahun kini suasana ini. Di awal Januari 2020, kita kasus pertama Maret 2020 diumumkan, di awal kita udah mulai berkalkulasi, ini kayaknya beneran bakal semakin memburuk. Setiap kali ada penyakit seperti ini kan pasti kita mikirnya vaksinnya apa? obatnya apa? Antinya apa? Oleh karena itu kemudian Presiden bicara bagaimana kita mendapatkan akses untuk mendapatkan vaksin yang secepat mungkin. Presiden minta agar kita dapat vaksin secepat mungkin, saat itu ya Allah, vaksinnya belum jelas, efikasinya semua belum jelas, produksinya kalau pun sudah produksi, produksinya kecil, diborong negara yang punya duit banyak, ujar Retno.

"Biasa kan mekanisme pasar, barang sedikit, yang minta banyak, berarti pada saat itu harga mahal. Di titik itu presiden mengatakan begini, kita harus lari duluan, cari akses, buka semua jalan, buka akses. Saya termasuk yang diberikan tugas oleh presiden, karena bagaimanapun network-nya sudah banyak untuk dunia, plus waktu itu dibantu oleh Menteri BUMN, juga Bu Menkeu yang punya networking yang bagus juga, kita gunakan, kemudian Pak Budi (Budi Gunadi Sadikin, yang waktu itu wakil menteri BUMN) ikut gerak semua dengan Kemkes waktu itu, jadi akhirnya kita punya akses, dan orang tanya kenapa kita pakai Sinovac?"

"Sekali lagi, situasi sangat dimanis, boleh dikatakan chaotic, kita ketok semua pintu, kebetulan yang membukakan pintu pertama, saya ingat betul antara lain adalah Sinovac dan Astra Zeneca. Oleh karena kita negosiasi dengan mereka untuk dapat akses vaksin, dan kita ingat, negara besar seperti Indonesia dengan penduduk lebih dari 270 juta itu gak gampang. Karena pasti yang kita perlukan jumlahnya besar sekali. Oleh karena itu yang pertama adalah Sinovac, kita juga dapat Astra Zeneca, tapi lately sekarang kita pilihannya sudah makin banyak, karena Pfizer ada, Moderna ada, Johnson & Johnson ada, Astra Zeneca, Sinovac, Sinopharm. Intinya yang menolong kita sampai di titik ini yang kalau kita lihat persentase vaksinasinya kita sudah melebihi target yang diberikan oleh WHO. Itu kenapa karena kita bergerak cepat, tentunya cepat itu bukan cepat yang ngawur, tetapi cepat yang kalkulatif. Semuanya kita kalkulasi, dan akhirnya kita memiliki akses untuk beberapa pengembang dan produsen vaksin. Itu kalau kita bicara tentang Indonesia,” cerita Retno.

Begitu pun, sebagai bagian dari negara anggota di dunia ini, menurut Retno pihaknya gak boleh hanya mikir Indonesia, oleh karena itu sejak awal Indonesia menyuarakan kesetaraan vaksin bagi semua negara.

“Vaksin itu juga harus harganya terjangkau, sehingga negara-negara itu bisa membeli vaksin, oleh karena itu setelah ada pemilihan dan sebagainya, Indonesia termasuk salah satu co-chair COVAX AMC Engagement. Intinya itu adalah forum di mana negara donor, negara berkembang semuanya jadi satu, mengumpulin dana untuk beli vaksin, kemudian negara-negara berkembang dan yang income-nya rendah diberikan vaksi secara gratis. Ternyata ini pengalaman kita ya, punya duit itu ternyata tidak bisa menyelesaikan semuanya," tuturnya.

"Jadi, di minggu kedua Desember 2021, saat saya memimpin rapat COVAC AMC Engangement, Group, dari jumlah uang kita sudah melebihi target, kita mengumpulkan 117 persen, tetapi dari segi delivery vaccine-nya, di titik awal minggu kedua Desember 2021 itu baru 53 persen dari target. Karena kan yang disuntik bukan duit, yang disuntik adalah vaksin. Kalau toh ada vaksinnya, bagaimana dokter dan naskesnya, ada vaksin, menuju vaksinasi ada proses juga. Vaksin yang diberikan kepada negara-negara penerima, belum tentu dilakukan vaksinasi. Kita bicara mengenai masalah logistik, infrastruktur, kapasitas dan lainnya. Sehingga kita ditambahkan lagi pada saat itu perlunya kampanye from vacccine to vaccination."

"Ini hal yang kompleks banget tapi saya senang karena diplomasi bisa berkontribusi di dalam situasi yang sangat penuh tantanggan. Gak pernah kebayang lah, diplomat, pasti pelajarannya terkait dengan perang, perdamaian, negosiasi dan sebagainya, tiba-tiba masuk pandemik, saya sampai hafal deh nama obat, nama vaksin, platformnya apa dan sebagainya. Saya bentuk tim khusus yang khusus mendalami masalah pandemik, jadi kita pantau kasus di negara lain, perkembangan dunia itu seperti apa untuk lessons and learnt bagi kita. Intinya kita senang diplomasi bisa berkomtribusi dalam situasi seperti itu,” jelas Retno.

Dia melanjutkan, “Dulu diplomasi dilihat kayak duduk di menara gading, jaraknya jauh, pakai bahasa-bahasa yang bagus. Tapi memang sekarang tuntutannya, tidak hanya untuk Indonesia, tetapi tuntutan diplomasi seluruh dunia, diplomasi harus membumi, mendatangkan hasil yang dirasakan oleh rakyat. Dan itulah semua ada hikmahnya, di tengah situasi yang sulit, ternyata diplomasi kita bisa bermain banyak mendatangkan diplomasi untuk rakyatnya."

4. Retno Marsudi bicara soal kondisi geopolitik termasuk Rohingya di Myanmar

Menlu Retno: Diplomasi RI Bertujuan Bangun Kepercayaan DuniaPengungsi etnis Rohingya saat proses evakuasi oleh TNI AL di Pelabuhan ASEAN, Krueng Geukuh, Aceh Utara, Aceh, Jumat (31/12/2021). (ANTARA FOTO/Rahmad)

“Soal Rohingya, adalah pekerjaan rumah yang sudah bertahun-tahun. Saya kebetulan baru kembali dari Bangladesh menjelang akhir tahun 2021. Kalau kita bicara Cox Bazar, tempat penampungan pengungsi di sana, ada sekitar 1,1 juta pengungsi. Pemerintah Bangladesh alokasi pulau, direlokasi di situ, yang berarti 1 juta masih berada di Cox Bazar, di tengah pandemik seperti ini. Kita bicara mengenai jaga jarak, protokol kesehatan dan lain-lain, yang semuanya gak mungkin dilakukan di tempat pengungsian seperti itu . Oleh karena itu kita harus bantu, iya. Tapi kan kita menyelesaikan masalah, kita harus tahu akar masalahnya apa, karena kalau akar masalahnya gak diselesaikan kita khawatir gak berkurang, malah bertambah. Hal serupa terjadi. Akar masalahnya apa? Akar masalahnya ada di Myanmar," kata dia.

"Pada saat itu kan terjadi tindakan kekerasan yang menyebabkan mereka harus mencari selamat akhirnya lari dari negaranya ke luar ke Bangladesh. Jadi isu Rohingya ini kalau menurut saya idealnya diselesaikan dengan cara apa? Repatriasi. Mengapa, karena mereka punya rumah di Rakhine State, di Myanmar. Tetapi mereka tidak akan pulang kalau situasi di sana tidak kondusif, dan yang bisa menjadikan situasi di Rakhine State kondusif ya pemerintah Myanmar, masyarakat di Rakhine State yang bisa menerima mereka sebagai bagian dari bangsa mereka. Nah dari ASEAN kita siap untuk membantu menciptakan situasi yang kondusif untuk membangun beberapa fasilitas dan sebagainya, itu kita siap Indonesia sebagai bagian ASEAN, saat itu short term-nya kita bantu, baik yang ada tinggal di Rakhine State maupun yang tinggal di Bangladesh," Ujar dia.

"Kita membantu kemanusiaan dan kita membangun satu rumah sakit di Rakhine State, yang saat pembangunannya sengaja memperkerjakan orang-orang di Rakhine State yang datang dari berbagai background. Jadi ada orang Budhis, Muslim dan sebagainya, supaya mereka bekerja sama dan akhirnya tercipta sekali lagi suasana yang kondusif. Sebenarnya kalau kita lihat dari segi kemajemukan hampir sama dengan Indonesia, sebagai bangsa yang majemuk, yang hanya bisa solid hanya bisa kokoh, kalau kita saling bertoleransi, menghormati. Once, kita tidak bertoleransi dengan baik maka kekokohan bangunan itu pasti akan roboh. Itulah yang kita coba bantu Rohingya untuk menyelesaikan, short time dengan bantuan kemanusiaan, plus memikirkan jangka panjangnya mererka ini akan bagaimana, dan kalau buat Indonesia, jangka paniangnya idealnya mereka kembali, untuk kembali situasi kondusif harus diciptakan,” kata Retno.

Menurut dia, HAM warga Rohingya pasti harus dihormati, mereka ke luar dari negaranya karena merasa tidak dihormati hak-haknya.

Sikap ASEAN soal krisis Rohingya? “Bulat sih pandangannya, tetapi memang yang menarik dari ASEAN, kita ini 10 anggota, 10 yang berbeda, jadi dalam banyak hal wajar saja, di sana-sini approach pendekatan yang diambil berbeda satu sama lain, tetapi bahwasanya, apa yang terjadi dengan Rohingya itu tidak bisa diterima, diamini oleh semua. ASEAN bulat mengirim tim lakukan assesment yang diperlukan Rakhine State dalam persiapkan repatriasi kembali. Tapi kemudian terjadi kudeta 1 Februari 2021, jadi tertunda lagi.

Baca Juga: Lengkap! 5 Prioritas Diplomasi Indonesia Tahun 2022 

5. Menlu Retno soal posisi Indonesia sebagai negara Non Blok dan diplomasi kita terkait rivalitas AS dengan China

Menlu Retno: Diplomasi RI Bertujuan Bangun Kepercayaan DuniaPresiden China Xi Jinping dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden (www.china-embassy.org)

“Saya menerima pertanyaan apakah politik bebas aktif masih relevan, saya selalu menjawab dengan mantap, dengan situasi seperti saat ini, politik bebas aktif ini semakin relevan. Karena apa? Di dalam politik luar negeri bebas aktif, kita diberikan sebuah space yang cukup, sebuah koridor di mana kita bisa melakukan manuver ke kanan ke kiri, tengah lempeng dan sebagainya untuk mengejar kepentingan nasional kita. Jadi, di satu titik, di satu isu A, kita bisa saja bekerjasama dengan negara X. Tetapi dengan bekerjasama dengan negara X bukan berarti kita memusuhi negara Y, karena mungkin untuk isu B, kita harus bekerjasamanya dengan negara Y,"  tuturnya.

"Itulah yang saya selalu sampaikan bahwa politik luar negeri bebas aktif justru memberikan space bermanuver perjuangkan, kepentingan nasional. Yang memudahkan kita bermanuver, sebetulnya kita punya aset, yang kadang-kadang kita gak menyadari, sebagai negara besar dari sisi size, geografis, size demografi, besar, kekuatan menengah, kadang-kadang kita semuanya lupa, bahwa sebenarnya ada suatu aset, yang kadang-kadang kita nggak rasakan, bagaimana negara luar melihat Indonesia. Yaitu adalah “TRUST”. Kepercayaan kepada Indonesia, kepada diplomasi Indonesia, karena di mana-mana kita berupaya untuk menjembatani semua perbedaan."

"Perbedaan ada di mana-mana, semakin menajam, semakin meruncing, dan sekarang semua isu, jeder, kita biasanya lihat tarik-tarik ketemu lagi ketemu lagi perbedaaan antara kubu-kubu besar itu, kita punya di situ. Sekali lagi kita punya aset kepercayaan. Saya selalu bilang bahwa Indonesia adalah trusted partner untuk dunia. Dan ini kita buktikan pada saat kita menjadi anggota Dewan Keamanan pada tahun 2019-2020. Kita betul-betul dipercayai untuk menjembatani banyak sekali perbedaan, karena mereka tahu kita tidak punya kepentingan besar untuk menguasai dan sebagainya. Kita benar-benar mainkan peran menjembatani perbedaan,” ujar Retno.

Apakah berarti Indonesia ambil sikap netral?

“Kita ini gak netral-netral banget. Kita bermanuver tidak mau menciptakan musuh, tapi once pada masalah prinsip, kita firmed. Karena ternyata dalam pergaulan, sama seperti pergaulan antar manusia, pada saat kita tidak gampang ditekuk, di situ lah kita mendapatkan respek. Kalau negara gampang sekali ditekak-tekuk kan, oh, ini gampangan, dicoba terus tapi pada saat kita sudah sampai ke prinsip, dan kita bilang, saya tidak bisa ikutan, saya harus menghormati konstitusi saya, mengatakan begitu, pada akhirnya mereka bisa paham dan mereka justru akan hormat."

6. Retno Marsudi soal bagaimana mengelola hubungan antar negara di tataran global dan di ASEAN

Menlu Retno: Diplomasi RI Bertujuan Bangun Kepercayaan DuniaANTARA FOTO/REUTERS/Soe Zeya Tun

“Jadi sebenarnya bahwa masalah dunia ini tidak boleh diselesaikan hanya oleh satu negara, semuanya kayaknya tahu ya? Jadi selama hidup saya tidak mengenal pekerjaan lain selain menjadi diplomat kan, fortunately, unfortunately, 35 tahun jadi diplomat, kalau kita ada di ruangan pertemuan sidang-sidang PBB, everything sounds good, pada saat implementasinya ternyata ada gap, antara political statement, commitment, dengan apa ada di lapangan. Oleh karena itu yang sering kita sampaikan, kadang kita suka nyentil, walk the talk dong. Apa yang lu omongin harus lu lakukan, karena mereka sadar, seperti pandemik ini, bisa selesai kalau semua negara selesai, bisa selesai, kalau paling tidak tingkat vaksinasi cukup tinggi. Vaksin bisa membentengi."

"Nah berarti kesetaraan vaksin lagi bagi semua negara. Tetapi enggak terjadi. Ada negara yang sudah sampai dosis keempat. Ada negara yang untuk dosis pertama pun masih sulit. Terus kita tanya kendalanya apa sih? Produksinya terbatas. Kalau produksinya terbatas, perbanyak dong, hubnya perbanyak dong, kita siap jadi hub, sulit tuh. Transfer teknologi dong? Gak bisa, Banyak sekali kendala yang susah ditembus bahkan di saat kerjasama itu sangat diperlukan seperti saat pandemik. Ada gap, antara apa yang diomongkan, dengan apa yang diimplementasi, dan akhirnya cost-nya buat dunia ini lebih besar. Dibanding kalau kita betul-betul bekerjasama. Gap antara di ruang sidang dan di lapangan ini harus terus dipersempit dan walk the talk,” ujar Retno.

ASEAN?

“Yang kita sampaikan, kalau kita jadi anggota Rukun Tetangga (RT), unit terkecil di komunitas, pastinya kita berharap setiap rumah tangga menjadi rumah yang bertanggungjawab. Jadi kalau ada siskamling ya ikut, kalau ada kematian ya layat, kalau ada orang sakit kebetulan gak berpunya ya patungan, menghormati tetangganya, jangan buang sampah di tempat tetangganya. Be a responsibel member, itu yang kita inginkan dari keluarga ASEAN. Kita tahu kita semuanya berbeda, tingkat pembangunan beda, latar belakang sistem pemerintahannya berbeda, tetap kita inginkan be responsible member ASEAN,” kata Retno.

7. Menlu Retno soal manfaat G20 Presidensi Indonesia di 2020

Menlu Retno: Diplomasi RI Bertujuan Bangun Kepercayaan DuniaIlustrasi G20 (g20-indonesia.id)

“Jadi, aku ingin mulai dengan, memang gak semua gak bisa diangkakan. Salah satunya adalah TRUST, kelihatannya cuma TRUST, tapi kalau dihitung angka akan banyak sekali. Andai kata, kita akan bisa memainkan kepemimpinan di G20, maka di situ akan muncul TRUST yang akan lebih besar ke Indonesia. Setahun ini kan ada 150 meetings, mereka yang datang, yang belum pernah datang ke Indonesia, lalu tahu, oh ternyata cukup maju, infrastruktur lumayan bagus dan banyak, sebagai negara muslim terbesar, Indonesia ternyata tidak homogen, melainkan heterogen. Jadi banyak sekali, kita ternyata bisa mengubah persepsi orang terhadap negara tersebut, dalam hal ini kepada Indonesia," kata Retno.

"Kalau ini bisa kita kapitalisasi dengan baik, maka akan berujung ke atas, TRUST yang menebal, yang dengan TRUST itu, oke, investasi akan lebih banyak, mereka yakin Indonesia akan menjadi mitra dagang yang lebih yang kuat, dengan keindahan Indonesia, Indonesia tourism akan main banyak yang datang, itu gak akan kehitung. Jadi marilah kita jadikan G20 ini untuk membangun TRUST yang yang lebih tebal terhadap Indonesia dan marilah kita kapitalisasi TRUST ini menjadi keuntungan yang sifatnya ekonomis. Itu kalau kita mau bicara yang tidak instan. Banyak pihak nanyanya, instannya apa? Kita dapat apa dong? Kita pikirkan itu, ya dengan 150 pertemuan pasti hospitality industry bangkit. Hotel, sewa kendaraaan, kemudian tempat-tempat wisata bisa dilihat, UMKM, dari segi ekonominya akan menggairahkan pemulihan ekonomi yang sedang dirintis Indonesia. Tapi, sekali lagi itu instan, dan itu bisa dihitung, Menko Ekonomi lakukan perhitungan dengan UI kalau tidak salah, mengenai berapa keuntungan yang didapatkan dengan jalankan keketuaan G20 selama setahun, ada angkanya. Buat saya, yang gak terangkakan adalah TRUST dunia,” jelas Retno.

Lewat TRUST, semoga memudahkan uang untuk masuk ke Indonesia.

“Saat ini pendekatan baru yang dilakukan Indonesia untuk G20 Presidensi, sama halnya dengan diplomasi tadi kita bicara, ada di menara gading, jauh, dan lain-lain, kita ubah, demikian juga dengan G20. Untuk rakyat, mereka kan tanya, apaan G20, apa yang kamu omongkan, apa buat kita? Itu pasti ditanyakan. Presiden ingin G20 agak dibumikan sehingga kita bicara mengenai capaian konkret dari sebuah perhelatan itu apa, nah kita kan ada tiga, prioritas, kesatu kesehatan, karena sekarang kemana pun pergi, mau dari sisi apapun, mereka bicara masalah kesehatan, bagaimana memperkuat arsitektur kesehatan dunia yang lebih kokoh," ujarnya.

"Prioritas kedua, pulih ekonomi secara hijau dan sustainable, mengenai transisi energi, kita belajar dari pandemik ke depannya kita gak bisa lepas dari digital, tranformasi digital. Termasuk yang diperlukan oleh rakyat saat kita bicara transfomasi digital, bagaimana UMKM ini bisa mendapatkan akses diberdayakan bisa masuk pasar digital, bisa bersaing dari segi kualitas dan sebagainya. Presiden ingin di masing-masing klaster, ada basket list tawaran-tawaran tidak hanya untuk negara G20 tapi untuk dunia. Pendekatan itu yang kita ambil, perlu kerja keras, perlu pendekatan extra personal, karena tradisi mereka gak begitu. Kita ingin konkretkan semua yang tiga prioritas itu, sehingga at the end rakyat bisa merasakan manfaaatnya. Komunikasi hasil diplomasi kita bisa permudah, supaya rakyat bisa paham,” tuturnya.

Untuk transisi energi, Retno menjawab, “Transfer ke energi fosil at least diperlukan ada dua elemen yang sangat penting, yaitu teknologi dan investasi. Pertanyaan bagaimana G20 bisa berperan? Negara-negara besar, teknologi mereka pegang, transfer teknologi dipegang, investasi juga mahal. Maukah kita investasi di energi baru dan terbarukan? Kalau tuntutan transisi dari fossil ke green, mendadak, yang ini udah berhenti, yang green belum siap, transisi tidak berjalan baik, bisa terjadi krisis energi.”

8. Menlu Retno soal posisi Indonesia sebagai negara besar yang ingin menjembatani perbedaan

Menlu Retno: Diplomasi RI Bertujuan Bangun Kepercayaan Dunia(Menlu Retno Marsudi bertemu dengan Menlu Marise Payne) Kementerian Luar Negeri

Retno ditanyai soal posisi Indonesia 2045, apakah multilaterisme masih relevan? Kita bisa menjadi negara besar berpengaruh?

Doable, ini kan sebenarnya aset yang sudah ada. Tantangannya bagaimana aset itu bisa kita pertebal, kita kapitalisasi sehingga menjadi kekuatan benar, kekuatan yang tidak dimiliki oleh negara lain. Pada saat kita bicara pemberdayaam perempuan, edukasi terhadap perempuan di negara dengan penduduk muslim besar, kita punya aset luar biasa, saya sekarang sedang fokus untuk Afghanistan dengan situasi sekarang, bantuan kemanusiaaan sudah kita lakukan, fokus ke depan, pendidikan dimajukan termasuk untuk women and girls,. Jadi saya bicara, kan engangement dengan Taliban terus kita lakukan, saya bicara dengan mereka, even untuk negara-negara barat, mereka bilang, Retno, kalau kamu yang bicara lebih relevan dibandingkan dengan saya," katanya.

"Mereka barat, mungkin non muslim, kalau Indonesia bicara Indonesianya dengan mayoritas muslim terbesar, hak-hak perempuan dijamin. Saya sudah mulai bicara lebih fokus ke wakil-wakil Taliban, intinya bagaimana kita bisa membantu perempuan di sana, bahkan para penguasanya untuk buat program edukasi untuk perempuan. Kalau kita bicara perempuan, bukan berarti perempuan harus bekerja di luar rumah, tapi mereka bisa diberdayakan, kita punya aset besar, kita harus pelihara aset itu, saya ingin aset kita negara majemuk, ekonomi ke sekian tahun ke sekian, emangnya predikat itu jatuh dari pohon, jatuh dari langit? Untuk menjadi tetap majemuk, hormati perbedaan, toleransi, kita harus kerja keras untuk mencapai itu. Tahun 2045 harusnya Indonesia jadi negara yang besar, negara maju, tapi bukan untuk menguasai, tapi besar untuk menjembatani. Yang kita bangun jembatan yang kokoh, karena kalau kokoh, kalau yang lewat truk dengan tonase gede sekalipun kita gak akan goyang. Itu gak akan tercapai kalau tidak kita rebut, tidak kita upayakan, pendidikan penting, infrastruktur kita upayakan, SDM itu chip-nya,” ujar Retno, optimistis.

Baca Juga: Ngobrol Seru Menlu Retno Soal Perempuan dan Perdamaian

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya